Berbulan-Bulan Dilanda Kekerasan, Afrika Selatan Kirim Tentara Jaga di Cape Town

Pemerintah Afrika Selatan kirim tentara ke Cape Town setelah berbulan-bulan dilanda kekerasan.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 13 Jul 2019, 17:17 WIB
Diterbitkan 13 Jul 2019, 17:17 WIB
Salah seorang tentara Afrika Selatan berjaga di kota Cape Town yang dilanda kekerasan (AP/Schalk van Zuydam)
Salah seorang tentara Afrika Selatan berjaga di kota Cape Town yang dilanda kekerasan (AP/Schalk van Zuydam)

Liputan6.com, Cape Town - Pihak berwenang di Afrika Selatan mulai mengerahkan pasukan militer ke beberapa bagian di provinsi Western Cape, termasuk kota pelabuhan Cape Town, untuk membantu polisi memerangi gelombang kekerasan terkait geng di pemukiman kumuh setempat.

Kementerian Pertahanan Afrika Selatan mengumumkan dalam sebuah pernyataan pada Jumat 12 Juli, bahwa pasukan militer segera dikirim ke "daerah-daerah kejahatan paling parah", yang telah meresahkan masyarakat selama tiga bula terakhir.

Dikutip dari Al Jazeera pada Sabtu (13/7/2019), Pasukan Pertahanan Nasional Afrika Selatan (SANDF) mengatakan pengerahan itu akan dilakukan di kemudian hari, dan tidak pada hari Jumat seperti yang diumumkan kementerian.

"Ini akan berjalan segera setelah kami memiliki semua dokumen yang diperlukan," kata kepala komunikasi SANDF, Siphiwe Dlamini, kepada situs berita News24.

Langkah tersebut diambil menyusul pertumpahan darah baru-baru ini di pemukiman yang didominasi oleh penduduk kuliy hitam dan ras campuran, di mana mendorong seorang pejabat provinsi menyamakan situasi tersebut dengan "zona perang".

Sekitar 2.000 orang dilaporkan telah tewas sejak konflik memanas pada Januari lalu.

Masyarakat di distrik-distrik sekitarnya kerap menanggung beban kekerasan yang menyebar di wilayah luas berjuluk Cape Flats, tempat di mana angka pengangguran dan penyalahgunaan narkoba tercatat paling tinggi di Afrika Selatan.

Fakta itu juga disebut memicu konflik antar geng yang kerap "meminta korban".

 

 

Untuk Memastikan Keselamatan Publik

Bendera Afrika Selatan
Bendera Afrika Selatan (Wikipedia)

Dalam sebuah kekerasan pada Jumat lalu, yang menjadi berita utama nasional, enam wanita berusia 18 hingga 26 dilaporkan tewas oleh pria bersenjata tak dikenal yang memasuki banyak rumah secara acak.

Keesokan harinya, lima pria, berusia 18 hingga 39 tahun, ditembak mati dan satu orang terluka dalam dua insiden penembakan terpisah, kata Albert Fritz, seorang pejabat provinsi Western Cape.

"Di Western Cape, 1.875 orang dibunuh dalam enam bulan terakhir. Ini berarti bahwa banyak dari penduduk kami yang paling rentan, hidup di zona perang," kata Fritz.

Menteri Kepolisian setempat, Bheki Cele, mengatakan pengerahan tentara didukung oleh Presiden Cyril Ramaphosa, sebagai bagian dari langkah "luar biasa" untuk memastikan keselamatan publik.

"Kami akan mendatangi pintu ke pintu, kami akan mengumpulkan setiap senjata api ilegal, kami akan mengumpulkan semua penjahat," kata Cele kepada media setempat.

"Jika Anda menyimpan senjata api ilegal dan Anda pikir Anda akan tidur nyenyak, itu tidak akan terjadi. Kami akan mengetuk pintu Anda. Jika Anda menolak untuk membuka, kami akan mendobrak pintu. Kami akan meminta Anda bangun, dan jika masih menolak, maka kami akan menyeret Anda bersama kasus Anda," tambahnya memperingatkan.

"Kami menjamin bahwa Western Cape tidak akan lagi seperti ini," janji Cele.

Kasus Pembunuhan Meningkat Tajam

Bunuh Diri
Ilustrasi Bunuh Diri (iStockphoto)

Pembunuhan di Provinsi Western Cape, yang meliputi Cape Town, meningkat 6,3 persen dari 3.729 menjadi 3.963 korban antara Januari hingga April tahun ini, kata Cele.

Ironisnya, Cape Town, sebuah destinasi wisata internasional dengan pemandangan pantai dan gunung yang menakjubkan, memiliki tingkat pembunuhan tertinggi di Afrika Selatan.

Kota ini memiliki budaya geng yang telah berakar kuat, dengan ribuan pemuda menjadi anggota geng jalanan dengan nama-nama seperti "Hard Living" dan "Young Americans"

Namun, para analis memperingatkan langkah untuk mengirim pasukan dalam upaya mengatasi kekerasan itu bukanlah solusi yang bertahan lama.

"Menyebarkan tentara adalah tanggapan jangka pendek dan tidak berkelanjutan terhadap krisis," kata Gareth Newham, kepala peradilan dan pencegahan kekerasan di Institute for Security Studies, yang berpusat di Pretoria.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya