Amuk Massa Teror Pengacara dan Eks-Terpidana Kasus Penistaan Agama di Pakistan

Amuk massa kelompok garis keras meneror pengacara dan eks-terpidana kasus penistaan agama di Pakistan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 04 Nov 2018, 14:01 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2018, 14:01 WIB
Asia Bibi, terpidana kasus penistaan agama di Pakistan. Pengadilan membatalkan vonis hukuman mati terhadapnya pada 31 Oktober 2018 (AFP PHOTO)
Asia Bibi, terpidana kasus penistaan agama di Pakistan. Pengadilan membatalkan vonis hukuman mati terhadapnya pada 31 Oktober 2018 (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Islamabad - Pengacara eks-terpidana mati kasus penistaan agama di Pakistan, telah melarikan diri dari negara itu karena khawatir akan keselamatannya, kata pihak keluarga pada 3 November 2018.

Saiful Malook, pengacara untuk Asia Bibi yang telah dibebaskan oleh Mahkamah Agung dari vonis hukuman mati pada 31 Oktober lalu, meninggalkan Pakistan karena menerima ancaman pembunuhan dari kelompok garis keras, demikian seperti dikutip dari The New York Times, Minggu (4/11/2018).

Kelompok itu juga menentang keputusan Mahkamah Agung dan terus memaksa --melalui sejumlah demonstrasi maraton-- agar Asia Bibi tetap dihukum mati.

Malook mengatakan kepada The Associated Press awal pekan ini bahwa ia harus meninggalkan Pakistan karena pengikut ulama garis keras Khadim Hussain Rizvi telah mengancam akan membunuhnya serta hakim yang membatalkan vonis hukuman mati terhadap Asia Bibi.

Menurut kabar yang beredar, Malook telah pergi ke negara lain "untuk menyelamatkan diri dari amukan massa" dan karena khawatir akan keselamatan keluarganya. "Saya berkonsultasi dan semuanya berpendapat saya harus pergi," demikian salah satu kutipan pernyataannya yang tersebar luas.

Surat kabar Italia Corriere della Sera melaporkan bahwa Malook telah berada di Amsterdam dan akan berbicara dalam sebuah konferensi di sana. Setelah itu, ia akan pindah ke London secara permanen.

Tapi, ia juga dikabarkan akan kembali ke Pakistan untuk melanjutkan pekerjaannya dalam kasus Asia Bibi apabila diberikan perlindungan oleh pasukan keamanan.

Asia Bibi (47) divonis hukuman mati oleh pengadilan tingkat pertama pada tahun 2010 setelah dituduh menghina Nabi Muhammad dalam sebuah adu mulut dengan tetangganya pada Juni 2009.

Ibu empat anak itu selalu mempertahankan ketidakbersalahannya selama delapan tahun terakhir, di mana ia telah mendekam di sel isolasi, guna menunggu hasil upaya banding hingga ke Mahkamah Agung Pakistan.

Hingga akhirnya pada Rabu 31 Oktober 2018, Hakim Agung Saqib Nisarm, membacakan putusan pembatalan vonis hukuman mati terhadap perempuan itu. Ia juga mengatakan bahwa Asia Bibi bisa segera bebas dari penjara di Sheikupura, dekat Lahore, jika tidak ada lagi dakwaan terhadapnya sehubungan dengan kasus lain, demikian seperti dikutip dari BBC.

Para Hakim Mahkamah Agung Pakistan mengatakan bahwa dakwaan jaksa yang dirumuskan di pengadilan rendah telah "gagal membuktikan kasusnya tanpa bukti yang logis".

"Kasus ini didasarkan pada bukti yang lemah tanpa ada prosedur penyelidikan yang laik," kata para hakim mahkamah agung.

Pengakuan terdakwa yang digunakan sebagai alat bukti juga tidak sah secara hukum, kata hakim mahkamah agung, karena "disampaikan di depan orang banyak yang tengah mengancam hendak membunuhnya."

