Terkuak, Putra Mahkota Arab Saudi Ingin Akhiri Perang Yaman

Dalam sebuah surel yang bocor ke publik, Putra Mahkota Saudi berkinginan menyelesaikan keterlibatan negaranya pada Perang Yaman.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 16 Agu 2017, 12:02 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2017, 12:02 WIB
Pangeran Mohammed bin Salman
Mohammed bin Salman ditunjuk jadi putra Mahkota Arab Saudi (Foto:Hassan Ammar/AP)

Liputan6.com, Riyadh - Melalui rangkaian percakapan via surat elektronik (surel) yang bocor ke publik, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman (MBS) diduga berkeinginan untuk mengakhiri Perang Yaman, konflik bersenjata yang ia gagas dan hingga kini masih berlangsung sejak dua tahun lalu.

Dalam percakapan itu, bin Salman turut menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan jika suatu saat, Amerika Serikat menjalin hubungan bilateral dengan Iran, seteru lama Saudi.

Percakapan itu, diduga, terjadi satu bulan sebelum Saudi melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Qatar. Demikian seperti dilansir Middleeasteye.net, Rabu (16/8/2017).

Percakapan via surel itu melibatkan Martin Indyk (mantan Duta Besar AS untuk Israel) dengan Yousef Otaiba (Dubes Uni Emirat Arab untuk AS). Surel itu berhasil diperoleh oleh kelompok pembocor (whistleblower) GlobalLeaks.

Percakapan surel yang bocor itu kemudian dipublikasikan pertama kali oleh media Middle East Eye.

Pernyataan MBS --yang ingin menarik diri dari Perang Yaman-- diutarakan kepada dua mantan pejabat Amerika Serikat, yakni Indyk dan Stephen Hadley (mantan Penasihat Keamanan Nasional AS). Detail pernyataan bin Salman itu terkandung dalam surel percakapan berantai antara Indyk dan Otaiba.

Indyk dan Oraiba mendiskusikan sang putra mahkota yang dianggap pragmatis dan menyimpang dari posisi publik yang diadopsi oleh kerajaan. Dalam percakapan itu, terkuak pula rencana bin Salman yang ingin menyelesaikan keterlibatan Saudi pada Perang Yaman.

Dalam sebuah surel, Indyk menulis, "Ia (MBS) telah mengatakannya dengan jelas kepada Steve Hadley dan saya, bahwa ia ingin menarik diri dari Yaman. Ia juga tak berkeberatan jika AS menjalin relasi dengan Iran, selama berkoordinasi dan memiliki tujuan yang jelas."

Membalas Indyk, Otaiba menulis, "Tak pernah saya lihat pemimpin se-pragmatis itu. Itulah sebabnya mengapa terlibat dengan mereka sangat penting dan akan menghasilkan hasil maksimal yang bisa kita dapatkan dari Saudi."

Surel berantai itu juga menunjukkan percakapan antara Otaiba dan Elliot Abrams, mantan pejabat pada era Presiden George W. Bush dan pro-Israel. Keduanya nampak memandang bahwa UEA berpotensi menjadi poros kekuasaan baru dan imperialisme Emirat di kawasan dengan memanfaatkan situasi politik terkini di Timur Tengah dan Teluk.

Jika rencana MBS benar adanya, hal itu diprediksi akan menimbulkan kerugian besar bagi Presiden Yaman Abd Rabbuh Mansour Hadi yang saat ini berstatus sebagai persona non grata bagi rezim Houthi yang tengah berkuasa di Sana'a.

Perang Yaman telah meletus sejak 2015 lalu. Konflik bersenjata itu digagas dan disahkan oleh Menteri Pertahanan Mohammed bin Salman, yang kini menjadi putra mahkota monarki Saudi.

Saat ini perang yang berkecamuk di Yaman menimbulkan berbagai dampak. Sekitar 10 ribu orang tewas, 40 ribu menjadi korban luka, 500 ribu orang terjangkit kolera, dan 1,6 juta menderita kelaparan, menjadikan negara dengan Ibu Kota Sana'a itu kini berstatus darurat bencana kemanusiaan.

 

Saksikan juga video berikut ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya