Liputan6.com, Baghdad - Komandan Amerika Serikat yang memimpin pasukan koalisi di Irak memperingatkan perang melawan ISIS belum berakhir, meski kemenangan "bersejarah" telah diraih di Mosul.
Letnan Jenderal Stephen Townsend mengatakan, ISISÂ versi kedua atau 2.0 akan muncul jika pemerintah mengambil sebuah "pendekatan yang berbeda" terhadap muslim Sunni.
Dulu ISIS merupakan bagian dari  Al Qaeda sebelum berpisah dari kelompok tersebut pada 2014 dan mendeklarasikan kekhalifahan di Irak dan Suriah.
Advertisement
Peringatan Letjen Townsend itu muncul di tengah upaya pasukan Irak "membersihkan" kota tua Mosul dari bahan peledak dan anggota ISIS yang bersembunyi setelah Perdana Menteri Haider al-Abadi mengumumkan kemenangan secara resmi pada Senin, 11 Juli 2017 waktu setempat.
"Jika kita ingin mencegah...kemunculan ISISÂ versi kedua, pemerintah Irak harus melakukan sesuatu yang berbeda secara signifikan. Mereka harus merangkul dan berdamai dengan penduduk Sunni serta membuat mereka merasa pemerintahan di Baghdad mewakili suara mereka," ujar Letjen Townsend kepada BBC seperti Liputan6.com kutip dari Daily Mail pada Rabu (12/7/2017).
Saat ini anggota ISIS dilaporkan melarikan diri dari Mosul dan merebut Desa Imam Gharbi di bagian selatan. Mereka menggunakan taktik gerilya.
Baca Juga
Pasukan ISIS yang bersenjatakan senapan mesin dan mortir sekarang telah menguasai lebih dari 75 persen wilayah desa yang terletak di tepi barat Sungai Tigris itu--atau sekitar 44 mil di selatan Mosul.
ISIS telah melancarkan serangan ke Imam Gharbi sejak pekan lalu menyusul semakin terdesaknya mereka di Mosul.
Dilucuti dari Mosul, pengaruh ISIS di Irak akan beranjak ke wilayah pedesaan, area gurun di barat, dan bagian selatan kota itu.
Di lain tempat, tepatnya di basis operasionalnya di Raqqa, ISIS juga terdesak. Pasukan Kurdi dan Arab yang didukung AS telah merebut tiga sisi kota itu.
Kampanye untuk merebut kembali Mosul dari ISIS diluncurkan pada Oktober lalu oleh aliansi berjumlah 100.000 orang. Mereka terdiri dari pasukan pemerintah Irak, pejuang Peshmerga Kurdi, milisi Syiah, dan pasukan AS yang mendukung melalui serangan udara.
Pemerintahan PM Abadi kini menghadapi tugas yang sulit untuk mengelola konflik sektarian. Jika tidak ditangani dengan baik, maka ini memungkinkan ISIS untuk mendapatkan dukungan dari kelompok Sunni yang merasa terpinggirkan oleh pemerintah yang terdiri atas mayoritas Syiah.
Muslim Syiah membentuk sekitar 65 persen populasi di Irak, sementara Sunni hanya sekitar setengah dari jumlah tersebut. Kelompok Sunni sendiri memegang nyaris semua posisi kunci di Partai Ba'ath yang mendukung pemerintahan Saddam Hussein.
Sejak eksekusi Saddam, mereka mengeluh karena merasa terpinggirkan oleh pemerintah pusat.
Bruce Hoffman, ahli keamanan di Georgetown University mengatakan, perasaan tersisihkan tersebut kemungkinan akan memicu "situasi baru".
Sebagian besar pertempuran di Irak difokuskan pada sejumlah pusat populasi Sunni, seperti Mosul, Fallujah, dan Ramadi.
"Ini nyaris mencapai sebuah tingkat perpecahan baru dan pertumpahan darah tak henti-hentinya yang telah membuat rasa gagasan untuk kembali membangun masyarakat sipil sangat menantang," tutur Hoffman.
Dengan Mosul saat ini telah "jatuh" dan pertarungan merebut kembali Raqqa berjalan dengan baik, usia ISIS sebagai kekuatan teritorial nyaris berakhir.
Namun, kelompok tersebut masih jauh dari kematian. Mereka dikabarkan akan mengincar wilayah-wilayah lain yang tidak stabil di dunia untuk membangun medan tempur baru.
Seorang analis dari think thank RAND Colin Clark mengatakan kepada Associated Press, "Mereka (ISIS) akan mencari negara-negara yang lemah. ISIS akan menyusup dalam konflik lokal".
Â
Simak video menarik berikut: