Kisah WNI di 4 Negara dengan Jumlah Kasus Corona COVID-19 Tertinggi

Inilah kisah warga negara Indonesia (WNI) dari empat negara yang hingga saat ini masih terus berjuang menangani pandemi Corona COVID-19, dikutip dari ABC Australia, Selasa (21/4/2020):

diperbarui 21 Apr 2020, 16:26 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2020, 16:26 WIB
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)
Ilustrasi Virus Corona 2019-nCoV (Public Domain/Centers for Disease Control and Prevention's Public Health Image)

Melbourne - Sejumlah warga Indonesia di luar negeri terdampak pandemi Virus Corona COVID-19. Mereka yang tinggal di negara-negara dengan ratusan ribu kasus SARS-CoV-2 merasa khawatir soal kesehatannya.

Kondisi keluarga di Indonesia juga selalu dalam pikiran, dengan harapan Indonesia jangan sampai mengalami apa yang mereka rasakan.

Ada lebih dari 780 ribu kasus COVID-19 yang sudah dikonfirmasi di Amerika Serikat, dengan penularan tertinggi terjadi di kota New York, yang menjadi pusat bisnis dan hiburan.

Sementara di Eropa, Spanyol, Italia, dan Prancis menjadi tiga negara dengan kasus tertinggi dengan total kematian di tiga negara ini sudah mencapai lebih dari 60 ribu orang.

Inilah kisah warga negara Indonesia dari empat negara yang hingga saat ini masih terus berjuang menangani pandemi Corona COVID-19, dikutip dari ABC Australia, Selasa (21/4/2020):

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Amerika Serikat: Khawatir Tapi Tetap Positif

Ilustrasi Covid-19, virus corona
Ilustrasi Covid-19, virus corona. Kredit: Gerd Altmann via Pixabay

Amerika Serikat saat ini memiliki kasus COVID-19 tertinggi di dunia dengan lebih dari 780 orang dinyatakan positif tertular virus corona, 42 ribu lebih pasien meninggal, setengahnya berdomisili di negara bagian New York.

Tingginya jumlah kasus dan angka kematian di New York membuat khawatir pasangan asal Indonesia, Hendy Bernadi dan istrinya, Caroline Ronauli, yang sudah dua tahun tinggal di kota.

Hendy dan Olin, panggilan akrab Caroline, tinggal di kawasan Forest Hill di Queens, sekitar 20 menit dari pusat kota New York.

Menurut mereka, kawasan tempat tinggalnya bukan kawasan 'hot spot' COVID-19, seperti Bronx dan Brooklyn, dengan jarak antar rumah yang relatif jauh dan warganya mematuhi aturan 'physical distancing' yang diterapkan pemerintah.

Inilah sebabnya meskipun khawatir, Hendy, Olin, dan anak semata wayang mereka, Hayzel, lebih merasakan atmosfer positif di tengah wabah corona di New York.

Hayzel, yang sekarang duduk di kelas 6, sudah sebulan bersekolah dari rumah. Semua kebutuhannya, seperti laptop atau ipad, disediakan oleh Kementerian Pendidikan Amerika Serikat.

Tak hanya itu, jatah murid makan tiga kali sehari masih tetap dipenuhi oleh kantin sekolah. Orangtua bisa mengambil jatah makanan tersebut antara pukul 8 pagi sampai pukul 1 siang.

"Mungkin karena ini sekolah publik ada anak-anak dari keluarga yang tidak mampu, pemberian makanan ini masih terus dilakukan pihak sekolah," Olin menjelaskan.

Kekhawatiran Olin justru lebih soal suaminya, karena Hendy bekerja di salah satu bank BUMN Indonesia di New York yang masih harus pergi ke kantor satu kali seminggu.

"Setiap mau keluar rumah, saya ingatkan, jangan lupa pakai ini-itu, semprot disinfektan. Begitu balik [ke rumah] juga jaket dicopot dulu, disemprot-semprot lagi, mandi dulu, baru makan," kata Olin kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.Sementara untuk mengatasi kebosanan di rumah karena kondisi 'pause' di New York, Hendy dan Olin melakukan banyak kegiatan, termasuk yang mereka tidak pernah lakukan sebelumnya.

"(Karena) enggak tahu lagi mau ngapain, kami bertiga senam di depan televisi dengan panduan YouTube ... kami ber-zumba bertiga dengan baju olahraga lengkap," tutur Olin, yang mengaku sebelumnya ia tidak suka berolahraga.

Tetapi karena pemberitaan tentang situasi Corona baru di New York, Olin dan Hendy harus sering menenangkan orangtua dan keluarga di Indonesia yang mengkhawatirkan keadaan mereka.

Tinggal tanpa keluarga di negeri orang, membuat Hendy dan Olin rindu bersilaturahmi dengan sesama umat muslim asal Indonesia, terutama menjelang bulan Ramadan dan saat lebaran nanti.

Kini mereka juga merisaukan potensi meningkatnya tindakan kriminalitas di New York, karena naiknya jumlah pengangguran.

Akhir pekan kemarin, ribuan warga Amerika Serikat turun ke jalan melakukan unjuk rasa dengan tuntutan segera dibukanya kembali pusat-pusat dan kegiatan ekonomi, karena mereka telah merasakan dampaknya.

Italia: Seperti Dalam Mimpi

Italia Berkabung Atas Meninggalnya Puluhan Ribu Orang Akibat Corona
Bendera nasional Italia dikibarkan setengah tiang sebagai tanda berkabung atas korban meninggal akibat pandemi COVID-19 di Palazzo Chigi, Roma, 31 Maret 2020. Italia mengheningkan cipta dan menaikkan bendera setengah tiang atas kematian 11.591 orang akibat virus corona. (Xinhua/Alberto Lingria)

Sebelum Spanyol, Italia sempat menjadi pusat penyebaran virus corona di daratan Eropa, dengan jumlah pasien COVID-19 yang meninggal 23.000 dari 178.000 kasus virus corona, hingga akhir pekan kemarin (19/04).

Marlina Cordioli, asal Bandung yang akrab dipanggil Inna, sudah tinggal di Italia selama 10 tahun, tepatnya di kota Verona, bagian Italia utara.

Inna mengatakan ia bersama suami dan anaknya, yang berusia 1,5 tahun, sudah tinggal di rumah sejak awal Maret lalu.

"Benar-benar seperti mimpi rasanya, karena awalnya kita melihat apa yang terjadi di Wuhan, tapi kini di rumah sendiri, di negara yang kita tinggali," kata Inna kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia.

Sejak pertama kali Italia memberlakukan lockdown, Inna mengatakan perekonomian benar-benar menjadi kacau. Banyak aktivitas bisnis yang terhenti, hanya supermarket dan apotek yang bisa dikunjungi warga.

Menurut Inna, kekhawatiran soal pandemi virus corona di Italia semakin ia rasakan setelah melihat berita-berita di media.

"Benar-benar mempengaruhi secara psikologis, akhirnya kami memutuskan untuk tidak melihat TV lagi dan pernah tiga minggu tidak mengecek sosial media," ujarnya.

Inna memilih untuk menghabiskan waktunya di rumah dengan hal-hal yang lebih positif untuk menghilangkan stress yang dirasakannya.

"Sekarang kesibukan malah bertambah, suami juga bekerja dari rumah, kita lebih menyibukkan diri dengan memasak dan beres-beres rumah," kata Inna.

Memasuki bulan April, keadaannya mulai "sedikit tenang", menurut Inna, terutama dari laporan jumlah pasien di perawatan insentif yang menurun.

Namun kini yang menjadi kekhawatirannya adalah kondisi keluarga Inna di Indonesia, melihat kasus COVID-19 yang meningkat dengan 'fatality rate', atau tingkat kematian yang tinggi.

"Jujur aku lebih takut karena jumlah penduduknya lebih banyak, di Italia warga yang sudah di-swab [salah satu metode tes virus corona] lebih dari satu juta orang, tapi di Indonesia masih kurang," ujar Inna.

"Saya juga melihat temen-temen masih bisa pergi untuk treatment (perawatan kecantikan), suntik vitamin C, padahalnya harusnya jangan dulu ketemu siapa-siapa, termasuk keluarga sendiri demi menyelematkan orang lain."

"Ini jangan dianggap masalah yang sepele, karena di Italia kita sudah mengalaminya," ujarnya mengingatkan pentingnya untuk diam di rumah.

Inggris: Tertular Virus Corona

Ilustrasi Bendera Inggris
Ilustrasi (iStock)

Maria Main yang berasal dari Indonesia sudah tinggal di London bersama suaminya, Nick dan anak-anak mereka selama 15 tahun.

Dalam percakapan dengan Sastra Wijaya dari ABC Indonesia, Maria mengatakan dia dan suaminya Nick sama-sama tertular virus corona, namun dengan situasi yang berbeda.

"Tiga minggu yang lalu, [Rabu, 18/03/2020] Nick merasa tidak enak badan disertai demam dan suhu badan tinggi semalaman sampai Kamis pagi," kata Maria.

Dua hari kemudian, giliran Maria yang merasakan gejala-gejala dengan suhu badan mulai hangat, pegal linu di bagian rahang, kaki, tangan, disertai sakit kepala dan batuk kering keesokan harinya.

"Karena saya punya latar belakang asma yang akut, kami langsung telepon ambulan, dan saya dijemput masuk ke rumah sakit," kata Maria.

Setelah pemeriksaan dokter, Maria tidak dites virus corona, karena di Inggris tes hanya dilakukan bagi mereka yang dirawat inap. Maria kemudian mendapat status 'suspected', atau dicurigai tertular COVID-19.

Selain diberi obat asma dan antibiotik jika diperlukan, ia diminta untuk melakukan isolasi selama 14 hari, yang berlaku untuk seluruh anggota keluarga di rumahnya.

Di antara anggota keluarga yang lain, Maria mengaku mengalami gejala yang paling berat, dengan pernafasan yang semakin sulit akibat memilik asma, serta kehilangan rasa saat makan.

"Hari terberat itu ke-4, 5, dan 6. Saya hanya di tempat tidur saja, jalan cuma ke toilet, itupun sangat melelahkan.""Hari ke-7, kalau pernafasan masih sulit, rencana mau telepon ambulans lagi. Puji Tuhan, semua gejala hilang hari itu, panas badan hilang, batuk hilang, dan paru-paru tidak kontraksi lagi."

Menurutnya, kemungkinan mereka tertular saat perjalanan menggunakan kereta, alat transportasi umum di London.

Sekarang Maria dan keluarganya sudah dalam proses pemulihan, yang menurut dokternya membutuhkan waktu antara lima sampai enam minggu.

"Sekarang minggu keempat semenjak gejala hari pertama, masih batuk-batuk, dan nafas pendek kalau banyak bergerak," ujarnya yang merasa lelah meski hanya berjalan 10 menit.

"Banyak teman-teman dan keluarga yang berminat mendengarkan kisah langsung, apalagi yang bisa sembuh, terutama karena berita-berita yang beredar dimedia sangat menakutkan," katanya yang mengaku sebagai salah seorang yang pertama sembuh dari COVID-19 di London.

Prancis: Rasa Cemas Sudah Tertular

Ilustrasi bendera Prancis.
Ilustrasi bendera Prancis (AFP/Ludovic Marin)

Rizal Halim sudah menetap di Paris sejak tahun 1994, sekarang bekerja di bidang pemasaran internasional salah satu pusat perbelanjaan fesyen di kota Paris.

Dia sendiri sejauh ini tidak tertular Virus Corona baru, namun mengenal seorang teman asal Indonesia yang memiliki gejala seperti tertular Virus Corona baru.

"Kawan saya perempuan, tinggal sendiri dan apartemennya berada di suburb cukup berjauhan dengan tempat tinggal saya , sehingga kami berbicara hanya lewat telpon."

"Dia mulai merasa panik, karena gejala batuk keringnya tidak sembuh, juga kehilangan daya penciuman. Badannya terasa lemah, linu dan suhu badan menaik sedikit," kata Rizal.

Rizal mengatakan temannya tersebut panik, karena saat itu ia belum memiliki persediaan makanan dan keperluan rumah tangga lainnya.

"Saat itu adalah awal dari karantina, sekitar tanggal 15 maret dimana pengumuman dari President Macron untuk lockdown merupakan sebuah kejutan bagi penduduk Prancis."

"Beruntung ada solidaritas dari tetangga-tetangganya yang membantu membeli keperluan makanan dan juga meminjamkan termometer." 

Setelah lewat dari dua minggu, temannya berhasil mengatasi gejala Virus Corona baru.

"Sekarang dia sudah mempunyai nafsu makan, temperatur badan kembali normal dan daya penciumannya sudah mulai kembali."

Rizal sendiri yang tinggal di kota Paris mengaku terus-menerus merasa cemas di tengah tingginya jumlah penularan Virus Corona baru, dengan pertanyaan kapan dan bagaimana virus ini bisa dikendalikan.

Ia juga resah jika memikirkan dirinya yang mungkin saja sudah tertular Virus Corona baru, meski tak menunjukkan gejala, namun dapat menyebabkan orang lain yang rentan menjadi sakit.

"Selama lockdown, saya hanya keluar untuk membeli kebutuhan pokok dengan persiapan selalu memakai sarung tangan plastik dan membawa surat yang menyatakan alasan saya untuk keluar rumah."

Tanpa surat tersebut, ia mengatakan warga di Prancis bisa didenda sebesar 135 euro, atau lebih dari Rp 2,2 juta.

"Saya melakukan olah raga di dalam apartemen saya ... dengan terburu-buru juga membeli sepeda statis," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya