Top 3: Napoleon Salah Strategi, 400.000 Nyawa Melayang Sia-sia

Napoleon Bonaparte dikenal sebagai ahli strategi perang terbaik, namun ia diketahui melakukan dua kesalahan fatal.

oleh Elin Yunita KristantiAlexander LumbantobingNurul Basmalah diperbarui 14 Sep 2016, 19:15 WIB
Diterbitkan 14 Sep 2016, 19:15 WIB
Invasi Napoleon Bonaparte ke Moskow, Rusia berujung pada kekalahan
Invasi Napoleon Bonaparte ke Moskow, Rusia berujung pada kekalahan (Wikipedia)

 

Liputan6.com, Jakarta - Keputusan Napolen Bonaparte untuk menyeberang ke Rusia melalui Sungai Niemen membawa ia dan pasukannya pada sebuah akhir tragis, kalah perang. 

Kekalahan tersebut harus dibayar dengan kurang lebih 400.000 nyawa yang melayang sia-sia. Kegagalan taktik Bonaparte ini dinilai ironi karena sosoknya disebut-sebut sebagai ahli strategi perang terbaik sepanjang masa.

Artikel tentang strategi gagal Bonaparte ini populer di kalangan pembaca kanal Global Liputan6.com, Rabu (14/9/2016) malam.

Selain itu, terdapat dua artikel lainnya yang juga menyedot perhatian pembaca, yaitu dampak perang di Suriah dan jembatan layang tertinggi di dunia yang berada di China.

Berikut Top 3 Global Selengkapnya:

 1. 14-9-1812: Taktik Gagal Napoleon Bonaparte Renggut 400.000 Nyawa

Kekalahan memalukan Napoleon Bonaparte di Rusia  (Wikipedia)

Napoleon Bonaparte adalah ahli strategi perang terbaik sepanjang sejarah. Ia menjadi panutan para jenderal dan panglima di zona pertempuran, bahkan hingga ratusan tahun kemudian.

Karier militernya menanjak pesat setelah dia berhasil menumpas kerusuhan yang dimotori kaum pendukung royalis atau kerajaan dengan cara yang sangat mengejutkan: menembakkan meriam di kota Paris dari atas menara. Peristiwa itu terjadi tahun 1795 saat Napoleon berusia 26 tahun.

Kemudian ia berhasil membawa kemenangan gilang gemilang Prancis atas Austria dan Prusia, bahkan nyaris menguasai seluruh daratan Eropa, dengan jalan mengobarkan perang maupun diplomasi.

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Pria Korsika itu melakukan setidaknya dua kesalahan fatal. Salah satunya ketika ia menggiring pasukannya, Grande Armée menyeberangi Sungai Niemen ke Rusia.

Invasi yang diharapkan berakhir dengan kemenangan besar itu justru berubah jadi malapetaka.

Selanjutnya...

2. Dampak Perang yang Tak Kunjung Usai di Suriah: Poligami

Seorang ibu bersama anaknya kembali ke rumah mereka di kota modern Palmyra, berdekatan dengan kota kuno Suriah, Sabtu (9/4). Kota itu berhasil direbut kembali oleh militer Suriah dari tangan kelompok ekstrimis ISIS beberapa waktu lalu. (Louai BESHARA/AFP)

Tak ada yang tahu kapan damai akan kembali menyapa di Suriah, sebuah negeri yang pernah menjadi pusat peradaban penting dunia pada masa lalu. Ribuan orang tewas akibat perang saudara dan aksi teroris, khususnya kaum Adam.

Para pria tewas dalam pertempuran, ditahan, atau dipaksa ke tempat pengasingan. Mereka meninggalkan istri dan anak-anak. Salah satu dampak dari kondisi itu adalah meningkatnya angka poligami.

Sumber resmi mengatakan bahwa pernikahan poligami yang terdaftar di Damaskus pada 2015 telah meningkat 30 persen dibandingkan tahun 2010 -- ketika konflik belum sedemikian parah di negara yang juga dikenal sebagai negeri Syam itu.

Salah satunya menimpa Maha. Enam bulan setelah suaminya tewas dalam perang saudara, ibu dua anak itu akhirnya memutuskan menikah lagi. Ia jadi istri kedua.

"Setelah suamiku meninggal, aku sendirian bersama anak-anakku, dan itu sungguh sulit," kata dia seperti dikutip dari Malay Online, Selasa 13 September 2016.

Selanjutnya...

3. Seperti Ini Jembatan 'di Atas Awan' di China Setinggi 565 Meter

564 Meter di Atas Tanah, Ini Jembatan 'Awan' Tertinggi Dunia? (Reuters)

Para insinyur China telah menyelesaikan struktur dasar jembatan layang yang diklaim sebagai infrastruktur penghubung tertinggi di dunia.

Seperti yang dikutip Liputan6.com dari beberapa sumber, Senin 12 September 2016, jembatan Beipanjiang itu terbentang di atas pegunungan barat daya China, setinggi 565 meter dari permukaan tanah.

Beipanjiang menghubungkan dua wilayah yang paling terpencil di China, yaitu Provinsi Yunnan dan Guizhou.

Para insinyur memasang set terakhir struktur bangunan tersebut pada 10 September 2016 lalu. Pembangunan itu pun memakan waktu selama 3 tahun dan biaya sebanyak 88 juta pound sterling atau setara dengan Rp 1,5 triliun.

Beipanjiang yang berdiri 'di atas awan itu' 2 kali lebih tinggi dari pencakar langit The Shard di London.

Selanjutnya...

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya