Liputan6.com, Beijing - Sebuah studi kependudukan menyebut bahwa China akan mencapai populasi tertingginya pada 2029, yakni sebanyak 1,44 miliar jiwa, sebelum memulai periode penurunan usia produktif "yang tidak terhenti".
Studi Akademi Ilmu Sosial Tiongkok (CASS) mengatakan, China perlu segera menerapkan kebijakan mengatasi menurunnya jumlah tenaga kerja, di tengah ancaman peningkatan populasi tua dalam beberapa tahun mendatang.
Dikutip dari BBC pada Minggu (6/1/2019), kedua isu terkait dapat menyebabkan "konsekuensi sosial dan ekonomi yang sangat tidak menguntungkan," kata laporan itu.
Advertisement
Baca Juga
Adapun jumlah penduduk China saat ini, menurut laporan terakhir oleh PBB, mencapai angka 1,41 miliar jiwa.
Studi CASS itu juga menyebut bahwa jumlah populasi usia aktif yang stagnan, berpadu dengan tingkat kesuburan yang rendah, akan menyebabkan lebih banyak masalah pada isu kesejahteraan sosial.
Pada pertengahan Abad ke-21, populasi China diperkirakan akan turun menjadi 1,36 miliar, yang juga dibarengi dengan rendahnya angka usia kerja hingga mendekati 200 juta orang.
Jika tingkat kesuburan tetap rendah, kata laporan itu, jumlah penduduk China bisa turun menjadi 1,17 miliar jiwa pada 2065 mendatang.
Studi ini juga memperkirakan kenaikan tingkat ketergantungan, yang merujuk pada proporsi penduduk tidak bekerja seperti orang tua dan anak-anak.
Sementara melonggarkan kebijakan satu anak akan berdampak positif dalam jangka panjang, namun dalam skala waktu yang lebih pendek, hal itu justru akan menciptakan peningkatan jumlah tanggungan, menurut laporan itu.
Perkiraan sebelumnya menunjukkan populasi lansia China bisa mencapai 400 juta jiwa pada 2035, naik dari 240 juta pada 2017.
Simak video pilihan berikut:
Menghapus Penuh Kebijakan Satu Anak?
Pemerintah China dikabarkan tengah menimbang-nimbang untuk penghapusan penuh kebijakan pembatasan jumlah anak untuk setiap keluarga, yang telah berlangsung selama lebih dari empat dekade.
Usulan tersebut dikarenakan angka kelahiran di Negeri Tirai Bambu telah menurun cukup drastis dalam sepuluh tahun terakhir.
Aturan pembatasan anak yang berlaku sejak 1979 telah dilonggarkan pada 2016 lalu, ketika otoritas kependudukan mengizinkan setiap keluarga memiliki anak sebanyak dua orang.
Meski begitu, sebagaimana dikutip dari The Guardian, angka-angka kasus aborsi paksa dan sterilisasi masih cukup tinggi di negara terpadat di dunia itu.
The Procuratorate Daily, surat kabar yang berafiliasi dengan kantor kejaksaan negara, mengatakan RUU kependudukan terbaru akan mengabaikan tentang referensi 'keluarga berencana', yang selama ini membatasi hak reproduksi penduduk China.
Namun, laporan tersebut tidak menunjukkan apakah akan menaikkan batas kepemilikan anak dalam keluarga, atau mengizinkan jumlah buah hati yang tidak terbatas. RUU perdata yang sedang dibahas oleh komite tetap Kongres Rakyat Nasional pada pekan ini, diharapkan bisa dieksekusi penuh pada 2020 mendatang.
Advertisement