Liputan6.com, Harare - Hari sudah tengah malam di suatu pertokoan di Hopley, kawasan miskin pinggir kota Harare, ibukota Zimbabwe. Seorang remaja yatim piatu berusia 15 tahun, Masceline, berdiri di kegelapan untuk mencari pelanggan sambil menghindari hajaran para pekerja seks komersial (PSK) yang lebih uzur.
Kekhawatirannya beralasan.
Mahkamah Konstitusi Zimbabwe pada 2015 memutuskan bahwa polisi tidak boleh lagi menangkap seorang wanita dengan alasan prostitusi.
Advertisement
Pada awalnya, para PSK menyambut gembira karena mereka tidak bisa lagi diseret ke pengadilan. Mereka juga tak perlu membayar suap untuk menghindari penjara selama 6 bulan.
Baca Juga
Keputusan itu juga melegakan bagi para wanita lain yang kerap ditangkap polisi hanya karena berjalan sendirian pada malam hari atau sedang menikmati minuman di sebuah pub.
Masalahnya, seperti dikutip dari The Economist pada Kamis (12/1/2017), persaingan meningkat tajam. Menurut Tambudzai Mikorasi, seorang PSK berusia 40 tahun, sejak keputusan itu, banyak kaum wanita muda dan remaja ikut melakukan prostitusi. Harga pasaran pun turun.
Sejumlah PSK gaek menanggapi hal itu dengan menyewa tukang pukul untuk melindungi pasar. Para pria tukang pukul itu mendapat imbalan seks sesuka mereka.
Kata Mikorasi, "Kami tidak punya pilihan. Belum pernah separah ini. Gadis-gadis ingusan itu mendepak kami keluar bisnis."
Malaika Chatyoka (37) mengeluhkan bahwa pembayaran yang diterimanya anjlok, dari US$ 10 untuk layanan 30 menit, menjadi US$ 2. Layanan semalam suntuk turun 5 kali lipat, sekarang hanya US$ 10 semalaman.
Razia polisi dulunya menakutkan para pesaing. Kata Sazini Ngwenya (25), "Hanya yang berani yang tetap berkeliaran di jalan. Sekarang semuanya bebas."
Bukan hanya itu, pengurangan kehadiran polisi juga meningkatkan angka perampokan dan pemerkosaan.
Dihadapkan dengan ekonomi Zimbabwe yang ambruk, pekerjaan seks dengan potongan harga masih seperti pilihan yang bukan terburuk.
"Tanpa pendidikan, dihadapkan pada tanggungjawab untuk menafkahi saudara sekandung atau anak, banyak anak perempuan dan kaum wanita terpaksa menjajakan seks demi penyintasan," kata Talent Jumo, direktur suatu badan amal bernama Katswe Sistahood.
Ia melanjutkan bahwa, tanpa adanya pemulihan ekonomi, akan lebih banyak lagi remaja-remaja perempuan yang dipaksa menjajakan diri di jalan-jalan.
Bagi Masceline, kebutuhan untuk memberi makan keluarganya berarti ia akan terus menjajakan tubuhnya. Katanya sambil menyambut pelanggan yang mendekat, "Semua yang saya hadapi di sini masih lebih baik daripada kelaparan atau melihat adik perempuan saya putus sekolah.""