Liputan6.com, Istanbul - Para pemimpin Rusia, Turki, Prancis dan Jerman bersama-sama menyerukan gencatan senjata penuh --dalam jangka waktu lama-- di Suriah, menyusul masih sering terjadinya kekerasan antara pasukan pemerintah dan pemberontak yang tersisa.
Dikutip dari Independent.co.uk pada Minggu (28/10/2018), Rusia (sekutu utama Presiden Bashar al-Assad) dan Turki (pendukung pasukan pemberontak) baru-baru ini menengahi kesepakatan untuk menciptakan zona demiliterisasi di wilayah provinsi Idlib, Turki.
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan kepada wartawan, bahwa masyarakat internasional akan mengawasi dan memastikan bahwa Rusia dan Turki menghormati perjanjian yang telah mereka negosiasikan.
Advertisement
Berbicara setelah pertemuan empat arah tersebur, Macron berkata: "Kami semua akan sangat waspada untuk memastikan bahwa komitmen ini terpenuhi, dan bahwa gencatan senjata stabil berkelanjutan segera dilaksanakan."
Baca Juga
Berdasarkan kesepakatan mereka bulan lalu, Turki dan Rusia sepakat untuk membuat zona penyangga di sekitar Idlib, di tengah kekhawatiran akan terjadinya serangan di provinsi barat laut Suriah itu.
Pada Jumat 26 Oktober, penembakan di Idlib menewaskan sedikitnya tujuh warga sipil, yang merupakan kegagalan perdana dalam proses perdamaian sejak serangan udara Rusia dihentikan pada pertengahan Agustus.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan Turki memenuhi kewajibannya terkait perjanjian Idlib. Prosesnya tidak mudah dan Moskow berencana untuk terus bekerja sama, katanya.
Dalam pernyataan bersama, Macron, Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Kanselir Jerman Angela Merkel, juga menyerukan agar sebuah komite dibentuk untuk menyusun konstitusi baru Suriah.
Erdogan mengatakan kepada wartawan bahwa gagasan tersebut harus dilakukan "sesegera mungkin", menambahkan dia berharap bisa terjadi sebelum akhir tahun.
Simak video pilihan berikut:
UU Pengawasan Kegiatan Ulama
Sementara itu, beberapa waktu lalu, Presiden Suriah Bashar al-Assad telah menandatangani undang-undang baru, yang memperluas wewenang kementerian agama setempat untuk mengawasi kegiatan ibadah dan aktivitas ulama terkemuka di negara itu.
UU tersebut yang ditandangani oleh al-Assad pada tanggal 12 Oktober itu, dikabarkan memicu kontroversi di kalangan warga Suriah dan komunitas internasional.
Dikutip dari France24.com, UU baru itu memberikan kekuatan tambahan kepada Kementerian Pemberdayaan Agama Suriah, atau "Wakaf" dalam bahasa setempat, mengatur seluruh kegiatan umat Islam di negara itu.
Secara khusus, menteri Wakaf akan memiliki peran dalam penamaan mufti --ulama agung-- berikutnya.
Para mufti sebelumnya selalu ditunjuk langsung oleh presiden Suriah, termasuk mufti Ahmed Badreddin Hassoun yang menjabat saat ini, merupakan hasil penunjukkan al-Assad pada tahun 2004.
Undang-undang baru juga menyinggung wewenang mufti, yang sebelumnya tidak terbatas, pada periode yang dapat diperbarui selama tiga tahun.
Menteri Wakaf saat ini akan mengawasi sekolah-sekolah agama, wewenang kepala Dewan pada Yurisprudensi Islam, dan mengatur program keagamaan di seluruh media massa.
Selain itu, UU baru juga menetapkan bahwa para imam muslim tidak diizinkan untuk bepergian ke luar Suriah, atau menghadiri konferensi apa pun bahkan di dalam negeri, tanpa izin menteri Wakaf.
Bahkan, UU baru tersebut melarang pengkhotbah dan guru agama dari upaya "memicu perselisihan sektarian" atau "mengambil keuntungan untuk tujuan politik."
Advertisement