'Aku Muslim dan Aku Datang ke AS untuk Sembuhkan Kanker'

Pada studi tahun 2013, oleh National Foundation for American Policy sebanyak 42 persen peneliti di 7 pusat penelitan kanker adalah imigran.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 02 Agu 2016, 13:58 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2016, 13:58 WIB
'Aku Imigran, Amerika, dan Muslim di AS Untuk Sembuhkan Kanker'
'Aku Imigran, Amerika, dan Muslim di AS Untuk Sembuhkan Kanker' (PA)

Liputan6.com, Buffalo - Sebuah studi pada tahun 2013 memperlihatkan 42 persen peneliti top di 7 lokasi pusat pengendalian penyakit kanker adalah mereka yang lahir di luar Amerika Serikat.

Apabila Donald Trump terpilih menjadi orang nomor satu di Paman Sam, jelas akan mempengaruhi keberadaan para peneliti itu.

Selain itu, orang-orang cerdas dari luar negeri dan menginginkan pendidikan terbaik di AS pun tak akan mendapat kesempatan apabila 'presiden' Trump benar-benar menjalankan rencananya mengelilingi tembok perbatasan AS dengan Meksiko.

Rencana lain yang bakal membuat Paman Sam terisolasi adalah, apabila Donald Trump melarang muslim masuk AS.

Berdasarkan survei tersebut, tentu saja AS akan kehilangan kesempatan untuk tetap menjadi negeri yang sejatinya telah besar itu.

Tak sedikit para imigran yang berjuang masuk ke AS dan justru membuat negeri itu menjadi negara digdaya terutama dalam hal terobosan kesehatan.

Hal itu yang dirasakan oleh dokter Azra Raza, ahli kanker di Roswell Park Cancer Institute di Buffalo, New York.

Menurut Raza, kompetensinya menjadi seorang spesialis kanker membuatnya pernah duduk bersanding dengan Wakil Presiden AS, Joe Biden di kantornya di Washington DC.

"Ini perjalanan panjang dan terjal dimulai dari aku tumbuh di Karachi, Pakistan hingga ke ruang makan di rumah Wakil Presiden Joe Biden di Naval Observatory di Washington DC," kata Rabu seperti dilansir dari The Guardian, Selasa (2/8/2016).

Raza berkisah saat pertama kali berkarier menjadi onkologis atau ahli kanker di Roswell Park, ia mendapatkan pasien leukimia myeloid akut di stadium akhir. Perempuan berdarah Pakistan itu menyaksikan dengan kepalanya sendiri bagaimana penyakit itu makin menggerogoti tubuh pasiennya.

Ia juga menyaksikan bagaimana sang pasien susah payah menulis pesan untuk anak kembar mereka -- yang kelak akan membaca suratnya saat mereka menginjak usia 21 tahun.

Pasiennya meninggalkan anak kembarnya sebelum mereka berusia 13 tahun.

"Pengalaman itu membuatku patah hati. Semenjak saat itu mengubah cara pandang terhadap penyembuhan kanker leukemia. Bagaimana kanker darah itu terbuat dan ganas di tubuh."

"Karena aku menerima ilmu dari AS, instingku segera bekerja untuk membuat model canggih langkah-langkah penelitan dari pre leukemia hingga leukemia hingga bagaimana mengobatinya Namun, karena aku juga mendapat pendidikan di Pakistan, aku mengambil langkah yang sederhana," bebernya.

Pendiri Pusat Penelitian Kanker Darah

Raza lantas memilih mengambil sel pasien yang memiliki myelodysplastic syndromes (MDS), sebuah tahap awal dari versi leukimia.

"Sejak saat itu aku mengumpulkan sampel darah dan tulang sumsum pasien MDS dan mengikuti bagaimana sel-sel itu berkembang menjadi leukemia. Aku juga menyimpan sel normal mereka sebagai pengontrol. Sejak 1984 kami membangun MDS-AML Tissue Repository, sebuah pusat penelitan darah di mana lebih dari 60 ribu sampe dari puluhan ribu pasien kami teliti," kata Raza tentang hasil risetnya.

