Liputan6.com, Milpitas - Sebuah firma analis keamanan siber mewanti-wanti bahwa Korea Utara mungkin saja tengah menyiapkan opsi ancaman terbarunya, di samping rudal dan nuklir, yakni; sebuah plot serangan siber.
Imbauan itu diutarakan oleh FireEye firma analis dan keamanan siber yang berbasis di California, Amerika Serikat.
FireEye menjelaskan bahwa plot serangan siber itu diduga kuat melibatkan grup peretas bernama 'Reaper' yang terafiliasi dengan Korea Utara, dengan menargetkan sejumlah perusahaan dari Jepang, Vietnam, dan Timur Tengah -- demi menggali keuntungan bagi negara yang menutup diri dari dunia itu.
Advertisement
Baca Juga
"Kita berbicara tentang cakupan multinasional, mereka memiliki kantor di seluruh dunia. Dampak tindakan yang mereka lakukan juga bisa meluas, karena sudah mengglobal," kata John Hultquist, Direktur Analisis Intelijen FireEye membicarakan soal aktivitas peretasan yang dilakukan Reaper, seperti dikutip dari Daily Express (21/2/2018).
Memang, tak banyak yang diketahui soal Reaper. Namun, FireEye dengan yakin menduga kuat bahwa grup itu melakukan aktivitas siber 'berupa mengembangkan dan menanam malware kepada sasaran yang dituju demi keuntungan Korea Utara'.
FireEye juga mengatakan bahwa Reaper melakukan hal itu 'untuk atau mengatasnamakan pemerintah Korea Utara'.
Hultquist tak menyebut perusahaan mana saja yang telah menjadi sasaran Reaper dan pemerintah Korea Utara. Kendati demikian, ia mengatakan bahwa mereka telah menaruh perhatian besar pada firma top Korea Selatan yang masuk dalam daftar Fortune Global 500.
Menjelaskan pola serangan yang dilakukan oleh Repaer, Hultquist mengatakan, "Anggap sistem keamanan firma yang menjadi sasaran selayaknya sebuah tembok besar, tapi mereka (Reaper) tahu ada lubang di suatu tempat dinding itu dan bisa merangkak melewatinya."
Selama ini, Korea Utara selalu membantah terlibat dalam peristiwa serangan siber berskala internasional yang terjadi beberapa tahun terakhir. Namun, bantahan itu bertolak belakang dengan klaim dari sejumlah firma analis keamanan siber yang menyatakan bahwa The Hermit State memiliki andil di balik peristiwa tersebut.
Hultquist mengatakan bahwa grup peretas seperti Reaper atau yang dituding berasosisasi dengan Korea Utara tampak memiliki kesamaan sikap dengan The Hermit State -- yang menjadikan dasar alasan bagi firma analis keamanan siber untuk melontarkan tudingan terhadap Pyongyang.
Mereka (grup peretas) menunjukkan ketidakpatuhan norma dan hukum, dan selalu mendorong batasan-batasan yang disepakati bersama oleh negara dunia, seperti Korea Utara, kata Hultquist.
Badai Serangan Siber 2018
Laporan seputar grup peretas Reaper dan afiliasinya dengan Korea Utara itu muncul beberapa pekan setelah Komunitas Intelijen Amerika Serikat merilis sebuah dokumen berjudul Worldwide Threat Assessment.
Dalam dokumen itu, AS memprediksi akan terjadi peningkatan serangan siber dari Korea Utara pada tahun 2018.
"Kami memprediksi, Korea Utara yang telah banyak dijatuhi sanksi internasional, akan menggunakan medium siber untuk mengumpulkan dana, informasi intelijen, atau melakukan penyerangan terhadap Korea Selatan dan Amerika Serikat," kata laporan tersebut.
Sementara itu firma analisis keamanan siber berbasis di Israel, Check Point mewanti-wanti bahwa gelombangan cyberattack tahun ini akan lebih deras ketimbang rangkaian serangan tahun lalu -- yang mana pada tahun 2017, Ransomware WannaCry dan yang sejenisnya kerap merajalela.
"Sejauh ini kami memperkirakan lebih dari satu juta organisasi telah terpengaruh di seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat juga Australia, dan jumlahnya terus meningkat," kata Check Point.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa kita sekarang mengalami ketenangan sebelum badai yang lebih kuat lagi. Badai siber berikutnya akan segera tiba."
Saksikan juga video pilihan berikut ini:
Advertisement