5 Peristiwa 'Noktah Hitam' dalam Sejarah Inggris, Fakta atau Konspirasi?

Berikut, lima dugaan peristiwa konspiratif dalam sejarah Inggris.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Sep 2019, 20:40 WIB
Diterbitkan 08 Sep 2019, 20:40 WIB
Ilustrasi Bendera Inggris
Ilustrasi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Setiap negara punya noktah hitam dalam catatan sejarahnya masing-masing.

Beberapa dengan terbuka mengakuinya, dan berkomitmen untuk berbenah agar 'catatan buruk' itu tak terulang di masa depan.

Sementara, ada negara yang sengaja menutup-nutupi noktah hitam tersebut dengan berbagai justifikasi. Mereka beralasan, pengungkapan akan berujung pada konsekuensi yang jauh lebih besar.

Inggris adalah salah satunya. Berikut, lima dugaan catatan kelam nyaris konspiratif dalam sejarah Inggris, seperti dikutip dari berbagai sumber, Minggu (8/9/2019).

1. Kurator Seni Ratu Diekspos sebagai Mata-Mata Soviet

Ratu Elizabeth II
Ratu Elizabeth II saat di Royal Ascot. (Daniel LEAL-OLIVAS / AFP)

Cambridge Five, kelompok lima mata-mata Uni Soviet, menyusup ke eselon tertinggi masyarakat Inggris medio 1960-an, atau pada era panas Perang Dingin.

Setelah tiga anggota pertama melarikan diri ke Moskow untuk menghindari penangkapan, spekulasii mengelilingi identitas "orang keempat" yang masih gelap, yang tetap menjadi misteri sepanjang tahun 60an dan 70an.

Namun, Inggris berhasil menangkapnya pada 1964, yang tak lain ada Sir Anthony Blunt, seorang sejarawan seni terkenal yang mengelola koleksi seni Ratu Elizabeth II --pemimpin monarki Inggris.

Akan tetapi, konspirasi menyeruak. Pemerintah dikabarkan gagal menuntutnya, dan terus memperbolehkannya untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai kurator seni. Hingga, statusnya diketahui publik pada tahun 1979.

Blunt diekspos oleh Margaret Thatcher pada 1979 setelah dia dengan bodohnya mencoba menuntut penulis buku yang mengisyaratkan identitasnya. Dia dilucuti dari gelar kebangsawanannya (Sir) dan dipaksa untuk pensiun dari dinas kerajaan dengan memalukan, yang mungkin lebih meyakinkan jika Ratu dan setengah kelas atas tidak mengetahui segalanya selama 15 tahun sebelumnya.

Intelijen Inggris sebenarnya telah mencoba untuk menutupi semuanya sejak awal, tampaknya karena rasa malu mengingat betapa terhubungnya mereka semua dengan baik. (Kim Philby, orang ketiga dari Cambridge Five, hampir menjadi kepala MI6, badan intelijen luar negeri Inggris).

Ketika dua anggota pertama Cambridge Five melarikan diri, MI5 (badan intelijen domestik Inggris) meminta teman-teman mereka untuk menulis dan memohon agar mereka tidak menimbulkan kecanggungan dengan mencoba pulang.

Para pejabat penting Kantor Luar Negeri menyimpulkan bahwa "untuk menghindari rasa malu, jalan terbaik adalah membiarkan [Philby] pergi," sementara para diplomat diberitahu untuk tidak mengatakan apa pun kepada Amerika untuk menghindari "keributan di AS."

Orang kelima, John Cairncross, tidak dituntut sama sekali karena saudara lelakinya adalah kepala ekonom dan pemerintah tidak ingin dia dinyatakan sebagai "seseorang yang saudara lelakinya adalah mata-mata komunis," demikian seperti dikutip dari the Guardian.

2. Uji Coba Senjata Kimia Mematikan pada Tentara Sendiri

Berbagai varian masker gas pada Perang Dunia I, salah satu fungsinya adalah meminimalisir efek senjata kimia gas klorin. (Agence Rol / Wikimedia / Public Domain)
Berbagai varian masker gas pada Perang Dunia I, salah satu fungsinya adalah meminimalisir efek senjata kimia gas klorin. (Agence Rol / Wikimedia / Public Domain)

Pada tahun 1953, Angkatan Udara Inggris (RAF) meminta prajurit untuk mengambil bagian dalam sebuah tes, yang seharusnya menemukan obat untuk flu biasa.

Namun, itu diduga bohong — mereka justru ingin menguji efek gas saraf.

Insinyur RAF Ronald Maddison mengajukan diri dan diberi dosis 200 miligram gas saraf sarin, hanya untuk segera mati dalam penderitaan.

Kematiannya ditutup-tutupi, dan keluarganya yang berduka diberi tahu bahwa mereka akan dituntut dan dipenjara jika mereka pernah memberi tahu siapa pun bahwa ia ikut serta dalam tes.

Kisah nyata tidak sepenuhnya muncul sampai tahun 2000-an, the Telegraph melaporkan.

Namun, itu hanya satu dari sejumlah uji senjata kimia yang dilakukan oleh RAF, beberapa di antaranya melibatkan pembuangan zink cadmium sulfida ke daerah-daerah berpenduduk. (Zat kimia itu kemudian diyakini tidak berbahaya tetapi sekarang dicurigai sebagai karsinogen atau memicu kanker).

3. Rencana Membom Kapal Pengungsi Yahudi Usai Holocaust

SS Exodus pada 1947 (Frank Scherschel / Wikimedia Commons)
SS Exodus pada 1947 (Frank Scherschel / Wikimedia Commons)

Setelah Perang Dunia II, banyak korban Holocaust bermimpi bermigrasi ke Israel. Namun ada sedikit masalah, karena Israel belum benar-benar ada. Apa yang ada adalah koloni Inggris Mandatory Palestine, dan Inggris bertekad untuk mencegah imigrasi Yahudi lagi di sana.

Tidak puas dengan pilihan yang disukai Inggris (tinggal di kamp-kamp pengungsi untuk masa yang akan datang), banyak korban Holocaust menjadi imigran ilegal. Dan saat itulah pengeboman dimulai.

Bertekad untuk menghentikan aliran pengungsi dari Eropa, MI6 Inggris membentuk kelompok teroris palsu yang disebut "Pembela Arab Palestina (Defenders Of Arab Palestine)" dan mulai meledakkan kapal-kapal dengan ranjau, demikian seperti dikutip dari the Daily Beast.

Pada tahun 1947, "Pembela" membom lima kapal di pelabuhan Italia. Mereka memastikan semua kapal kosong sebelum melancarkan aksinya.

MI6 juga ingin untuk menghentikan SS Exodus, yang berangkat dari Prancis. Namun, untuk alasan politik, Inggris gugup meledakkan sebuah kapal di Prancis (sekutu London), jadi MI6 menyarankan menggunakan bom waktu yang akan meledak tiga atau empat hari setelah ditanam. Ini berarti bahwa mereka tidak akan tahu apakah ada orang di kapal ketika bom meledak.

Untungnya, pemerintah Inggris mengambil pendekatan yang tidak terlalu keras, dengan memerintahkan angkatan laut untuk menyergap Exodus, menewaskan tiga penumpang (satu di antaranya dipukuli hingga mati). Penumpang yang tersisa berlayar ke Jerman. Di sana, mereka dipaksa turun dari kapal dan dibuang ke kamp-kamp yang dijaga, menyulut kembali rasa trauma bagi para penyintas Holocaust.

4. 'Membeli' Sungai Nil demi Menguasai Terusan Suez

Pasukan Mesir menyeberangi Terusan Suez pada Perang Yom Kippur 1973 melawan Israel. Sebagai jalur strategis, Terusan Suez sempat diperebutkan sejumlah negara (Wikimedia Commons)
Pasukan Mesir menyeberangi Terusan Suez pada Perang Yom Kippur 1973 melawan Israel. Sebagai jalur strategis, Terusan Suez sempat diperebutkan sejumlah negara (Wikimedia Commons)

Pada tahun 1956, Inggris berencana untuk mendapatkan kembali kendali atas Terusan Suez, yang kala itu baru dinasionalisasi oleh Mesir.

Sebagai alternatif invasi, militer Inggris membuat rencana untuk memotong Sungai Nil sebelum memasuki Mesir, menghancurkan negara itu.

Rencana tersebut menyerukan pembangunan bendungan besar di Uganda. Ini akan memotong 87,5 persen air di sungai terpanjang di dunia sampai orang Mesir setuju untuk mengembalikan kanal --demikian seperti dikutip dari buku karya Terje Oestigard "Land and Hydropolitics in the Nile River Basing: Challengers and new Investments."

Rencana itu dipertimbangkan serius oleh kabinet Inggris. Tetapi akhirnya ditinggalkan karena akan memakan waktu terlalu lama dan membahayakan Uganda.

Belum lagi, banyak negara yang dilewati sungai Nil sebelum sampai ke Mesir.

Mereka menyimpan ide itu sementara, sebagai alat propaganda untuk digunakan melawan para petani Mesir, yang tampaknya tidak terlalu terintimidasi.

5. Operation Legacy

Lelah Berunjuk Rasa, Penolak RUU Ekstradisi Hong Kong Tidur di Jalanan
Seorang wanita memegang bendera Inggris ketika para demonstran beristirahat di sepanjang jalan utama dekat Gedung Dewan Legislatif saat menggelar protes terkait RUU Ekstradisi di Hong Kong, Senin (17/6/2019). (AP Photo/Vincent Yu)

Ketika Kerajaan Inggris berakhir pada tahun 50-an dan 60-an, pemerintah Inggris meluncurkan Operation Legacy, sebuah program besar di seluruh dinas rahasia untuk menghancurkan bukti yang akan melemparkan nama kerajaan dalam noktah hitam yang buruk.

Instruksi yang dikirim dari London memerintahkan pembersihan lengkap dokumen apa pun yang "dapat mempermalukan pemerintah Yang Mulia."

Ada fokus khusus pada dokumen-dokumen "yang menunjukkan prasangka rasial atau bias agama di pihak pemerintah Yang Mulia."

Perintah yang sama itu menyebutkan bahwa pembersihan itu harus dilakukan oleh "perwira Inggris keturunan Eropa saja," meskipun beberapa dokumen yang lebih rendah dapat dihancurkan oleh pejabat dari "Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan atau Kanada."

Orang-orang non-kulit putih tidak diizinkan untuk menyaksikan apa pun yang berkaitan dengan Operasi Legacy.

Tidak jelas apa yang ada dalam dokumen-dokumen itu, tetapi pemerintah Inggris ingin mereka dihapus dari planet ini.

Perintah menuntut agar mereka "direduksi menjadi abu dan abunya dihancurkan," demikian seperti dikutip dari the Guardian.

Mereka juga bisa dilempar ke laut selama mereka "dikemas dalam peti berbobot dan dibuang di air yang sangat dalam dan bebas arus pada jarak maksimum yang bisa dilakukan dari pantai."

Dokumen palsu dibuat untuk menggantikan mereka jika memungkinkan, tetapi yang penting dari semua itu adalah agar semuanya menghilang.

Ini adalah operasi besar: Lima truk penuh dokumen dibuang ke tungku pembakaran angkatan laut di Singapura pada Agustus 1957.

Dokumen yang kurang sensitif dikirim ke Inggris dan disimpan di belakang pagar kawat berduri di fasilitas rahasia. Keberadaan dokumen-dokumen ini baru terungkap pada tahun 2012, di mana hingga saat ini, sejarawan sedang dalam proses bekerja meninjau seluruhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya