Liputan6.com, Ankara - Recep Tayyip Erdogan akan dilantik sebagai presiden Turki untuk periode kedua pada Senin 9 Juli 2018 waktu setempat. Sebelumnya, ia memenangi pemilu pada Juni 2018 dengan suara dominan.
Seremoni tersebut akan dihadiri oleh belasan pemimpin dan pejabat tinggi negara, meliputi Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev, Presiden Venezuela Nicolas Maduro dan Emir Qatar Tamim Bin Hamad Al Thani.
Perhelatan itu juga akan menjadi pemuncak proses perubahan sistem pemerintahan Turki, yang semula berbentuk parlementer menjadi presidensial --menyusul referendum revisi konstitusi yang usai kudeta 2016. Demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Senin (9/7/2018).
Advertisement
Baca Juga
Di bawah sistem pemerintahan baru, Erdogan akan memiliki kekuasaan untuk memimpin kabinet serta menunjuk dan mencopot wakil presiden dan menteri tanpa persetujuan parlemen.
Presiden Erdogan juga memiliki kekuatan untuk membubarkan parlemen, mengeluarkan dekrit, dan menetapkan status darurat negara.
Sementara itu, jabatan perdana menteri --yang identik pada sistem pemerintahan parlementer-- akan dihapuskan.
Pada hari yang sama, Recep Tayyip Erdogan juga akan melantik anggota kabinetnya yang baru.
Ia menjelaskan, kabinet saat ini tidak akan diisi oleh anggota partai pengusungnya Justice and Development Party (AK Party). Erdogan menjelaskan, kursi kedua posisi itu akan diisi oleh politisi dan birokrat non-AK Party.
Di sisi lain, AK Party merupakan partai dominan di parlemen, setelah berhasil mendulang 42,5 persen suara pada pemilu Juni 2018. Sekutu AK Party, National Movement Party (MHP) memperoleh 11,1 persen suara.
Koalisi kedua partai tersebut berhasil mengamankan lebih dari 50 persen kursi di parlemen Turki saat ini.
Â
Simak pula video pilihan berikut:
Tantangan Erdogan Saat Ini
Erdogan, yang telah berkuasa selama lebih dari 15 tahun sebagai perdana menteri dan presiden, telah berulang kali menekankan bahwa seorang presiden eksekutif yang kuat akan menciptakan lingkungan yang stabil yang akan memungkinkan negara untuk mengambil "langkah-langkah untuk masa depan dengan cara yang lebih kuat".
Partai-partai oposisi, sekutu Turki dari Barat dan para kritikus lainnya, bagaimanapun, mengatakan bahwa sistem tersebut memberikan kekuasaan besar kepada presiden yang baru tanpa adanya checks and balances --sebagaimana prinsip trias politica: legislatif, eksekutif, yudikatif-- dan menyebutnya sebagai "pemerintahan satu orang".
Erdogan memulai masa jabatan barunya menghadapi berbagai tantangan ekonomi, termasuk meningkatnya suku bunga dan inflasi serta mata uang Turki yang sangat terdevaluasi terhadap dolar AS.
Taner Berksoy, seorang profesor ekonomi dan kolumnis, mengatakan penurunan suku bunga akan menjadi prioritas yang jelas bagi pemerintah baru.
"Saat ini, tingkat bunga riil tidak cukup untuk menurunkan inflasi dan kami belum melihat apa yang akan dilakukan oleh para ekonom di kabinet," katanya kepada Al Jazeera yang dikutip Senin (9/7/2018).
"Namun, tingkat suku bunga akan menunjukkan penurunan dalam hal apapun, karena risiko ekonomi yang dirasakan Turki akan turun secara bertahap setelah pelantikan."
Tapi Berksoy menambahkan bahwa penurunan suku bunga "juga akan tergantung pada seberapa banyak pemerintah baru melakukan campur tangan dalam kebijakan Bank Sentral".
Selama kampanye pemilihannya, Erdogan secara eksplisit menyatakan bahwa ia akan lebih aktif dalam bidang ekonomi jika terpilih kembali, dan akan mendorong penurunan suku bunga, sebuah langkah yang menurut beberapa analis kemungkinan akan meningkatkan kekhawatiran investor tentang kemandirian bank sentral negara.
Advertisement
Pengaruh Luar Negeri Turki di Kawasan
Erdogan menjabat sebagai presiden Turki ketika awal tahun ini, Tentara Turki dan pejuang Tentara Pembebasan Suriah meluncurkan operasi militer ke wilayah Afrin Suriah utara dengan tujuan untuk menyingkirkan milisi Kurdi yang didukung AS --yang dikenal sebagai Unit Perlindungan Rakyat (YPG).
Ankara menganggap Partai Uni Demokratik Kurdi di Suriah dan sayap bersenjatanya, YPG, merupakan kelompok teroris yang memiliki hubungan dengan Partai Pekerja Kurdistan yang terlarang.
Operasi melawan YPG membuat marah AS, tetapi Turki juga kecewa dengan sekutu NATO-nya atas dukungan Washington terhadap kelompok bersenjata itu.
Sementara itu, Ankara juga telah bekerja sama dengan Iran dan Rusia untuk mengakhiri perang Suriah. Pada saat yang sama, kerja sama Turki dengan Rusia telah berkembang di berbagai bidang, mulai dari energi hingga pertahanan.
"Saya mengharapkan AS dan Ankara untuk berbicara lebih banyak tentang Suriah di masa mendatang," kata Galip Dalay, peneliti dari Brookings Institution.
Dia menambahkan bahwa kerjasama antara Rusia, Iran dan Turki akan "menjadi kurang sibuk, mengingat bahwa Washington adalah rekanan utama untuk agenda Turki di Suriah utara."