Liputan6.com, Seoul - Rekaman video yang menunjukkan seorang pria memukul dan menendang mantan pacaranya menghebohkan publik Korea Selatan pada Juli 2017. Peristiwa itu memicu lahirnya kampanye 100 hari untuk memerangi kekerasan terhadap perempuan.
Sebuah studi yang baru dirilis oleh Korean Institute of Criminology menguak fakta bahwa aksi kekerasan yang terjadi pada Juli lalu di Seoul itu bukanlah peristiwa langka.
Seperti dikutip dari The Guardian pada Kamis (24/8/2017), studi tersebut melibatkan 2.000 pria Korsel. Dari jumlah tersebut, 1.593 atau 79,7 persen di antaranya secara fisik atau psikologis menyiksa pacar mereka.
Advertisement
Sekitar 71 persen mengakui bahwa mereka telah mengendalikan aktivitas pacar mereka dengan membatasi interaksi dengan teman atau anggota keluarga. Perilaku pengendalian tersebut termasuk menelepon kekasih mereka untuk mengecek dengan siapa mereka atau menentukan cara pacar mereka berpakaian.
Baca Juga
Dari 1.593 pria, 37,9 persen mengakui telah melakukan pelecehan seksual. Sementara, 36,6 persen mengakui telah melakukan kekerasan psikologis dan 22,4 persen mengakui telah melakukan kekerasan fisik.
Sekitar 23 persen pria mengatakan, mereka membanting pintu atau menginjak pacar mereka ketika sedang marah. Adapun 100 pria mengaku bahwa mereka melukai kekasih mereka atau meninggalkan luka kecil.
Budaya Patriarki
Pemimpin penelitian tersebut, Hong Young Oh mengatakan kepada The Korea Herald bahwa perilaku kekerasan tersebut berasal dari patriarki yang mengakar kuat di Korsel. "Tingginya perilaku tersebut menunjukkan bahwa pelaku sendiri tidak sadar atau mengetahui bahwa tindakan mereka adalah perlakuan kejam".
Budaya patriarki tidak mengakomodasi kesetaraan jenis kelamin karena menempatkan posisi sosial laki-laki lebih tinggi dibanding kaum perempuan.
Sehingga, masyarakat cenderung menganggap wajar adanya perilaku pelecehan terhadap perempuan dalam bentuk sekecil apa pun.
Hasil penelitian lain yang dilakukan Korea Women’s Hotline mengungkapkan bahwa 61,6 persen responden wanita mengatakan bahwa mereka dianiaya saat pacaran.
Terkait dengan masalah ini, pihak kepolisian berjanji untuk bekerja sama dengan organisasi perempuan. Langkah ini ditempuh sebagai bagian dari upaya pemerintah Presiden Moon Jae-in untuk menciptakan lingkungan yang aman.
Kisah tindak kekerasan terhadap perempuan tak ada habis-habisnya dan terjadi di berbagai negara. Di India, meski sudah banyak aksi protes, tindak pemerkosaan massal masih menjadi persoalan pelik. Sementara di Timur Tengah, gerak-gerik perempuan juga dibatasi dan mereka masih kerap mendapat penganiayaan.
Saksikan video menarik berikut:
Advertisement