Abu al-Adnani Tak Sekadar Juru Bicara ISIS, tapi...

Juru bicara ISIS yang tewas dikabarkan tidak hanya berperan sebagai corong, tapi ia memiliki tugas yang tak kalah mengerikan.

oleh Arie Mega Prastiwi diperbarui 31 Agu 2016, 10:01 WIB
Diterbitkan 31 Agu 2016, 10:01 WIB
Seluruh Suriah Gencatan Senjata 48 Jam
Rezim Suriah mengatakan, pihaknya akan menghormati pelaksanaan gencatan senjata di Aleppo tetapi hanya untuk 48 jam.

Liputan6.com, Aleppo - Harry Safro hampir percaya bahwa ia akan terlibat dalam perang suci. Dengan begitu, ia dapat segera meninggalkan kehidupan kelas menengahnya di Bremen, tahun 2015, dan menyetir 4 jam tanpa henti ke Suriah.

Sesampainya di sana, ia dipertemukan oleh Abu Muhammad al-Adnani.

"Kepadaku, al-Adnani mengatakan banyak sekali anggota ISIS di Eropa yang siap menunggu perintahnya untuk menyerang," kata Safro.

Menurut Safro, pertemuan itu jauh terjadi sebelum serangan di Brussel dan Paris.

"Aku dan kawanku didoktrin untuk menyerang Jerman--Tanah Airku--dan Inggris. Namun, setelah melihat apa yang dia kerjakan... aku hanya ingin pulang," kenang Safro.

Itulah cuplikan wawancara Harry Safro dengan New York Times, 3 Agustus 2016. Ia adalah bekas anggota ISIS yang tobat dan kini mendekam di penjara super ketat di Bremen.

Abu Muhammad al-Adnani, orang nomor dua di ISIS, dilaporkan tewas di Aleppo saat tengah menginspeksi operasi militer.

Kabar itu datang dari kantor berita ISIS, Amaq. Suatu hal yang tak lazim dilakukan oleh mereka: mengabarkan kematian petinggi top ISIS.

Kendati demikian, kematian al-Adnani tak bisa diverifikasi secara independen. Pun sebab kematiannya tak diketahui.

Al-Adnani bukan sekadar corong untuk ISIS. Ia adalah orang pertama yang mengumumkan terbentuknya ISIS dalam sebuah rekaman audio pada Juni 2014. Pria yang dikabarkan berusia 39 tahun itu diyakini sebagai salah satu anggota ISIS paling senior.

ISIS Klaim Juru Bicaranya Tewas Saat Inspeksi Operasi Militer (CNN)

Yang mengerikan lagi, ia disebut-sebut sebagai otak dari penyerangan ISIS di dua negara. Selain bukan sekadar juru bicara, al-Adnani adalah pemimpin unit intelijen ISIS yang disebut Emni.

Hal itu, dikemukakan oleh Rukmini Callimachi, wartawan New York Times yang mumpuni di peliputan terorisme. Demikian Liputan6.com kutip dari The Atlantic, Rabu (31/8/2016). "Adnani tak sekadar mulut ISIS, ia pemimpin Emni, dinas intelijen ISIS yang membuat rencana penyerangan teror."

Menurut Callimachi, konfirmasi bahwa Adnani adalah kepala intel ISIS didapat dari interogasi ekstremis Prancis, Faiz Bouchra. Wartawan senior itu juga mendapatkan informasi dari anggota ISIS di Jerman, Harry Sarfo, yang mengatakan al-Adnani adalah perancang propaganda kelompok militan tersebut.

Bagi wartawan senior itu, keberadaan dinas intelijen ISIS merupakan hal paling mengerikan dalam sejarah terorisme.

"Emni adalah kombinasi kekuatan polisi di dalam dan operasi luar yang dimiliki di tiap cabang negara. Mereka tugasnya adalah melakukan teror di Prancis, Belgia, Jerman, dan Austria," tulis Callimachi yang mengutip dari dokumen.

Menurut Safro, Adnani memiliki kepanjangan tangan di Eropa, Asia dan Arab.

Tak hanya itu, sebuah catatan investigasi melaporkan, ISIS memiliki "tentara darat" yang sudah menyebar di Austria, Jerman, Bangladesh, Malaysia dan Indonesia.
 
"Al-Adnani juga merekrut dua warga Prancis Nicolas Moreau dan Reda Hame yang berhasil ditangkap aparat pada 2015. Mereka dijadikan perekrut dari Eropa di bawah perintah Adnani," tutur Callimachi.

Operasi Emni di Eropa dilakukan di bawah tanah. Sementara di AS, operasi Emni dilakukan dengan cara menyebar lewat media sosial.

"Ada ribuan orang Amerika jadi anggota ISIS. Mereka direkrut lewat sayap operasi eksternal. Mereka tahu, sulit mendapatkan orang Amerika kembali ke AS setelah mereka dari Suriah. Itulah mengapa, sayap media sosial di AS kuat," lanjut Safro lagi.

Menurut dokumen milik Departemen Pertahanan AS, al-Adnani lahir di Suriah tahun 1977. Pemerintah AS menawarkan US$ 5 juta bagi siapa saja yang menangkapnya hidup-hidup.

Bagi al-Adnani, untuk mendapat simpatisan ISIS di AS, justru paling mudah di antara negara lain.

"Orang AS itu paling bodoh dan mudah terpengaruh. Apalagi mereka punya kebijakan senjata api. Mereka tinggal beli. Kami tidak perlu membelikan mereka senjata, cukup kirim uang saja. Pun doktrinasi mampu membuat mereka mengeluarkan uang dari kocek sendiri untuk membeli senjata," papar Safro.  

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya