Liputan6.com, New Delhi - Madhumita Pandey masih berusia 22 tahun ketika ia pertama kali datang ke penjara Tihar di New Delhi untuk bertemu dan mewawancarai terpidana pemerkosa di India.
Dalam waktu tiga tahun, ia telah mewawancarai 100 orang untuk keperluan tesis S3 jurusan Kriminologi di Anglia Ruskin University, Inggris.
Advertisement
Semua itu dimulai pada 2013. Pada awalnya, ini hanya sebagai proyek awal (pilot project), beberapa bulan setelah pemberitaan santer tentang pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita muda yang dikenal sebagai "Nirbhaya" yang berarti "Pemberani."
Advertisement
Si pemberani adalah mahasiswi kedokteran dengan masa depan cerah baru saja pulang ke rumah dari menonton Life of Pi bersama seorang teman.
Baca Juga
Kisah itu mengguncang India, negara yang 34.651 kaum wanitanya diperkosa pada 2015 menurut data National Crime Records Bureau.
Seperti dikutip dari Washington Post, Rabu (13/9/2017), ribuan warga India turun ke jalan untuk memprotes meluasnya budaya pemerkosaan dan kekerasan di India pada 2012.
Pada tahun yang sama, spesialis gender menempatkan India sebagai tempat terburuk bagi wanita di antara negara-negara G-20, bahkan lebih buruk dari Arab Saudi.
Kata Pandey yang saat itu sudah berada di Inggris untuk menyelesaikan S2, "Setiap orang berpikiran sama. Mengapa para pria melakukan itu? Kami memandang mereka sebagai monster, karena tidak ada seorang manusia tega melakukan sesuatu seperti itu."
Protes-protes yang berlangsung memicu perbincangan nasional tentang perkosaan, suatu topi yang masih mengundang stigma besar di India.
Pandey dibesarkan di New Delhi sehingga ia melihat kota itu secara lain setelah kasus Nirbhaya. Katanya, "Dalam benak saya, apa yang mendorong para pria itu? Apa keadaan-keadaan yang menyebabkan para pria menjadi seperti itu?"
"Saya pikir, tanya saja langsung ke sumbernya."
Â
Kesalahan Pola Asuh?
Sejak itu, ia meluangkan waktu berminggu-minggu berbicara dengan para pemerkosa di penjara Tihar. Kebanyakan pria yang ditemuinya tidak berpendidikan, hanya segelintir orang yang lulus SMA dan kebanyakan putus sekolah di kelas 3 dan 4.
"Ketika mulai penelitian, saya yakin sekali bahwa mereka adalah monster. Tapi, ketika bicara kepada mereka, kita menyadari bahwa mereka bukan pria-pria yang luar biasa, malah benar-benar biasa saja. Apa yang mereka lakukan adalah karena pola asuh proses pikir."
Dalam rumah tangga India, bahkan di antara yang berpendidikan, kaum wanita dikekang oleh peran-peran tradisional. Kebanyakan wanita bahkan tidak menggunakan nama depan suaminya.
"Sebagai suatu eksperimen, saya menelepon beberapa teman dan bertanya, apakah panggilan ibumu kepada ayahmu? Jawaban yang saya terima adalah 'apakah kamu mendengarkan', 'dengarkan', atau 'ayahnya Ronak' (nama anak mereka)."
"Kaum pria belajar memiliki gagasan yang salah tentang maskulinitas dan kaum wanita juga belajar untuk pasrah. Hal itu terjadi di setiap rumah tangga."
"Semua orang bersikeras bahwa ada sesuatu yang salah dengan para pemerkosa. Tapi mereka bagian dari masyarakat kita. Mereka bukan makhluk asing yang dibawa dari dunia lain."
Pandey mengatakan, setelah mendengar beberapa pemerkosa berbicara, hal itu mengingatkan dirinya tentang adat yang selama ini diajarkan berulang-ulang dalam rumah tangganya sendiri.
"Setelah bicara dengan para pemerkosa, kita terkejut karena kaum pria itu memiliki kekuatan untuk membuat kita merasa kasihan. Sebagai seorang wanita, bukan itu seharusnya yang kita rasakan."
"Saya hampir lupa bahwa mereka telah dipidana memperkosa wanita. Dalam pengalaman saya, kebanyakan pria itu tidak menyadari bahwa yang mereka lakukan adalah pemerkosaan. Mereka tidak mengerti artinya kesetujuan (consent)."
"Kemudian kita jadi bertanya, apakah hal itu hanya pada pria-pria itu? Atau sebagian besar kaum pria?"
Â
Advertisement
Tatanan Konservatif
Di India, sikap sosial masih sangat konservatif. Tidak ada pendidikan seks dalam sebagian besar kurikulum sekolah karena para anggota dewan berpandangan bahwa topik itu "merusak" kaum muda dan melanggar nilai-nilai tradisional.
"Para orangtua bahkan tidak menyebutkan penis, vagina, perkosaan, atau seks. Kalau mereka belum bisa mengatasi itu, bagaimana mereka mendidik pria-pria muda?"
Dalam sejumlah wawancara, banyak pria berdalih atau membenarkan tindakan-tindakan mereka. Banyak yang membantah pernah terjadi pemerkosaan.
"Hanya tiga atau empat orang yang mengatakan menyesal. Yang lainnya menemukan cara untuk membenarkan, menetralkan, atau bahkan menyalahkan tindakan mereka pada korbannya."
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Jawaban Tak Terduga dan Jalan Buntu
Secara khusus, peserta penelitian nomor 49 membawa Pandey ke suatu perjalanan tak terduga. Pria itu menyatakan penyesalan telah memperkosa bocah perempuan berusia 5 tahun.
"Ia mengatakan, 'Ya, saya merasa jahat, saya merusak hidupnya'. Ia sekarang tidak perawan lagi, tidak akan ada yang mau menikahinya.'"
"Kemudian ia berkata, 'Saya akan menerima dia, saya akan menikahinya setelah bebas dari penjara.'"
Jawaban itu benar-benar mengagetkan sehingga Pandey menjadi penasaran tentang korbannya. Saat wawancara, si terpidana memberitahukan perincian keberadaan anak itu.
Ketika Pandey bertemu dengan ibu si korban, Pandey kemudian mengetahui bahwa keluarga korban tidak pernah diberitahu bahwa pemerkosa anak mereka ada dalam penjara.
Pandey berharap dapat menerbitkan penelitiannya dalam beberapa bulan mendatang, tapi mengaku menerima permusuhan terkait karyanya.
"Menurut mereka, nah ini dia seorang feminis lagi. Mereka menganggap bahwa seorang wanita yang melakukan penelitian seperti ini menyalahartikan ide-ide kaum pria."
"Mau mulai dari manakah dengan orang-orang seperti itu?" ujar Pandey.
Advertisement