Menutup putusan pembatalan vonis hukuman mati terhadap Asia Bibi, hakim mahkamah agung mengutip salah satu hadis Nabi Muhammad yang menyerukan agar umat non-muslim diperlakukan dengan baik.

 

Simak video pilihan berikut:

Bebas Belum Pasti, Ancaman Kekerasan Terus Menghantui

Suami dan anak perempuan Asia Bibi (AFP PHOTO)
Suami dan anak perempuan Asia Bibi (AFP PHOTO)

Pada Jumat 2 November 2018, pemerintah Pakistan telah mencapai kesepakatan dengan kelompok garis keras yang memprotes pembatalan vonis hukuman mati terhadap Asia Bibi.

Pemerintah terpaksa bernegosiasi dengan kelompok tersebut karena mereka terus menggelar demonstrasi besar dan blokade jalan, sebagai bentuk protes atas keputusan Mahkamah Agung Pakistan.

Para anggota kelompok militan Islamis Tehreek e-Labbaik ya Rasool Allah (TLYR), memblokir jalan-jalan raya di kota-kota terbesar Pakistan seperti di Karachi, Lahore, Peshawar dan Multan selama tiga hari. Para pengunjuk rasa juga menuntut agar para hakim Mahkamah Agung yang membebaskan Asia Bibi, mati.

Dalam kesepakatan hari Jumat, pemerintah setuju untuk melakukan peninjauan kembali kasus Asia Bibi dan memberlakukan larangan perjalanan bagi ibu empat anak itu hingga proses peninjauan selesai. Sebagai imbalannya, kelompok garis keras itu diminta untuk menghentikan protes mereka, yang telah memblokir jalan dan membuat kehidupan terhenti di beberapa bagian negara.

Belum diketahui apakah Mahkamah Agung Pakistan akan membalikkan keputusannya, tetapi, tinjauan pengadilan biasanya memakan waktu bertahun-tahun. Cobaan Asia Bibi tampaknya akan berlanjut sampai peninjauan selesai.

Ibu empat anak itu pun kini dirundung ketakutan atas kemungkinan reaksi keras dari para ekstremis.

Putrinya, Eisham Ashiq, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa jika dia dibebaskan: "Saya akan memeluknya dan akan menangis bertemu dengannya dan akan bersyukur kepada Tuhan bahwa dia telah membebaskannya."

Pihak keluarga juga mengatakan khawatir akan keselamatan mereka dan kemungkinan harus meninggalkan Pakistan.

Keluarga Asia Bibi mengharapkan pembebasannya pada Kamis 1 November malam. Suaminya, Ashiq Masih, kembali dari Inggris bersama anak-anak mereka pada pertengahan Oktober 2018 dan menunggu pembebasannya agar mereka dapat terbang keluar dari Pakistan. Meskipun keluarga belum mengungkapkan tujuannya, Prancis dan Spanyol telah menawarkan suaka.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah menyerukan pembebasan Bibi dan mengkritik undang-undang penistaan ​​agama di Pakistan, dengan mengatakan bahwa hukum itu telah menimbulkan persekusi bagi kelompok agama minoritas.

Protes keras dan dampak buruk dari kasus itu pun telah terjadi sejak 2010 silam. Tak lama setelah Asia Bibi dijatuhi vonis, seorang politikus terkemuka, Gubernur Punjab Salman Taseer, dibunuh karena menyuarakan dukungannya terhadap reformasi undang-undang penistaan agama.

Pembunuh Taseer, Mumtaz Qadri, divonis hukuman mati atas perbuatannya. Namun, oleh kelompok garis keras, pria itu dikultuskan, sampai-sampai, mereka membuat 'kuil' besar yang didedikasikan untuknya di pinggiran Islamabad.

Para pendukungnya juga menciptakan partai politik --berkampanye untuk melestarikan undang-undang penistaan agama-- yang mengumpulkan sekitar dua juta suara dalam pemilihan umum tahun ini.

Ini adalah partai yang sama yang ditakuti banyak orang sebagai penyebab kerusuhan kekerasan dalam beberapa hari terakhir usai putusan pembatalan hukuman mati terhadap Asia Bibi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya