Liputan6.com, Washington DC - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump tidak tinggal diam atas memanasnya sengketa di Laut China Selatan. Ia bergerak maju dengan penjualan pesawat tak berawak (drone) pengintai ke empat sekutunya dalam kasus tersebut.
Langkah ini dijalankan saat Menteri Pertahanan Patrick Shanahan mengatakan Washington tidak akan lagi "berjingkat-jingkat" dalam menanggapi perilaku China di Asia.
Pentagon mengumumkan pada Jumat, 31 Mei 2019 bahwa mereka akan menjual 34 drone tipe ScanEagle, yang dibuat oleh Boeing kepada pemerintah Malaysia, Indonesia, Filipina dan Vietnam dengan total penjualan US$ 47 juta, sebagaimana dilansir dari The Straits Times pada Selasa (4/6/2019).
Advertisement
Baca Juga
Drone tersebut akan mampu mengumpulkan informasi intelijen lebih banyak yang berpotensi membatasi aktivitas China di wilayah Laut China Selatan, lapor The Strait Times.
Pentagon mengatakan, penjualan tersebut termasuk suku cadang dan perbaikan, peralatan pendukung, peralatan, pelatihan dan layanan teknis. Adapun pengerjaan peralatan itu diharapkan akan selesai pada Maret 2022 mendatang.
Sebagaimana diketahui, konflik di Laut China Selatan tidak kunjung berhenti. China mengklaim hampir semua laut tersebut yang strategis. Beijing juga sering menghina Amerika Serikat dan sekutunya atas operasi angkatan laut di dekat pulau-pulau yang diduduki China.
Sekutu AS yang dimaksud di antaranya adalah sejumlah negara anggota ASEAN, yakni Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam. Dengan beberappa negara yang dimaksud, seperti Filipina dan Vietnam memiliki klaim yang saling bersaing dengan Tiongkok atas Laut China Selatan.
Indonesia Membeli 8 Drone
Indonesia, dilaporkan oleh Reuters dikutip dari The Straits Times, membeli delapan pesawat tak berawak yang dimaksud. Sementara Malaysia membeli 12 set drone, dengan Negeri Jiran mengucurkan dana sekitar US$ 19 juta (sekitar Rp 270 triliun) untuk itu.
Adapun Filipina membeli depalan unit, dengan Vietnam membeli enam pesawat tak berawak.
Pada tahun 2018, pemerintahan Presiden AS Donald Trump meluncurkan perombakan kebijakan ekspor senjata AS yang telah lama ditunggu-tunggu. Hal itu bertujuan memperluas penjualan ke para sekutunya, dengan mengatakan bahwa langkah yang dimaksud akan meningkatkan industri pertahanan Amerika dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.
Inisiatif itu memudahkan aturan untuk mengekspor beberapa jenis drone buatan AS ke puluhan negara mitra.
Tidak ada versi drone bersenjata dari ScanEagle, tetapi Insitu, divisi Boeing yang membuat drone, juga membuat RQ-21A Blackjack yang merupakan drone bersenjata opsional yang digunakan oleh Angkatan Laut AS dan Korps Marinir.
Advertisement
AS: Presiden China Ingkar Janji
Sementara itu, AS beberapa waktu lalu mengatakan Presiden China Xi Jinping telah "mengingkari janji" untuk tidak melakukan militerisasi di Laut China Selatan yang tengah disengketakan.
Jenderal Joseph Dunford, ketua Kepala Staf Gabungan Pentagon, mengatakan ia tidak menyerukan aksi militer, tetapi menekankan bahwa ada kebutuhan untuk menegakkan hukum internasional, demikian sebagaimana dikutip dari Channel News Asia.
"Musim gugur 2016, Presiden China Xi Jinping berjanji kepada Presiden Obama bahwa mereka tidak akan melakukan militerisasi di pulau-pulau itu. Namun yang kita lihat sekarang adalah landasan pacu 10.000 kaki, fasilitas penyimpanan amunisi, peningkatan rutin kemampuan pertahanan rudal, kemampuan penerbangan, dan sebagainya," katanya dalam sebuah pembicaraan tentang keamanan dan pertahanan AS di lembaga Brooking.
"Jelas sekali mereka (China) telah meninggalkan komitmen itu," ungkap sang jenderal berusaha meyakinkan.