Turki Bersikeras Tetap Taruh Pasukan di Suriah hingga Pemilu Siap Digelar

Pemerintah Turki mengatakan pasukannya akan tetap bertahan di Suriah hingga pemilu demokrasi yang kondusif siap digelar.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 05 Okt 2018, 11:32 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2018, 11:32 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (AP/Yasin Bulbul)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (AP/Yasin Bulbul)

Liputan6.com, Ankara - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya tidak akan meninggalkan Suriah, sampai pemilihan umum diadakan di negara Timur Tengah yang dilanda perang itu.

"Setiap kali rakyat Suriah mengadakan pemilihan, kami akan menyerahkan sepenuhnya kepada mereka," kata Erdogan di forum TRT World di Istanbul, Kamis, 4 Oktober.

Dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (5/10/2018), Turki mengirim pasukan ke Suriah pada Agustus 2016 untuk membersihkan wilayah perbatasan selatan, yang dikuasai oleh pasukan pemberontak sempalan ISIS.

Selain itu, Turki juga meluncurkan operasi militer lainnya awal tahun ini, yang menyasar Kota Afrin di wilayah utara Suriah. Tujuannya adalah untuk menyingkirkan para pejuang Kurdi, yang berafiliasi dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) yang dilarang.

Presiden Erdogan diketahui sependapat dengan mitranya dari Rusia, Vladimir Putin, untuk membentuk "zona demiliterisasi" antara pejuang pemberontak dan pemerintah di Suriah utara.

Zona itu, yang dirancang memiliki diameter luas antara 15 hingga 20 kilometer, akan menjadi area pantau terhadap kelompok-kelompok yang dianggap radikal oleh Moskow, yang didesal menarik diri dari daerah itu selambat-lambatnya pada 15 Oktober.

Erdogan menambahkan pada hari Kamis bahwa Ankara tidak menemui kesulitan dalam melakukan pembicaraan dengan berbagai faksi pemberontak di Provinsi Idlib, benteng pertahanan terakhir pemberontak di bagian utara Suriah, yang berada di luar kendali Presiden Bashar al-Assad.

Hay'et Tahrir al-Sham, yang termasuk kelompok terkait al-Qaeda sebelumnya dikenal sebagai Front al-Nusra, diyakini sebagai kelompok bersenjata paling kuat di Idlib.

Turki menunjuk kelompok itu sebagai organisasi teroris pada bulan Agustus, sesuai dengan keputusan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Juni.

Pada hari Kamis, Erdogan mengatakan bahwa di samping 12 titik pengamatan yang dibuat oleh Turki di wilayah Idlib, Rusia memiliki 10 dan Iran memiliki enam titik.

"Mengamankan koridor ini berarti mengamankan Idlib," katanya. "Dan kami telah mulai membentengi pos pengamatan bersama."

 

Simak video pilihan berikut:

 

Perang Tujuh Tahun

Serangan Militer Suriah ke Markas Militan di Idlib
Kendaraaan relawan White Helmets mencari korban di lokasi serangan militer di Provinsi Idlib, Suriah, Minggu, (7/1). Militer Suriah kehilangan Provinsi Idlib pada 2015 dan dikontrol oleh militan. (Syrian Civil Defense White Helmets via AP)

Sejak perang saudara Suriah yang brutal dimulai pada 2011, sekitar 5,6 juta orang telah melarikan diri dari negara itu, dengan sebanyak 6,6 juta orang lainnya mengungsi, menurut badan pengungsi PBB.

Pekan lalu, ketika berbicara di Sidang Umum PBB, Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Walid al-Muallem mengatakan bahwa "pertempuran melawan terorisme di negaranya hampir berakhir", dan bahwa sekarang siap untuk menyambut jutaan orang yang melarikan diri, kembali pulang.

Turki, yang mendukung para pejuang oposisi Suriah, khawatir serangan besar-besaran terhadap para pemberontak dapat memicu eksodus massal ke perbatasannya.

Sebagai bagian dari upaya diplomatik untuk mencegah apa yang ditakutkan PBB sebagai "pertumpahan darah" di Idlib, Turki telah menjangkau negara-negara pemangku kepentingan lainnya.

Akhir bulan ini, pembicaraan empat arah antara Turki, Jerman, Rusia dan Prancis mengenai situasi Idlib diperkirakan akan diadakan setelah Erdogan melakukan perjalanan langka ke Berlin pada bulan September.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya