PBB Desak Perusahaan dan Investor Media Sosial Promosikan HAM di Myanmar

PBB mendesak para perusahaan dan investor media sosial untuk mempromosikan hak asasi manusia di Myanmar.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 06 Mar 2019, 17:28 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2019, 17:28 WIB
Anak Rohingya Rayakan Idul Adha di Pengungsian
Bocah-bocah Rohingya mengenakan pakain baru selama perayaan Idul Adha di kamp pengungsi Thangkhali, Bangladesh, Rabu (22/8). Hampir setahun mereka menghuni kamp ini usai kabur menghindari represi militer di Negara Bagian Rakhine. (Dibyangshu SARKAR / AFP)

Liputan6.com, Napyidaw - Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Yanghee Lee, mendesak berbagai perusahaan media sosial dan investor asing untuk berbuat lebih banyak dalam memastikan dukungan terhadap penegakan hak asasi manusia (HAM) di negara itu.

Dalam imbauan yang disampaikan pada Selasa 5 Maret itu, Lee menyebut bahwa Facebook gagal memperlakukan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Myanmar secara adil.

Dikutip dari Channel News Asia pada Rabu (6/3/2019), Myanmar telah berusaha untuk menarik investor asing dan mengalihkan perhatian dari 730.000 muslim Rohingya yang telah meninggalkan negara itu sejak 2017.

Di lain pihak, penyelidikan AS menyalahkan eksodus tersebut akibat tindakan militer "yang berniat melakukan genosida", namun hal itu dibantal oleh pemerintah Myanmar.

Facebook mengatakan belum lama ini, bahwa pihaknya telah memblokir aktivitas media sosial empat kelompok pemberontak di Myanmar, setelah sebelumnya dikritik pemerintah setempat karena tidak segera bertindak melawan konten yang memicu konflik.

Kebijakan itu, menurut Lee, memicu kekhawatiran bahwa Facebook akan ditekan untuk tutup mata terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh tentara Myanmar dan sekutu kelompok bersenjata lainnya.

"Bertentangan dengan tujuan untuk mengurangi ketegangan, pemblokiran selektif ini dapat berkontribusi pada perasaan ketidaksetaraan oleh etnis minoritas," kata Lee dalam sebuah laporan, yang akan dia presentasikan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 11 Maret.

"Lembaga-lembaga publik yang terkait dengan militer, para pendukungnya, kelompok-kelompok ekstremis agama, dan anggota-anggota pemerintah terus memperbanyak pidato kebencian dan informasi yang salah di Facebook," tambahnya.

Berseberangan dengan pendapat Lee, Facebook mengatakan telah mengambil langkah-langkah untuk memblokir "ujaran kebencian, kelompok penghasut, dan pejabat militer yang menyeleweng" dari media sosialnya yang dikelola di Myanmar.

Investigasinya sedang berlangsung dan tidak terbatas pada empat kelompok yang masuk daftar hitam, kata perwakilan Facebook.

"Kami tidak ingin siapa pun menggunakan Facebook untuk menghasut atau mempromosikan kekerasan, tidak peduli siapa mereka," lanjutnya dalam sebuah pernyataan.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Serangan Militer Sebagai Tanggapan Sah

Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada Selasa 19 September 2017 akhirnya bicara ke dunia soal krisis di Rakhine yang memicu eksodus massal warga Rohingya ke Bangladesh
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi pada Selasa 19 September 2017 akhirnya bicara ke dunia soal krisis di Rakhine yang memicu eksodus massal warga Rohingya ke Bangladesh (AP Photo/Aung Shine Oo)

Laporan Lee tidak merinci langkah-langkah yang diambil oleh perusahaan media sosial lainnya.

Tetapi ini bertujuan untuk memastikan platform "termasuk Facebook dan Twitter" menghormati hak asasi manusia, dan melakukan uji tuntas untuk "memahami sepenuhnya konteks Myanmar dan bertindak secara bertanggung jawab".

Twitter, yang melarang penggunannya untuk mengekspresikan kebencian atau membuat ancaman kekerasan terhadap seseorang atau kelompok, menolak berkomentar secara khusus tentang Myanmar.

Sementara itu, Myanmar membantah tuduhan pembunuhan massal dan pemerkosaan, serta mengatakan serangan militernya merupakan tanggapan yang sah terhadap ancaman pemberontak.

Pemerintah Myanmar juga mengatakan bahwa pihaknya akan menyambut kembali para pengungsi.

Lee sendiri telah ditolak berkali-kali oleh pemerintah Myanmar, dan permohonan kunjungan terakhirnya pada Januari lalu tidak digubris, dengan alasan bahwa laporan yang dibuatnya selalu berat sebelah.

Pekan lalu, Menteri Myanmar untuk Kerja Sama Internasional, Kyaw Tin, mengatakan kepada dewan hak asasi manusia bahwa konflik di Myanmar harus dipahami dalam konteks sejarah dan budaya.

Lanjutkan Membaca ↓

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya