Liputan6.com, Jakarta - Lindu 7,4 skala Richter (SR) yang mengguncang timur laut Jepang, dekat Prefektur Fukushima pada Selasa 22 November 2016 pukul 06.00 waktu setempat membangkitkan 'horor' yang pernah terjadi pada 2011 lalu: Gempa Tohoku.
Perintah evakuasi pun dikeluarkan. "Tolong, jangan berpikir bahwa Anda aman. Pergilah ke tempat yang lebih tinggi," demikian pengumuman yang disampaikan media NHK.
Meski tak menjulang tinggi, tsunami mini terjadi pascagempa. Video detik-detik usai lindu mengguncang merekam penampakan gelombang aneh yang terbentuk di sungai.
Advertisement
Kala itu pada Maret 2011, delapan hari sebelum supermoon, gempa dengan kekuatan 9 skala Richter mengguncang Negeri Sakura. Lebih dari 18 ribu orang tewas atau dilaporkan hilang.
Lindu dan tsunami juga bikin luruh PLTN Fukushima Dai-ichi, memicu krisis nuklir terparah setelah ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada penghujung Perang Dunia II.
Menurut sejumlah ilmuwan, Jepang harus bersiap menghadapi guncangan yang tak kalah hebat.
Seperti dikutip dari Japan Today, Kamis (24/11/2016), Dr Masaaki Kimura, seorang ahli seismologi yang dikabarkan memprediksi Gempa Tohoku 2011, meramalkan gempa besar akan kembali lindu Jepang.
Baca Juga
Berdasarkan estimasinya, gempa akan terjadi pada tahun 2017, dengan magnitude serupa dengan lindu 2011.
Profesor Emeritus geologi bawah laut dan seismologi di University of the Ryukyus di Prefektur Okinawa itu mendasarkan prediksinya pada observasi di sejumlah wilayah di Jepang yang belum mengalami gempa besar, namun kerap mengalami lindu kecil.
Pada Juli 2014, ia menyebut wilayah tersebut sebagai 'mata gempa' (earthquake eyes). Kimura memprediksi lokasi Gempa Tohoku 2011 menggunakan teori yang sama, empat tahun sebelumnya.
Menurut sang ilmuwan, gempa bisa jadi mengguncang pada 2017 -- meski kalkulasinya yang sebenarnya adalah 2012 plus minus 5 tahun. Ia mengatakan, pusat gempa diperkirakan berada di Kepulauan Izu, rangkaian pulau vulkanik yang membentang dari Semenanjung Izu di Prefektur Shizuoka.
Kimura memperkirakan, kekuatan guncangan akan serupa dengan 2011, yakni 9 skala Richter.
Senada, penikmat astronomi, Yoshio Kushida juga meramalkan gempa besar akan melanda Jepang dalam waktu tak lama.
Namun, Dr Robert Geller, profesor geofisika dari Universitas Tokyo membantah dua prediksi tersebut.
Gempa Bisa Diprediksi, Fakta atau Mitos?
Apakah gempa bisa diprediksi kapan dan di mana akan mengguncang, masih jadi topik kontroversial di antara para ilmuwan.
Seperti dikutip dari situs Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), prediksi gempa ilmiah diawali pada pertengahan hingga akhir 1970-an. Pada musim dingin 1975, para pejabat China memerintahkan evakuasi penduduk Haicheng yang populasinya mencapai sekitar 1 juta di Provinsi Liaoning.
Perintah evakuasi berdasarkan laporan para ilmuwan dan peneliti yang mengamati perubahan tingkat elevasi tanah dan air tanah. Juga, pengamatan pada perubahan sikap yang aneh pada binatang dan gejala-gejala lain yang diyakini menjadi pertanda gempa.
Benar saja, beberapa hari kemudian gempa dengan kekuatan 7,3 skala Richter mengguncang pada 4 Februari 1975. Sebanyak 2.041 orang tewas, 27.538 lainnya luka-luka.
Jumlah itu relatif sedikit. Seandainya evakuasi tak dilakukan, niscaya korban jiwa dan luka akan melampaui 150 ribu orang.
Namun, optimisme prediksi gempa tersebut tak bertahan lama. Pada tahun berikutnya, 28 Juli 1976, lindu dengan kekuatan 7,6 SR mengguncang Tangshan, sebuah kota industri yang berkembang dengan jumlah populasi mencapai 1 juta jiwa.
Karena tanda-tanda terjadinya gempa tak terbaca, tidak ada peringatan dan perintah evakuasi dikeluarkan. Akibatnya, sungguh tragis. Bumi yang berguncang merenggut 250 ribu nyawa dan melukai 164 ribu manusia.
Tim peneliti AS yang mengunjungi China pada 1976 untuk menginvestigasi prediksi gempa yang berhasil di Haicheng menemukan, bahwa perkiraan tersebut utamanya didasarkan pada pengamatan pada gempa awalan (foreshock).
Sementara, aspek lain yang dideskripsikan dalam metodologi para ahli Tiongkok lebih sulit untuk dinilai.
Sementara itu di Italia, pada Senin 22 Oktober 2012 pengadilan menjatuhkan vonis 6 tahun pada enam ilmuwan dan seorang mantan pejabat. Mereka dianggap bertanggung jawab atas kejadian gempa bumi dahsyat di L'Aquila, Minggu malam 6 April 2009. Lindu dengan kekuatan 6,3 skala Richter itu merenggut 309 nyawa.
Sebelum bumi L'Aquila berguncang hebat, serangkaian gempa kecil telah terjadi di awal 2009 lalu. Enam seismolog dan pejabat pemerintah mengadakan pertemuan publik, di mana saat itu mereka mengatakan, serangkaian tremor kecil bukan pertanda terjadinya lindu dahsyat. Beberapa hari kemudian terbukti apa yang mereka katakan tidak tepat.
Vonis tersebut menggegerkan kalangan ilmuwan. Memunculkan kembali debat ilmiah, apakah gempa bisa diprediksi atau di luar kekuasaan manusia.
Hingga kini, komunitas ilmiah terus berusaha menemukan metodologi yang sahih untuk memprediksi gempa.
Sebab, prediksi dan peringatan terjadinya bencana bisa jadi faktor krusial untuk menyelamatkan nyawa manusia di lokasi terdampak. Waktu yang sempit sekalipun, dalam hitungan menit, bisa menyelamatkan banyak orang.