Liputan6.com, Jakarta - Kebijakan diplomasi luar negeri Republik Indonesia selama ini menggunakan cara halus atau soft power diplomacy. Kementerian Luar Negeri pun bersuara memakai jalur-jalur yang sesuai dengan hukum internasional.
Cara diplomasi ini diterapkan baik dalam kasus Natuna, Uighur, hingga Iran vs Amerika Serikat. Indonesia berbicara melalui pertemuan langsung, serta menggunakan hukum internasional, dan nota diplomatik.
Advertisement
Baca Juga
Namun, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai suara diplomasi Indonesia belum terlalu keras. Ketua MUI Bidang Hubungan Internasional Muhyiddin Junaidi berkata, sudah saatnya Indonesia mencoba bersuara lebih keras seperti Turki.
"Saatnya Indonesia untuk tampil dengan megaphone diplomacy bukan hanya constructive diplomacy, seperti yang dilakukan Turki. Atau menggabungkan antara keduanya sehingga keberadaan Indonesia dikenal oleh dunia internasional," ujarnya dalam diskusi round table Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC) di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Diskusi itu membahas dampak konflik Iran dan Amerika Serikat. Mantan Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin yang menjadi pemandu diskusi berkata Indonesia perlu menjalankan diplomasi tinggi yang tak condong ke Iran atau AS
Muhyiddin yang juga memimpin hubungan internasional PP Muhammadiyah sepakat bahwa Indonesia perlu menerapkan high diplomacy, tetapi ia mencatat suara diplomasi Indonesia memang tak terdengar. Alhasil, peran Indonesia menjadi tidak terlihat.
"Indonesia saat ini silent diplomacy yang dipegang sehingga di dunia internasional kurang begitu dikenal seakan-akan kita tidak berperan," ujar Muhyiddin kepada Liputan6.com.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Contoh Erdogan
Sementara, ia menyebut Indonesia malah cenderung menghindari diri karena mempertimbangkan hubungan bilateral dengan Arab Saudi. Padahal, menurut Muhyiddin Turki juga punya hubungan baik dengan Arab Saudi namun tetap angkat suara.
"Saudara kita di Turki dia tegas walaupun hubungannya baik dengan Saudi Arabia. Harusnya seperti itu," pungkas Muhyiddin.Berdasarkan data Armed Conflict Location & Event Data Project, perang di Yaman telah menewaskan 100 ribu orang sejak 2015.
Pada angka tersebut, 12 ribu orang adalah rakyat sipil, sementara lebih dari 80 ribu orang tewas terkait bencana kelaparan akibat perang.Koalisi pemerintah Arab Saudi mendukung angkatan bersenjata Yaman yang mendukung presiden Mansour Hadi melawan pemberontak Houthi yang dibela Iran.
Konflik Iran dan AS sendiri sedang mengalami de-eskalasi dalam segi militer karena Presiden AS Donald Trump beralih ke sanksi ekonomi.
Advertisement