Liputan6.com, Jakarta - Danau Toba merupakan danau terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara. Perairan yang berlokasi di Sumatera Utara itu memiliki panjang sekitar 100 kilometer dan lebar 30 kilometer.
Menurut sejumlah ilmuwan, danau itu terbentuk karena erupsi hebat Gunung Toba yang terjadi pada 74.000 tahun lalu. Dilansir dari Daily Mail, letusan tersebut membinasakan sekitar 60 persen makhluk hidup pada saat itu.
Baca Juga
Kala meletus, Gunung Toba memuntahkan 2.500 kilometer kubik lava, setara dua kali volume Gunung Everest. Erupsinya 5.000 kali lebih mengerikan dari letusan Gunung St Helens pada 1980 di Amerika Serikat.
Advertisement
Menurut situs Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), dalam waktu sekitar dua minggu, ribuan kilometer kubik puing dimuntahkan dari puncaknya. Aliran piroklastik--awan yang merupakan campuran gas panas, serpihan batu, dan abu--mengubur wilayah sekitar 20.000 kilometer persegi di sekitar kaldera.
Pasca-letusan, Gunung Toba meninggalkan kaldera modern yang dipenuhi air--menjadi Danau Toba. Sementara, Pulau Samosir terangkat oleh magma di bawah tanah yang tidak meletus.
Walaupun telah terjadi puluhan ribu tahun lalu, para peneliti memprediksi erupsi dahsyat Danau Toba akan terjadi lagi. Namun menurut mereka, peristiwa tersebut tampaknya tak akan terjadi dalam waktu dekat.
Ivan Koulakov dan rekan-rekannya dari Siberian Branch of the Russian Academy of Sciences, meneliti apa yang tersembunyi di bawah Danau Toba dengan menggunakan data seismik.
Tim peneliti itu membuat sebuah model yang dipublikasikan di jurnal Nature. Mereka menunjukkan bagaimana kolam magma tumbuh di bawah kaldera Toba. Meski terlihat tenang, peneliti mengatakan bahwa "mesin" yang menghasilkan magma akan terus aktif.
Dengan menggunakan data seismik untuk melacak sistem saluran Toba, mereka memperoleh saluran rumit dengan magma yang bergerak naik melalui tingkat tertentu.
Tim itu juga melacak magma hingga kedalaman 150 km. Pada level itu, sejumlah besar unsur-unsur kimia atmosfer dihasilkan di subduksi--batas antar lempeng yang bersifat konvergen.
Mereka kemudian bergerak ke atas dan mencair, berkumpul di dasar kerak, dan menciptakan reservoir magma seluas 50.000 kilometer kubik dengan kedalaman 75 kilometer. Proses tersebut terus berulang dan membentuk kerak reservoir dangkal yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya letusan dahsyat.
Meski terdapat kemungkinan letusan hebat terjadi lagi, para ilmuwan mengatakan bahwa kita tak perlu cemas akan hal tersebut.
"Terdapat kemungkinan bahwa, dalam jangka waktu panjang, letusan besar akan terjadi berulang kali hingga (sistem patahan) Investigator Fracture Zone, di mana menjadi sumber terbesar letusan dahsyat, menghujam ke bawah Toba," ujar ilmuwan seperti dilansir International Business Times.
Mereka menambahkan, magma cair dan volatil di kerak kemungkinan belum dicapai, sehingga letusan dahsyat berikutnya diperkirakan baru akan terjadi dalam beberapa puluh ribu atau ratusan ribu tahun mendatang.
Toba bukanlah satu-satunya supervolcano di mana reservoir magma ditemukan di dalamnya. Struktur serupa juga terdapat di supervocano Yellowstone di Amerika Serikat. Menurut peneliti, hal itu menunjukkan bahwa reservoir magma yang luas dan padat di bawah kerak Bumi merupakan mekanisme kunci penyebab letusan dahsyat.
Jika Yellowstone kembali meletus, kekuatan erupsinya diperkirakan ribuan kali lebih kuat dari letusan gunung St Helena pada 1980. Ia akan memuntahkan lava ke langit, sementara abunya yang panas akan mematikan tanaman dan mengubur wilayah sekitarnya hingga radius lebih dari 1.600 kilometer.
Tak hanya itu, dua pertiga wilayah Amerika Serikat bisa jadi tak dapat dihuni lagi karena udara beracun yang berembus dari kaldera.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa abu hasil letusan dapat menghalangi sinar Matahari dan menyebabkan penurunan suhu Bumi secara drastis. Hal tersebut dapat mengakibatkan kelangkaan pangan dan kematian massal.