Pengamat Politik AS: Gedung Putih Kini Jadi TKP Tindak Pidana

Penyelidikan sejumlah kasus besar di AS kini terpusat di Gedung Putih. Bahkan proses tersebut berpotensi ikut menyeret Donald Trump.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 15 Jun 2017, 18:40 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2017, 18:40 WIB
Gedung Putih (AP)
Gedung Putih (AP)

Liputan6.com, Washington, DC - Sebagai istana sekaligus kantor kepresidenan, Gedung Putih sepanjang sejarahnya menjadi simbol kepemimpinan, demokrasi, dan kekuasaan. Namun kini, ceritanya berbeda.

Hari-hari terakhir, gedung yang didesain oleh arsitek kelahiran Irlandia James Hoban itu dianggap bak sebuah "tempat kejadian perkara" (TKP). Adalah Seth Abramson, seorang pengamat politik AS yang menyebutnya demikian.

"Sekarang Gedung Putih adalah sebuah TKP tindak pidana," demikian kicau Abramson di media sosial Twitter.

Pemicu pernyataan Abramson adalah karena penyelidikan sejumlah kasus hukum terpusat di Gedung Putih, mulai dari dugaan intervensi Rusia dalam Pilpres AS 2016 hingga tudingan bahwa Donald Trump berusaha menghalangi hukum.

Faktanya, saat ini Trump memang tengah diselidiki oleh seorang penasihat khusus atau special counsel Robert Mueller yang ditunjuk secara independen oleh Jaksa Agung AS.

Penyelidikan atas Trump berkaitan dengan dugaan pelanggaran hukum. Mueller sendiri saat ini tengah fokus menginvestigasi dugaan campur tangan Rusia dalam pilpres dan kemungkinan kolusi tim kampanye Trump dengan Moskow.

Media The Washington Post yang dikutip News.com.au, Kamis (15/6/2017) menuliskan, "dalam peralihan penting terkait penyelidikan yang belum pernah disaksikan oleh warga AS sebelumnya, sejumlah pejabat intelijen senior setuju untuk dimintai keterangan oleh penyidik yang bekerja untuk Mueller".

Dalam laporannya pada Rabu 14 Juni, The Washington Post pun menjelaskan bahwa pejabat senior yang dimaksud adalah Direktur Intelijen Nasional Dan Coats, Kepala Badan Keamanan Nasional Mike Rogers, dan mantan Wakil Direktur NASA Richard Ledgett.

Menurut The Post, langkah untuk menyelidiki presiden AS datang setelah Trump memecat Direktur FBI James Comey pada 9 Mei.

Dalam keterangannya di hadapan Kongres pekan lalu, Comey menyatakan, ia yakin alasan dipecat oleh Trump demi melemahkan penyelidikan yang tengah dilakukan FBI atas Rusia.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, Trump mengharapkan loyalitas darinya. Selain itu, Trump juga mendesaknya agar membatalkan investigasi terkait dugaan kolusi antara tim kampanyenya dan Rusia.

Sebuah peristiwa menarik terkait penyelidikan Mueller terjadi pada 22 Maret 2017. Coats mengisahkan kepada koleganya bahwa Trump memintanya untuk mengintervensi Comey demi menutup penyelidikan FBI atas mantan Penasihat Keamanan Nasionalnya Mike Flynn.

Flynn yang juga merupakan anggota tim kampanye Trump diselidiki atas dugaan kolusi dengan Rusia untuk menganggu jalannya Pilpres AS 2016.

Beberapa hari setelah tanggal 22 Maret, Trump secara personal meminta Coats dan Rogers untuk memberikan pernyataan di hadapan publik bahwa tidak ada buktinya adanya koordinasi tim kampanyenya dengan pihak Rusia. Dalam laporan yang dimuat The Post disebutkan bahwa keduanya menolak permintaan Trump.

Menanggapi laporan tersebut, pengacara Trump Marc Kasowitz menuding FBI adalah dalang di balik kebocoran informasi tersebut. Kasowitz menyebutnya itu sebagai langkah "keterlaluan, tidak dapat dimaafkan, dan ilegal."

Meski demikian, kuasa hukum Trump tersebut tidak menyangkal keakuratan laporan itu.

Hal senada juga dilontarkan oleh Juru Bicara Gedung Putih Mark Corallo. Ia mengatakan, "Kebocoran informasi oleh FBI tentang presiden keterlaluan, tidak dapat dimaafkan, dan ilegal".

Beberapa ahli mengatakan, kesaksian Comey tentang Trump dapat mendukung penyingkapan tudingan melanggar hukum yang dilakukan Trump.

Jika Trump terbukti melakukan upaya menghalangi penegakan hukum, maka hal tersebut bisa menjadi dasar pemakzulannya. Namun, langkah tersebut akan menghadapi rintangan yang curam mengingat, pemecatan presiden membutuhkan persetujuan DPR -- yang mayoritas dihuni politisi Partai Republik. Partai itu adalah pendukung Donald Trump.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya