Kisah Miris WNI, Jadi Korban Perdagangan Manusia di China Bermodus Perjodohan

Monika adalah salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) yang bernasib malang. Ia menjadi korban perdagangan manusia dengan selubung perjodohan. Ini kisahnya.

oleh Siti Khotimah diperbarui 27 Jun 2019, 17:30 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2019, 17:30 WIB
Ilustrasi perdagangan manusia (iStock)
Ilustrasi perdagangan manusia (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Monika adalah salah satu Warga Negara Indonesia (WNI) yang bernasib malang. Ia menjadi korban perdagangan manusia dengan selubung perjodohan. Kisah mirisnya dimulai pada tahun lalu, saat ia bertemu dengan seorang mak comblang.

Mengutip South China Morning Post, Monika adalah perempuan berusia 23 tahun asal Pontianak, Kalimantan Barat. Pada 2018, mak comblang menjanjikannya kehidupan yang lebih baik sebagai istri seorang pria dari China. Saat itu, ia tak memiliki firasat buruk sama sekali.

"Sang mak comblang memberi tahu bahwa saya akan menjalani kehidupan yang lebih baik di Tiongkok. Bisa mengirim uang kepada orangtua dan suam akan memberi saya uang bulanan," tutur wanita yang hanya menyelesaikan sekolah menengah itu.

"Dia juga mengatakan bisa pulang dan mengunjungi orangtua kapan saja," lanjutnya.

Setelah pertemuan pertama mereka, Monika memutuskan untuk menerima tawaran mak comblang dan pergi ke Kota Singkawang, sekitar 150 km dari kota kelahirannya, beberapa hari kemudian.

Di sana, Monika bertemu dua pria dari China dan disuruh memilih salah satunya. Ia memilih pria yang lebih muda, berusia 28 katanya. Mereka menghabiskan dua jam berbicara dengan bantuan penerjemah.

Keesokan harinya, mereka bertemu di salon kecantikan tempat Monika dirias. Pasangan itu bertukar cincin, menandatangani dokumen pernikahan dalam bahasa Indonesia dan China. Tak lupa, keduanya juga berpose untuk foto.

Monika menerima Rp 18 juta sebagai mas kawin, Rp 1 juta di antaranya diserahkan ke mak comblang. Sepekan kemudian, ia segera terbang ke China dan menetap di Provinsi Hebei, 122 kilometer timur laut Beijing.

Sayang, laki-laki itu memukulinya karena menolak berhubungan seks. Tak hanya itu, sang ibu mertua juga tak henti-hentinya melakukan kekerasan baik fisik maupun verbal.

Dibohongi

Kisah Miris Entin, Korban Perdagangan Orang di Malaysia
Ilustrasi.

Monika juga merasa dibohongi. Suaminya tidak memiliki penghasilan Rp 10 juta sebulan, seperti yang dikatakan kepadanya oleh mak comblang. Namun, ia memperoleh penghasilan yang jauh lebih rendah dalam pekerjaannya sebagai pekerja konstruksi.

Setiap hari, dari jam 07.00 pagi sampai 19.00 malam, Monika dipaksa membuat bunga kertas untuk dijual oleh mertuanya. Wanita itu juga tak diperkenankan mengakses internet, sebagai hukuman karena dirinya dianggap menyembunyikan makanan.

Gadis mungil berkulit putih itu pun akhirnya kehilangan cara untuk menghubungi sanak keluarga dan teman.

Selama 10 bulan, Monika tinggal di China dengan visa turis. Semua gajinya dari membuat bunga kertas, disimpan oleh ibu mertua. Suatu ketika, selama musim dingin, ia dipaksa tidur di luar gara-gara menanyakan kapan dirinya diizinkan pulang ke Singkawang, Indonesia.

"Ibu mertua saya adalah orang yang menakutkan, saya masih trauma ketika saya memikirkannya sampai hari ini," kata Monika. "Hanya melihatnya dari jauh saja sudah cukup untuk membuat saya takut."

Monika akhirnya melarikan diri dengan taksi ke kantor polisi setempat. Ia mengetahui bagaimana mengatakan ingin pergi ke kantor polisi dalam bahasa Mandarin dari seorang teman online.

Petugas di meja depan meminjamkan teleponnya untuk menghubungi kedutaan Indonesia di Beijing, katanya.

Sarang Perekrut di Gerebek

Diduga Lakukan <i>Trafficking</i> 24 Orang, 9 Orang Diringkus
9 Terduga pelaku perdagangan manusia itu diringkus di sebuah ruko di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Awal bulan ini, setelah diberitahu tentang kasus Monika, polisi menggerebek sebuah rumah di Pontianak. Tempat itu diyakini milik warga negara Indonesia. Operasi itu mengungkap 60 wanita yang akan diterbangkan ke China dan dinikahkan dengan pria yang masing-masing membayar hingga Rp 400 juta (US $ 28.276) - sebagian besar jatuh ke tangan para mak comblang, menurut Lembaga Bantuan Hukum.

Pada Sabtu, Monika tiba kembali di Jakarta, setelah apa yang dia sebut sebagai 10 bulan "penuh air mata". Pernikahannya dibatalkan.

"Saya sangat lega tak memiliki anak bersamanya, apa yang akan terjadi pada anak-anak saya jika ayah mereka adalah pemukul istri dan nenek mereka kasar?" katanya.

"Saya sangat tertekan di Tiongkok sehingga menggila, saya menangis setiap hari hingga tengah malam. Sekarang saya hanya ingin mendapatkan pekerjaan untuk memastikan saudara saya dapat sekolah. Pernikahan adalah hal terjauh dari pikiran saya."

Tak Hanya Monika

Korban Perdagangan Orang Kawin Kontrak Tersebar di 2 Provinsi Cina
Ilustrasi perdagangan manusia. Ilustrasi: Amin H. Al Bakki/Kriminologi.id

Wanita bertubuh mungil dan berkulit putih ini adalah satu dari 29 orang Indonesia yang tertipu dalam perkawinan dan kerja tidak dibayar di Tiongkok oleh perdagangan manusia yang terjadi selama setahun terakhir. Demikian menurut data Serikat Buruh Migran Indonesia, sebuah kelompok advokasi.

Kisah-kisah mereka menambah ribuan perempuan lain dari seluruh Asia Tenggara dan Selatan yang telah terjebak dalam penipuan semacam itu.

Minggu lalu, China mengatakan bahwa pihaknya menyelamatkan 1.147 korban perdagangan orang asing, termasuk 17 anak-anak, yang datang dari berbagai negara termasuk Myanmar, Kamboja, Laos, Vietnam, dan Thailand.

Secara total, 1.332 tersangka telah ditahan, dituduh mengorganisir 126 pernikahan yang curang dan secara salah mendapatkan pernikahan, pekerjaan, atau visa turis - seperti dalam kasus Monika - untuk membawa korban ke negara tersebut.

Oky Wiratama, seorang pengacara di Lembaga Bantuan Hukum yang berbasis di Jakarta, menggambarkan apa yang terjadi pada Monika sebagai perdagangan manusia yang jelas.

"Para wanita ini direkrut dengan janji kehidupan pernikahan yang bahagia dan targetnya adalah wanita yang kurang mampu. Begitu para korban tiba di China, mereka dieksploitasi, uang yang dijanjikan kepada keluarga mereka di Indonesia tidak ditransfer, dan mereka tidak diberi uang sama sekali. ”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya