Kisah Suami-Istri Asal Australia yang Membeli Kapal Perang Via Belanja Online

Pasangan suami-istri Paul dan Wilma Adams asal Australia menjadi pemilik kapal perang bekas Angkatan Laut Selandia Baru yang mereka beli via belanja online.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Sep 2018, 08:01 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2018, 08:01 WIB
Eks kapal perang Selandia Baru, The Manawanui (supplied via ABC Indonesia)
Eks kapal perang Selandia Baru, The Manawanui (supplied via ABC Indonesia)

Liputan6.com, Newcastle - Pasangan suami-istri Paul dan Wilma Adams asal Newcastle, Australia tadinya cuma ingin membeli kapal biasa saat melakukan pencarian secara online. Namun mereka akhirnya menjadi pemilik kapal perang bekas Angkatan Laut Selandia Baru.

Mereka juga telah menjajal kapal bernama Manawanui dan berukuran panjang 44 meter ini, menyeberangi Laut Tasman dari Selandia Baru ke kampung mereka Carrington di Australia.

"Sangat bangga," ujar Wilma saat ditanya oleh ABC tentang perasaannya sebagai pemilik kapal ini, seperti dikutip dari ABC Indonesia, Rabu (12/9/2018).

"Bukan hanya karena ukurannya. Paul sering melihat-lihat website untuk mencari kapal yang cocok. Saat dia menemukan ini, dia bilang saya telah menemukan kapalnya!" katanya.

"Apa lagi yang kamu mau? Ini tidak bisa didapatkan di Kmart," tambah Wilma menyebut nama salah satu jaringan toserba di Australia.

Kapal Manawanui memiliki ruang dekompresi dan crane kapasitas 15 ton.

Pasangan ini katanya menghabiskan "beberapa ratus ribu dolar" (atau setara beberapa miliar rupiah) untuk mendapatkan kapal tersebut.

Mereka berencana menggunakan kapal ini dalam misi pelestarian kapal-kapal karam, umumnya kapal Jepang, yang tenggelam di perairan Pasifik Selatan selama Perang Dunia II.

Saat ini banyak bangkai kapal berkarat dan menumpahkan bahan bakar minyaknya dari dasar laut di sana.

Paul dan Wilma pernah mengunjungi Mikronesia, di mana Angkatan Laut AS banyak menenggelamkan kapal Jepang pada tahun 1944.

"Saat menyelam ke salah satu bangkai kapal, kami melihat tumpahan besar minyak hitam keluar, melayang ke permukaan dan menyebar," kata Paul.

"Setiap kapal karam yang kami selami memiliki tumpahan minyak," katanya. "Jadi kami memutuskan untuk melakukan sesuatu."

Caranya, pasangan Australia itu berencana menutupi kebocoran bangkai kapal-kapal karam itu menggunakan metode perlindungan katodik, yang akan diturunkan dari kapal Manawanui.

Metode ini akan menjaga besi kapal yang rentan terhadap korosi dengan menjadikannya sebagai katoda elektrik.

 

Simak video pilihan berikut:

Melindungi Kapal Karam Bersejarah

Australia Tabur Bunga di Selat Sunda untuk Kenang Perang Dunia II
(ilustrasi) Kapal Angkatan Laut Australia mengadakan upacara penaburan bunga di Selat Sunda pada hari Rabu 15 Juni 2016. (File / Liputan6.com)

Tanggung jawab atas kapal-kapal karam di Pasifik yang kini sudah mencapai usia 70 tahun pun semakin tidak jelas.

Memang, kebanyakan kapal tersebut tadinya merupakan bagian dari Angkatan Laut Jepang.

Sebuah survei di Chuuk Lagoon tahun 2002 yang dilakukan arkeolog Dr William Jeffery dari University of Guam menyimpulkan "kebanyakan dari bangkai kapal hanya akan bertahan sepuluh sampai lima belas tahun lagi sebelum mengalami kerusakan signifikan."

Dr Jeffery yang menjadi penasehat pasangan Paul dan Wilma mengatakan Pemerintah Federasi Mikronesia, Amerika Serikat, dan Jepang semuanya bertanggung jawab melindungi rongsokan kapal karam tersebut.

Saat ini sekelompok aktivis Jepang sedang melakukan kegiatan pembersihan di sana.

Rencana Paul dan Wilma sendiri akan tergantung pada pendanaan yang saat ini sedang mereka galang melalui sebuah website.

"Proyek ini akan memerlukan izin dan dukungan dari Chuuk dan pemerintah Micronesia," kata Dr Jeffery.

Meskipun merupakan misi pribadi, katanya, namun rencana pasangan ini akan dilaksanakan sesuai hukum dan prosedur yang berlaku.

"Nilai arkeologis, sosial, budaya, dan biologis dari kapal-kapal karam ini akan diperhitungkan," ujarnya.

Bagi Paul sendiri, misi tersebut telah menjadi tekadnya. Pembelian kapal ini, katanya, hanya langkah awal.

"Masalah ini sudah sangat mendesak dan sepertinya tidak ada yang perduli," kata Paul.

"Ada bom waktu yang menunggu untuk meledak di Pasifik. Sekitar 3.000 bangkai kapal ada di sana. 300 kapal tanker minyak. Ada di dasar laut dan mulai bocor," paparnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya