Liputan6.com, Tokyo - Pada 1 September 1923, pagi menjelang siang, gempa dahsyat mengguncang Dataran Kanto, Jepang memporak-porandakan kawasan industri yang sibuk di Tokyo dan Yokohama.
Gempa Jepang meratakan bangunan-bangunan, menjungkirbalikkan kompor-kompor yang sedang digunakan untuk memasak. Dikipasi topan dari Teluk Tokyo, api dengan cepat menjalar di lanskap yang datar. Kebakaran hebat melanda.
Baca Juga
Lalu, rumor beredar liar, yang menyebut warga dari Korea menjarah rumah-rumah korban gempa -- yang memicu gelombang balas dendam pada kaum pendatang.
Advertisement
Pada saat bencana mereda, setidaknya 100 ribu orang tewas, dan sebagian besar wilayah terdampak dalam kondisi hancur. Kehancuran luar biasa, kerugian yang ditimbulkan sungguh tak terkira -- Negeri Sakura pun sempat berencana memindahkan ibukotanya.
Namun, rencana itu tak jadi diwujudkan. Jepang membangun kembali Tokyo dan wilayah terdampak lainnya. Kali itu, dengan cermat dan hati-hati.
Bangunan yang rawan kebakaran, yang didirikan dengan kayu dan batu bata, digantikan dengan menara enam lantai dari beton dan baja. Jalan raya, sistem kereta bawah tanah, dan bandara dibangun.
Seperti dikutip dari Time, pada tahun 1935, populasi di Tokyo menyaingi jumlah penduduk di metropolis New York dan London.
Sejak lama warga Jepang tahu, tanah yang mereka pijak, yang subur dan kaya dengan mineral, rawan bencana.
Negeri Matahari Terbit bertenger di permukaan labil, di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire). Jepang adalah salah satu negeri paling rentan terhadap gempa bumi di dunia -- sama seperti Indonesia.
Namun, yang berbeda, Jepang adalah negara yang paling siap menghadapi 'amuk' alam. Gempa 1923, bencana bom nuklir di penghujung Perang Dunia II, gempa 1995 di Kobe, dan terakhir lindu 9 skala Richter pada 2011 yang memicu tsunami dan menimbulkan dampak susulan luruhnya reaktor nuklir Fukushima Dai-ichi -- dijadikan pelajaran berharga.
Apa yang membuat Jepang siap menghadapi bencana? Berikut 4 tips menghadapi gempa yang bisa kita pelajari dari Negeri Sakura, seperti Liputan6.com kutip dari berbagai sumber:
1. Peringatan Dini dan Simulasi Bencana
Jepang adalah 'pemimpin dunia' dalam hal kesiapsiagaan menghadapi bencana. Setiap tahun sejak 1960, negara tersebut memperingati Hari Pencegahan Bencana setiap tanggal 1 September.
Sekitar 795.000 orang, termasuk perdana menteri, ikut dalam simulasi bencana tiap tanggal 1 September, di hari yang sama pada tahun 1923 terjadi gempa dahsyat Kanto yang menewaskan 140.000 orang di Tokyo.
Jepang juga memiliki sistem peringatan dini paling canggih di dunia.
Peringatan tsunami mulai dibuat pada tahun 1952, terdiri dari 300 sensor di seluruh pantai, termasuk 80 sensor air yang memantau aktivitas seismik 24 jam perhari.
Jaringan tersebut dirancang untuk memprediksi ketinggian, kecepatan, lokasi dan waktu kedatangan gelombang raksasa menuju pantai Jepang.
Â
Di pantai timur Jepang, di mana tsunami sering melanda, ratusan penampungan korban gempa dan tsunami dibangun. Beberapa kota bahkan dibentengi dengan dinding penangkal gelombang dan pintu air sehingga tsunami tak menerobos masuk melalui sungai-sungai yang terhubung dengan lautan.
Advertisement
2. Kualitas Bangunan
Gempa mungkin tak membunuh manusia, tapi kualitas bangunan yang lemah mungkin jadi penyebab kematian -- itu yang disadari pemerintah dan masyarakat Jepang.
Pada tahun 1981, Jepang memperbarui aturan mendirikan bangunan, dengan mempertimbangkan masukan dari para ahli gempa.
Gempa Kobe, yang menewaskan setidaknya 5.100 orang, menjadi inspirasi munculnya riset tentang keselamatan menghadapi gempa dan manajemen bencana.
Pada tahun 2000, aturan mendirikan bangunan direvisi lagi. Kali itu dengan persyaratan tertentu dan pemeriksaan wajib.
Bahkan di tingkat lokal, kesiapan adalah prioritas: pada 1979-2009, Pemerintah Prefektur Shizuoka saja menggelontorkan lebih dari US$ 4 miliar untuk meningkatkan keamanan rumah sakit, sekolah, dan fasilitas sosial lainnya.
Meski kota-kota di Jepang sering berguncang, namun tak sampai ambruk. "Hal itu memberi saya kepercayaan besar pada aturan bangunan Jepang," Charles Schencking, sejarawan Hong Kong University yang mempelajari riwayat gempa di Negeri Sakura.
3. Respons Warga Terhadap Gempa
Warga Jepang tahu benar apa yang harus dilakukan ketika gempa terjadi, misalnya harus melindungi kepala dengan meja yang kuat, agar tidak kejatuhan benda-benda keras. Bukannya, tergesa-gesa keluar rumah.
Lalu, di bawah lindungan meja atau benda lain dengan cepat mereka mematikan aliran gas, dan memastikan pintu tetap terbuka untuk mengurangi risiko terjebak di antara reruntuhan.
Penduduk Jepang juga mengikuti anjuran untuk menyimpan sepatu di bawah tempat tidur dan sepeda di halaman. Sepatu untuk mengamankan kaki dari pecahan kaca. Sedangkan sepeda adalah alat transportasi yang paling tepat saat gempa.
Masyarakat Jepang mengaktifkan peringatan gempa di telepon genggamnya. Anak-anak di sekolah memiliki pelindung kepala tahan api di mejanya masing-masing.
Ketika guncangan mereda, mereka mengevakuasi diri dengan tetap memasang pelindung pada kepala -- sebab benda apapun yang ada di atas bisa jatuh. Warga Jepang juga sudah terlatih, untuk tak panik saat menghadapi bencana.
Tak hanya itu, simulator gempa canggih juga digunakan untuk membiasakan anak-anak dengan getaran gempa.
Sementara, pemerintah daerah atau pemerintah lokal dilatih secara khusus untuk mengumumkan terjadinya bencana dan melakukan evakuasi secara cepat. Mereka juga dilatih untuk mendistribusikan makanan dan selimut di tempat-tempat penampungan.
Staf di stasiun kereta, pusat perbelanjaan, perkantoran, dan gedung-gedung publik dibekali pelatihan penanganan gempa. Mereka akan memberikan arahan ke jalur evakuasi.
Advertisement
4. Penanganan Kondisi Darurat
Pemerintah Jepang memastikan pusat energi nuklir dan kereta listrik akan mati secara otomatis ketika bumi bergetar dalam batas tertentu.
Jepang memastikan pusat energi nuklir dan kereta listrik akan mati secara otomatis ketika bumi bergetar dalam batas tertentu.
Seandainya persiapan tak dilakukan, mungkin krisis nuklir yang terjadi pasca-gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011 lebih parah.
Kala itu, tsunami meluruhkan reaktor No. 1 PLTN Fukushima Dai-ichi -- memicu krisis nuklir terparah yang melanda Jepang pasca-Perang Dunia II.
Perdana Menteri Jepang kala itu menginstruksikan warga yang tinggal di radius 20 kilometer di sekitar PLTN Fukushima harus mengevakuasi diri.
Sementara, penduduk yang tinggal di radius 20 km dan 30 dari titik reaktor nuklir untuk tetap berada di dalam rumah -- beberapa hari kemudian pada tanggal 25 Maret 2011 mereka semua dievakuasi.
Jepang kemudian segera menghentikan operasional 48 reaktornya -- yang jumlahnya kemudian bertambah jadi 54. Investasi teknologi terbarukan ditingkatkan.
Sebelum bencana terjadi, Jepang bergantung pada pembangkit nuklir untuk memenuhi sekitar 30 persen dari kebutuhan energi listrik.
Pada masa kepemimpinan PM Sinzo Abe, sejumlah reaktor yang sempat dihentikan kembali diaktifkan. Namun, dengan percegahan yang lebih hati-hati.