Liputan6.com, Paris - Ucapan seorang polisi wanita membuat Menteri Dalam Negeri Prancis Bernard Cazeneuve tak senang dan berencana mengajukan tuntutan pencemaran nama baik.
Sang polwan, Sandra Bertin, adalah petugas senior yang bertanggung jawab dan mengepalai divisi pengawas kamera keamanan atau CCTV di Kepolisian Nice, Prancis. Ia mengaku diusik Menteri Cazeneuve untuk mengubah laporannya terkait kejadian teror truk di kota tersebut.
Setidaknya 84 orang tewas saat sebuah truk besar ditabrakkan ke kerumunan orang yang sedang merayakan Hari Bastille pada 14 Juli 2016 malam.
Kelompok teroris ISIS mengaku berada di balik serangan kejam tersebut, yang dilakukan oleh seorang pria Tunisia, Mohamed Lahouaiej-Bouhlel.
Kepada Journal du Dimanche, Bertin mengatakan, dia diperintahkan oleh seorang pejabat kementerian dalam negeri untuk melaporkan keberadaan unit polisi nasional di area pantai Promenade des Anglais pada saat penyerangan terjadi.
"Polisi nasional mungkin ada di sana, tapi aku tak bisa melihat mereka dalam video," kata polwan tersebut, seperti dikutip dari BBC, Senin (25/7/2016).
Ia mengungkapkan, pada pukul 22.33 malam itu, seorang polisi lokal melaporkan keberadaan truk yang melaju tak terkendali, menabrak orang-orang yang mulai bubar setelah pertunjukan kembang api usai.
Truk itu, kata Bertin, melaju dengan kecepatan 90 km/jam, tanpa bisa dihentikan petugas kepolisian lokal. "Tak ada yang bisa memecahkan ban truk 19 ton itu dengan pistol...," kata dia, seperti dikutip dari The Guardian.
"Kalau saja mereka dipersenjatai seperti para kolega kami di kepolisian nasional."
Bertin mengaku dibentak-bentak selama satu jam oleh Mendagri Cazeneuve lewat telepon. Polwan itu merasa dilecehkan.
Pengungkapan sang polwan membuat Mendagri Cazeneuve kian meradang dan berniat memperkarakannya.
Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri mengatakan ada 64 anggota unit polisi nasional di sepanjang pantai -- sesuai pengaturan yang telah diputuskan bersama dengan pemerintah kota Nice.
Namun, sejumlah pihak di Balaikota Nice mengatakan, sejumlah polisi nasional telah digantikan polisi daerah -- yang dibekali dengan senjata lebih ringan dan tak mumpuni untuk mencegah aksi 'pembantaian' itu.
Pemerintah Prancis dikritik keras karena dianggap tak bisa mencegah dan menangani serangan tersebut -- yang terjadi di tengah keadaan darurat menyusul serangan ekstremis di Paris pada November 2015.
Para menteri Prancis bahkan dicemooh ketika mereka menghadiri upacara penghormatan pada para korban di Nice.
Namun, Presiden Prancis Francois Hollande mengaku sepenuhnya yakin pada kerja bawahannya, terutama Mendagri Cazeneuve.
Sebelumnya, pemerintah lokal di Nice menolak permintaan polisi antiteror Prancis untuk menghancurkan CCTV yang merekam terjadinya serangan.
Kejaksaan Paris mengatakan, permintaan tersebut diajukan untuk mencegah 'penyebaran tak terkendali' rekaman tersebut.
Namun, para pejabat di Nice menganggapi dengan pengajuan dokumen hukum yang menentangnya. Mereka beralasan, rekaman tersebut adalah barang bukti.