"Para pasien MDS juga mendapat pengobatan terbaru berkat penelitian kami dan kerja sama mendonasikan sel mereka untuk kami teliti."

Dr Azra Raza (NY Daily Post)

Bagi Raza, gudang bank darah itu membantu kolega dan dirinya untuk meneliti molekuar dan gen yang berkembang saat sel pre-leukimia berubah menjadi sel leukima.

Tak hanya itu, DS-AML Tissue Repository juga membantu Raza dan timnya menentukan target terapi yang potensial yang dapat digunakan untuk mencegah penyakit sebelum terlambat. Karya mereka kemungkinan akan berlaku untuk evolusi kanker lainnya juga.

Kanker merupakan penyakit paling mematikan dalam dekade ke depan di AS.

Dalam 10 tahun, kasus kanker di AS diperkirakan akan meningkat hingga 42 persen. Kendati demikian, mereka yang selamat juga akan meningkat dari 15,5 juta menjadi 20,3 juta. Di periode yang sama, ahli kanker hanya meningkat 28 persen. Dan, kebanyakan para dokter itu justru dari kalangan imigran.

 

Imigran Pegang Peran di Penelitian

Banyak para imigran membawa talenta unik mereka untuk mengabdi di AS untuk melawan kanker, sebagai penyembuh dan peneliti. Pada studi tahun 2013, oleh National Foundation for American Policy sebanyak 42 persen peneliti di 7 pusat penelitian kanker AS adalah mereka yang lahir di luar Amerika Serikat atau imigran. 

Studi terbaru yang dipublikasikan George Mason University mengatakan berkat imigran, terdapat 28 persen peningakatan ahli bedah dan dokter di AS.

Undangan di rumah Biden juga dihadiri dokter imigran lainnya, Patrick Soon Shiong yang lahir di Afrika Selatan dan merupakan dokter bedah kanker keturunan China-Amerika.

Dr Patrick adalah orang yang mengembangkan cara untuk transplantasi sel islet manusia untuk mengobati diabetes tipe 1. Pertama kali dilakukan dari manusia ke manusia dan babi ke manusia. Ia juga dokter yang pertama melakukan tranplantasi pankreas secara utuh.

Dr Patrick Soon Shiong, ahli bedah kanker yang berhasil melakukan transplantasi pankreas keseluruhan (Biography.com)

Berkat kepiawaian dokter imgiran itu, ia membuat obat Abraxane. Itu adalah kemoterapi yang pertama kali disahkan oleh FDA menggunakan teknologi nano.

Teknologi tersebut mampu menyelamatkan hidup ribuan nyawa pasien dengan kanker payudara, pankreas, paru-paru.

Sementara orangtua dr Azra memilih untuk menetap di Pakistan, ketujuh anak mereka 'wajib' terbang ke AS untuk mencari pendidikan lebih tinggi. 

"Kami percaya pendidikan di AS akan membantu kami menyebar pengetahuan ke seluruh dunia. Orangtua kami bangga dengan anak-anaknya yang mendapat kehormatan di negeri barunya, tempat di mana usaha diakui dan diberi penghargaan tanpa memandang bulu ras, warna kulit, dan agama," tegas Raza.

"Kakak tertuaku adalah ahli bedah jantung, kakak perempuanku ahli kanker anak, adik perempuanku radiolog. Saudara perempuanku yang lain Phd di hubungan internasional, dan saudara laki-lakiku adalah profesor teknik penerbangan antariksa, dan adik bungsuku insinyur elektro," tutur Raza bangga.

"Kami semua muslim, kami semua imigran, kami semua memperkaya dan menyelamatkan nyawa warga AS. Kami hanyalah 7 dari sekian banyak imigran dari berbagai negara, keyakinan yang hingga kini menjadi bagian penting kekuatan AS."

"Kami pekerja keras, orang dengan ide dan mimpi besar, percaya bahwa negara besar ini akan menjadi lebih hebat lagi," ujar Raza.

"Menutup pintu AS bagi para imigran tak bakal menjawab tantangan itu. Justru, AS membutuhkan lebih banyak lagi pemikiran-pemikiran terbaik untuk melawan kanker dan masalah lain -- demi menyelamatkan umat manusia," tutup Raza.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya