Iklim Bumi Kian Panas, Sekjen PBB Desak Semua Negara Kurangi Suhu 1,5 Derajat Celcius

Sekjen PBB mendesak semua negara anggota PBB untuk mengurangi suhu 1,5 derajat Celcius.

oleh Afra Augesti diperbarui 02 Agu 2019, 15:03 WIB
Diterbitkan 02 Agu 2019, 15:03 WIB
Antonio Guterres, kandidat kuat pengganti Ban Ki-moon sebagai Sekjen PBB
Antonio Guterres, kandidat kuat pengganti Ban Ki-moon sebagai Sekjen PBB (UNHCR)

Liputan6.com, New York - Menurut data baru dari World Meteorological Organization (Organisasi Meteorologi Dunia) dan Copernicus Climate Change Programme (CCCP), Juli menjadi bulan terpanas dalam sejarah.

Data dari CCCP yang dijalankan oleh European Centre for Medium-Range Weather Forecasts, angka-angka menunjukkan bahwa 29 hari pertama Juli 2019 akan setara dan sedikit lebih hangat dari Juli terpanans sebelumnya, yaitu pada 2016 yang juga merupakan bulan terhangat yang pernah ada.

Juli 2016 adalah bulan ketika fenomena El Nino terjadi, yang berkontribusi terhadap peningkatan suhu global. Tidak seperti 2016, 2019 belum ditandai oleh El Nino yang kuat.

"Itu berarti, Bumi berada dalam periode terpanasnya selama lima tahun, terhitung sejak dari 2015 hingga 2019," ujar Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, dalam telekonferensi dari markas besar PBB (New York), yang disiarkan di Kantor Informasi PBB di Jakarta, Jumat pagi (2/8/2019) atau 1 Agustus 2019 waktu Amerika Serikat.

Ia menambahkan, sejumlah negara telah terdampak perubahan iklim ini, mulai dari New Delhi ke Anchorage, dari Paris ke Santiago, dari Adelaide dan ke Lingkaran Arktik.

"Jika kita tidak mengambil tindakan terhadap perubahan iklim untuk waktu sekarang, maka cuaca ekstrem ini akan terus memuncak. Gunung es pun sudah mencair dengan cepat," mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi itu mengatakan.

Dikatakan oleh WMO bahwa gelombang panas yang mempengaruhi Eropa pada bulan lalu, kini telah menaikkan suhu di Kutub Utara dan Greenland sebesar 10-15 derajat Celcius.

PBB menyerukan kepada seluruh kota, wilayah dan negara di dunia agar mau berkomitmen untuk menciptakan kualitas udara yang aman bagi warganya, menyelaraskan perubahan iklim dan kebijakan polusi udara, pada 2030.

Komitmen tersebut sejalan dengan Perjanjian Iklim Paris (Paris Agreement) dan dukungan terhadap transformasi rendah karbon.

Guteres menjabarkan, penduduk di Bumi ini sudah seharusnya beralih menggunakan sumber daya alam yang lebih bersih dan berkelanjutan untuk pasokan energi, transportasi, dan sistem pangan yang lebih efekti.

"Itu karena perubahan iklim dan polusi udara sangat berkaitan: pendorong utama perubahan iklim, pembakaran bahan bakar fosil, juga menyumbang sekitar dua pertiga dari polusi udara luar ruangan. Pencemaran udara berkontribusi terhadap tingkatan kesehatan kita," Guteres melanjutkan.

 

Bersama Menurunkan Suhu Global Sebesar Mininal 1,5 Derajat Celcius

Ilustrasi perubahan iklim
Ilustrasi perubahan iklim (AFP)

Setiap tahun, polusi udara menyebabkan 7 juta kematian prematur (atau sekitar 1 dari setiap 8 kematian), menelan biaya ekonomi global sekitar US $ 5,11 triliun dan membunuh 600.000 anak setiap tahun.

Polusi udara, kata Antonio Guteres, setara dengan asap rokok tembakau yang bisa membunuh satu anak bawah lima tahun (balita), menjadikannya salah satu risiko terbesar yang wajib dihindari bagi kesehatan manusia.

Di 15 negara yang 'menyumbang' emisi gas rumah kaca paling banyak di dunia, dampak kesehatan dari polusi udara diperkirakan menelan biaya sekitar 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) mereka dalam setahun.

"Ilmuwan terkemuka dunia memberi tahu kami bahwa kita harus membatasi kenaikan suhu hingga 1,5 derajat Celcius jika kita ingin menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim. Kita perlu mengurangi emisi rumah kaca hingga 45% pada tahun 2030. Kami membutuhkan netralitas karbon pada tahun 2050," tegas Guteres.

Sementara itu, suhu panas juga menyebabkan deretan negara-negara di Eropa 'kerepotan'. Perubahan iklim menyebabkan gangguan pada transportasi dan infrastruktur.

Saat suhu panas menyebar ke utara melalui Skandinavia dan menuju Greenland, ini mempercepat laju pencairan es yang ada di sana.

"Panas luar biasa disertai dengan pencairan es yang dramatis di Greenland, di Kutub Utara dan di gletser Eropa. Kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kutub Utara selama dua bulan berturut-turut, menghancurkan hutan yang dulu murni yang digunakan untuk menyerap karbon dioksida dan mengubahnya menjadi sumber api gas rumah kaca. Ini bukan fiksi ilmiah. Ini adalah realitas perubahan iklim. Sedang terjadi sekarang dan akan memburuk di masa depan tanpa tindakan yang mendesak," kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.

Belgia, Jerman, Luksemburg, Belanda dan Inggris punya catatan suhu nasional baru per 25 Juli, yaitu di atas 40 derajat Celcius. Paris bahkan menyentuh angka 42,6 derajat Celcius pada 16.32 waktu setempat.

Gelombang panas disebabkan oleh udara hangat yang datang dari Afrika Utara dan Spanyol, yang kemudian diangkut dari Eropa Tengah ke Skandinavia.

Norwegia pada 27 bersuhu di atas 20 derajat Celcius. Ibu kota Finlandia, Helsinki, mencatat rekor baru: 33,2 derajat Celcius pada 28 Juli dan di selatan Finlandia, Porvoo, 33,7 derajat Celcius.

Russian Federal Forestry Agency atau Badan Kehutanan Federal Rusia memperkirakan bahwa, pada 29 Juli, kebakaran hutan di Siberia telah menghanguskan lahan seluas 33.200 kilometer persegi, menyebabkan kehancuran ekologis besar-besaran dan berdampak pada kualitas udara.

The European Centre for Medium-Range Weather Forecasts/Copernicus Atmosphere Monitoring Service atau Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa/Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus memperkirakan bahwa emisi CO2 pada 2019 untuk Lingkaran Arktik berjumlah 75,5047 megaton, yang sebanding dengan emisi bahan bakar fosil tahunan 2017 dari Kolombia.

Pemanasan Juni dan Juli

Perubahan iklim
Ilustrasi: akibat perubahan iklim dan pemanasan global (sumber: wisdominnature.org)

Gelombang panas Juli diikuti oleh gelombang panas awal yang luar biasa dan sangat ekstrem pada Juni, yang mencatat rekor suhu baru di Eropa pada Juni, dengan suhu rata-rata 2 derajat Celcius di atas normal.

Catatan absolut baru untuk Paris pada 25 Juli adalah 42,6 derajat Celcius dan memecahkan rekor sebelumnya sejak 28 Juli 1947, dengan 40,4 derajat Celcius.

Temperatur ini adalah temperatur khas suhu rata-rata Juli di Bagdad, Irak. Jerman menetapkan rekor suhu nasional baru (angka sementara) 42,6 derajat Celcius di Lingen, dekat perbatasan Belanda, naik 2,3 derajat Celcius dari sebelumnya.

Belanda memecahkan rekor panas yang dipegang pada 75 tahun silam (ditetapkan pada Agustus 1944) dengan suhu 40,7 derajat Celcius di Gilye Rijen. Belgia juga menetapkan rekor nasional baru, yakni 41,8 derajat Celcius. Sedangkan untuk Luksemburg: 40,8 derajat Celcius.

Sementara itu, pada 25 Juli, suhu di Britania Raya mencapai 38,7 derajat Celcius, memecahkan rekor sebelumnya, yaitu 38,5 derajat Celcius yang tercatat di Faversham, Kent, pada Agustus 2003, menurut Met Office.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya