Liputan6.com, Pyongyang - Tangan kanan Presiden China Xi Jinping telah mendesak pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, untuk mewujudkan konsensus denuklirisasi yang dibahas sebelumnya dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump di Singapura, pada bulan Juni.
Li Zhanshu, pejabat Partai Komunis tingkat ketiga Beijing, mengeluarkan panggilan dalam pembicaraan dengan Kim pada Minggu 9 September, di sela-sela kunjungan ke Pyongyang untuk perayaan ulang tahun ke-70 Korea Utara.
Dikutip dari South China Morning Post pada Senin (10/9/2018), Li menekankan perlunya Korea Utara dan AS "benar-benar menerapkan konsensus ... untuk mencapai tujuan umum denuklirisasi", kata penyiar China Central Television (CCTV).
Advertisement
Kim Jong-un mengatakan Korea Utara telah mengambil langkah-langkah menuju denuklirisasi, dan ingin "pihak AS mengambil tindakan timbal balik untuk menyelesaikan masalah semenanjung Korea secara diplomatis".
Baca Juga
"Saya (juga) ingin belajar dari pengalaman pembangunan ekonomi China,” kata Kim menjelaskan secara singkat.
Kantor Berita Xinhua --yang dikelola pemerintah China-- mengatakan Presiden Xi mengirim pesan kepada Kim atas nama Partai Komunis China, untuk mengucapkan selamat kepada Korea Utara atas peringatan 70 tahun eksistensinya.
Pesan tersebut juga menyebutkan keinginan pemerintah China menjalin kerja sama dengan Korea Utara, untuk mempromosikan "relasi jangka panjang, sehat, serta stabilitas hubungan China dan Semenanjung Korea".
Penyampaian pesan tersebut dilakukan setelah Korea Utara memamerkan tank dan barisan pasukan --tetapi tidak tentang rudal jarak jauh-- dalam sebuah parade militer ulang tahun pada hari Minggu.
Banyak pengamat menilai perayaan tersebut sebagai isyarat niat baik, untuk mendorong berlanjutnya pembicaraan tentang senjata nuklir dengan AS.
Disebutkan pula oleh pengamat bahwa keputusan untuk menunda pengembangan rudal balistik antarbenua, juga bisa membuat yakin Presiden Xi Jinping untuk datang menemui Kim Jong-un, langsung di Pyongyang.
Selain itu, komitmen penundaan pengembangan rudal balistik itu juga diprediksi mampu mengajak AS lebih jauh dalam membahas denuklirisasi di Semenanjung Korea, dan perumusan ulang kebijakan luar negeri di kawasan Asia Timur.
Simak video pilihan berikut:
Korea Utara Sedang Menjaga Momentum
Atsushi Tago, profesor hubungan internasional di Universitas Waseda Tokyo, mengatakan tidak adanya ICBM (rudal misil antar benua) dapat menandakan kesediaan Kim Jong-un untuk "denuklirisasi", dan meningkatkan prospek untuk pembicaraan lebih jauh dengan Amerika Serikat.
"Akan masuk akal untuk menafsirkan bahwa Korea Utara masih ingin sejalan dengan perjanjian Trump-Kim di Singapura," kata Tago.
Pada pertemuan mereka, 12 Juni lalu, Trump dan Kim setuju untuk bekerja menuju "denuklirisasi penuh" di Semenanjung Korea.
Menurut sumber diplomatik Korea Selatan, Trump juga menggarisbawahi perlunya Korea Utara untuk menutup fasilitas ICBM. Kim setuju untuk mengambil tindakan terhadap rudal itu, tetapi perjanjian itu tidak termasuk dalam deklarasi bersama kedua pemimpin itu, kata sebuah sumber.
Kelompok pemantau 38 North mengatakan citra satelit yang diambil pada 3 Agustus lalu, memberi kesan bahwa Korea Utara telah mulai membongkar fasilitas ICBM di Sohae, sekitar 200 kilometer barat laut Pyongyang.
Song Zhongping, mantan anggota korps roket Tiongkok, mengatakan parade "rendah hati" pada parade militer akhir pekan lalu, menunjukkan bahwa Kim Jong-un tidak ingin mengirimkan sinyal, yang mungkin memprovokasi Washington.
"Tidak ada Hwasong-14, Pukguksongs atau senjata pemusnah massal lainnya yang dapat mengancam AS, hanya beberapa senjata konvensional dan defensif," kata Song.
"Pyongyang tidak ingin mengganggu AS dan komunitas internasional di tengah ketenangan baru di semenanjung Korea. Kim juga ingin menciptakan 'suasana yang baik' untuk pertemuan ketiganya dengan (Presiden Korea Selatan) Moon Jae-in pekan depan," lanjut Song menjelaskan.
Zhao Tong, seorang rekan peneliti pada Program Kebijakan Nuklir Carnegie di Pusat Kebijakan Global Carnegie-Tsinghua di Beijing, mengatakan tujuan lain mungkin adalah ekonomi.
Pada bulan April, Kim Jong-un mengatakan bahwa negaranya bergeser dari kebijakan twin-track pada pengembangan senjata nuklir dan ekonomi bersamaan, menjadi hanya fokus pada ekonomi.
"Korea Utara memiliki kepentingan strategis dalam membangun hubungan positif dengan AS untuk menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi perkembangan ekonominya ... Dengan menahan diri dari memamerkan rudal yang paling provokatif, Korea Utara berusaha mempertahankan momentum meningkatkan hubungan bilateral dengan AS, dan memecahkan isolasi internasionalnya," kata Zhao.
Advertisement