Eks Menhan AS: Pertemuan Donald Trump dan Kim Jong-un Ditakdirkan Gagal

Eks Menhan AS mengatakan, pertemuan puncak Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un "ditakdirkan gagal" karena kurangnya persiapan politik dan diplomatik.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 04 Sep 2018, 09:31 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2018, 09:31 WIB
Ekspresi Donald Trump Saat Hadiri National Prayer Breakfast
Ekspresi Presiden AS Donald Trump saat menghadiri National Prayer Breakfast atau Sarapan Doa Nasional di sebuah hotel di Washington DC (8/2). (AFP Photo/Mandel Ngan)

Liputan6.com, Washington DC - Mantan Menteri Pertahanan AS Leon Panetta mengatakan pertemuan puncak Presiden Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pada bulan Juni tentang ancaman nuklir negara itu "ditakdirkan gagal" karena kurangnya persiapan sebelum tatap muka itu berlangsung.

"Saya sangat khawatir tentang situasi ini karena terus terang, saya pikir kami (AS) sekarang mengalami kegagalan usai pertemuan itu," kata Panetta dalam program ABC This Week pada Minggu 2 September 2018, seperti dikutip dari The Sydney Morning Herald, Senin (3/8/2018).

Komentar itu datang beberapa pekan setelah Trump membatalkan rencana perjalanan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Korea Utara setelah menyimpulkan belum ada cukup banyak kemajuan dalam pembicaraan yang ditujukan untuk denuklirisasi Semenanjung Korea.

Sebelumnya, dalam wawancara 30 Agustus dengan Bloomberg News, Trump mengatakan dia dapat bersabar dengan pemimpin Korea Utara, yang ia nilai "belum mengambil langkah-langkah yang berarti untuk melucuti senjata nuklirnya" setelah Trump menyatakan masalah ini diselesaikan usai pertemuan puncak di Singapura.

Menanggapi, Panetta, yang menjabat sebagai menteri pertahanan dan direktur CIA di bawah Presiden Barack Obama, mengatakan, pertemuan puncak Trump dan Kim di Singapura hanyalah "sebuah pertunjukan, aksi berjabat tangan, bertukar kata."

"Tapi melihat situs senjata nuklir Korea Utara dan bagaimana pekerjaan mendasar lainnya yang diperlukan sebelum pertemuan besar itu tidak dilakukan, pekerjaan diplomatik dasar masih perlu terus dikerjakan," kata Panetta.

"Ini bukan tentang dominasi kepribadian," katanya.

"Ini adalah kerja keras untuk merundingkan solusi atas perbedaan antara Korea Utara dan Amerika Serikat dan Korea Selatan. Dan ada banyak masalah yang dipertaruhkan di sini. Tetapi tidak satu pun dari pekerjaan itu sudah dilakukan."

 

Simak video pilihan berikut:

Amerika Serikat Memperbaharui Tekanan terhadap Korut

Presiden Amerika Serikat Donald Trump (AP PHOTO via Breitbart)
Presiden Amerika Serikat Donald Trump (AP PHOTO via Breitbart)

Pemerintah Amerika Serikat mengatakan pada Selasa 28 Agustus, bahwa pihaknya mempertimbangkan untuk kembali memulai latihan militer dengan Korea Selatan tahun depan.

Keputusan tersebut disampaikan beberapa hari setelah Presiden Donald Trump membatalkan agena pembicaraan lanjutan tentang isu nuklir dengan Korea Utara.

Dikutip dari VOA Indonesia pada Kamis 30 Agustus 2018, pertemuan antara Donald Trump dan Kim Jong-un di Singapura Juni lalu, menghasilkan komitmen untuk "mengupayakan denuklirisas penuh di Semenanjung Korea". Hal itu salah satunya diimplementasikan melakui keputusan mendadak Washington untuk mengakhiri latihan perang di kawasan terkait.

Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis mengatakan pada sebuah konferensi pers, bahwa penghentian latihan musim panas tersebut merupakan "isyarat niat baik" kepada Korea Utara, namun menegaskan hal itu bukan komitmen yang berlaku seterusnya.

"Kami saat ini tidak punya rencana untuk menghentikan latihan-latihan," kata Menhan Mattis.

Menyusul KTT Juni, Trump memuji persetujuan Singapura itu sebagai sebuah pencapaian bersejarah dan mengirim cuitan "tidak ada lagi ancaman nuklir dari Korea Utara".

Tetapi baru-baru ini, presiden membatalkan sebuah kunjungan yang direncanakan oleh Menlu AS Mike Pompeo, setelah mengakui untuk pertama kalinya bahwa perundingan mengakhiri program nuklir Korea Utara tidak berjalan sebagaimana mestinta.

Di lain pihak, Pyongyang menyerukan agar Amerika Serikat terlebih dahulu menghapus berbagai sanksi, sebelum pihaknya benar-benar melakukan denuklirisasi penuh di Semenanjung Korea.

Kendala tersebut, menurut Presiden Donald Trump, turut disebabkan oleh absesnnya China dalam pemantauan isu terkait, dan menuduh bahwa Negeri Tirai Bambu melonggarkan tekanan pada pemerintahan Kim Jong-un, terutama pada pemberlakuan sanksi tegas di bidang ekonomi oleh PBB.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya