Kondisi Pasien Corona COVID-19 Memburuk di Pekan Kedua, Mengapa?

Pada pekan kedua, pasien Virus Corona (COVID-19) bisa bertambah buruk.

diperbarui 28 Apr 2020, 18:06 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2020, 18:06 WIB
Melihat Posko COVID-19 Dinas Kesehatan DKI Jakarta
Petugas melewati layar pemantau yang menunjukan penyebaran virus corona (COVID-19) di Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Senin (9/3/2020). Dari 3.580 orang yang menghubungi Posko COVID-19 DKI Jakarta, ada 64 kasus kategori Orang Dalam Pantauan dan 56 Pasien Dalam Pengawasan. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Bengkulu - Kondisi pasien Virus Corona (COVID-19) bisa memburuk pada pekan kedua. Kondisi ini terjadi kepada pasien di Indonesia hingga di Inggris. 

Dilaporkan ABC Australia, Selasa (28/4/2020), seorang pasien COVID-19 di Kepahiang, Bengkulu, yang telah menjalani isolasi sejak Selasa pekan lalu (21/4).

Menurut laporan media setempat, tiga warga Desa Tebat Monok yang dinyatakan positif dan dirujuk ke RSUD Kepahiang, terdiri atas ayah, ibu dan anak.

"Ibu dan anak dalam kondisi stabil, namun sang suami atau ayah dalam perburukan kondisi gangguan pada saluran pernapasan atas," kata Kepala Dinas Kesehatan Bengkulu, Herwan Antoni.

Para pakar menggambarkan hal ini sebagai "ambruk di minggu kedua".

"Mereka akhirnya dirawat di rumahsakit, dan sekitar tiga hari kemudian, mereka harus masuk di unit perawatan intensif," kata Mark Nicholls, spesialis perawatan intensif dari Australian and New Zealand Intensive Care Society

Kondisi serupa dialami Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, yang tadinya dikabarkan hanya mengalami gejala ringan COVID-19, hingga akhirnya dimasukkan ke ICU.

Meski kebanyakan orang yang terinfeksi Virus Corona baru hanya mengalami gejala ringan dan akhirnya sembuh dalam waktu satu atau dua minggu, namun tercatat ada 15 persen yang harus dirawat di rumah sakit. Lima persen di antaranya kritis.

Alasan Mengapa Kondisi Menurun

Sangat sulit untuk mengetahui sejauh mana sistem imun seseorang menyebabkan kerusakan dalam kasus COVID-19.

"Sistem imun pada kebanyakan orang memiliki peran yang sangat bermanfaat," kata Dr Julian Elliot, direktur klinis Satuan Tugas COVID-19 di Australia.

Orang yang mengalami penyakit COVID-19 yang lebih serius biasanya memiliki tanda-tanda peningkatan peradangan, terutama di paru-paru.

Pneumonia merupakan infeksi paru-paru di mana kantung udara meradang dan dapat terisi oleh cairan. Ketika penyakit berkembang, pneumonia biasanya menjadi lebih buruk.

"Pada tahap banyak peradangan di paru-paru, seringkali memiliki kadar oksigen sangat rendah, sehingga harus dibantu ventilator," jelas Dr Elliot.

Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari pneumonia COVID-19 yaitu kemungkinan bisa memburuk tanpa mereka sadari.

Biasanya pneumonia membuat orang merasa tidak nyaman di bagian dada atau kesulitan bernapas. Tapi sejumlah pasien COVID-19 justru tak merasakan sesak napas, bahkan ketika kadar oksigennya turun.

Artinya, dalam kasus Corona baru ini, meski tingkat oksigen dalam tubuh seseorang cukup rendah, ia tidak merasa terengah-engah.

Itulah yang mungkin menjelaskan mengapa sejumlah pasien dengan gejala ringan, tiba-tiba kondisinya mengalami penurunan drastis.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Obat Anti Peradangan

Liputan 6 default 2
Ilustraasi foto Liputan6

Reaksi kekebalan tubuh yang berlebihan atau Badai Sitokin membantu menjelaskan mengapa ada orang mengalami reaksi yang parah terhadap COVID-19, sedangkan yang lain relatif ringan.

Mereka yang berusia lebih tua, memiliki kondisi medis kronis atau sistem kekebalan tubuh yang terganggu, umumnya bisa mengalami lebih parah saat terinfeksi COVID-19.

"Dalam kasus-kasus orang berusia muda yang kondisinya parah, kemungkinan respon imun yang terlalu aktif sebagai penyebabnya. Tapi itu mungkin pula terjadi pada orang tua," kata Dr Elliot.

Menurutnya, belum diketahui mengapa orang tertentu memberikan respon imun yang lebih aktif dibandingkan orang lain.

Untuk mengobati respon imun berlebihan ini, mungkin saja dokter menganjurkan obat anti-inflamasi yang secara luas menumpulkan sistem kekebalan tubuh, seperti kortikosteroid, atau memblokir sitokin tertentu.

Namun risikonya bisa terlalu menekan sistem kekebalan tubuh saat melawan infeksi.

"Itu sebabnya perlu penelitian karena perawatan ini memiliki risiko," kata Dr Elliot.

Saat ini sudah ada ujicoba obat COVID-19 yang menyelidiki peran obat yang menekan respon imun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya