Jakarta - Pandemi Virus Corona COVID-19 juga membawa dampak sosial bagi dunia. Salah satunya adalah pernikahan di bawah umur.
Puluhan ribu anak perempuan di bawah umur di Asia dilaporkan dipaksa menikah oleh keluarganya yang putus asa, karena jatuh miskin akibat pandemi Corona COVID-19. Isu pernikahan anak sebenarnya telah lama ditentang oleh para aktivis, tetapi hingga kini praktik tersebut masih marak terjadi.
Baca Juga
Pernikahan anak telah menjadi hal yang umum dijumpai di masyarakat tradisional di negara-negara Asia seperti India, Pakistan, Vietnam, dan Indonesia. Tetapi hal tersebut perlahan mulai dapat ditekan seiring upaya-upaya yang dilakukan pemerintah ataupun LSM yang mendorong akses pendidikan dan layanan kesehatan untuk perempuan.
Advertisement
Namun, upaya ini tampaknya terhalang dengan adanya pandemi Virus Corona COVID-19. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan para orang tua putus asa untuk menafkahi anak-anaknya.
"Semua kemajuan yang yang kami peroleh dalam satu dekade terakhir benar-benar mengalami kemunduran," ujar Shipra Jha, Kepala Penasihat untuk Asia dari LSM Girls Not Brides seperti dikutip dari DW Indonesia, Selasa (2/9/2020).
Kemiskinan, minim edukasi, rentan akan keamanan, mendorong terjadinya pernikahan anak, dan krisis saat ini makin memperparah kondisi yang ada, ungkap Jha.
Berdasarkan data PBB, diperkirakan terdapat 12 juta anak perempuan di seluruh dunia menikah sebelum umur 18 tahun setiap tahunnya. PBB pun memperingatkan dampak ekonomi dan sosial yang bisa ditimbulkan akibat pandemi Virus Corona COVID-19 saat ini, karena dikhawatirkan angka tersebut dapat meningkat 13 juta dalam dekade berikutnya.
Saksikan Juga Video Ini:
Meningkat Selama Lockdown
Di Asia, angka pernikahan anak diyakini meningkat bak bola salju oleh sejumlah LSM.
“Telah terjadi peningkatan pernikahan anak selama periode lockdown. Pengangguran merajalela, PHK dimana-mana. Banyak keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka, jadi mereka pikir menikahkan anak perempuan mereka adalah pilihan terbaik,” ujar Rolee Singh yang terkenal aktif mengkampanyekan “1 Step 2 Stop Child Marriage” di India.
Singh melihat bahwa keluarga menganggap pernikahan anak sebagai solusi masalah keuangan mereka tanpa peduli dampakya terhadap sang anak.
“Kami juga melihat anak-anak menikah karena pihak lain menawarkan uang atau semacam bantuan sebagai imbalan. Keluarga—keluarga ini tidak paham konsep perdagangan anak,” tuturnya.
Seperti yang dialami Muskaan (15), ia mengaku dipaksa ibu dan ayahnya untuk menikahi tetangganya yang berusia berusia 21 tahun. Ibu dan ayah Muskaan merupakan pembersih jalan di kota Varanasi, India, yang memilki enam orang anak untuk diberi makan.
“Orang tua saya miskin, apa lagi yang bisa mereka lakukan? Saya berjuang untuk menolaknya tapi pada akhirnya saya harus menyerah,” tutur Muskaan sambil menangis.
Senada dengan Singh, Jha khawatir kebijakan lockdown yang menyebabkan anak-anak tidak bersekolah dan tidak memilki aktivitas akhirnya terjerumus ke perbuatan zina.
“Ketakutan terbesar yang dimiliki keluarga adalah gadis remaja mungkin mejadi dekat dengan anak laki-laki, dan mengeksploitasi kegiatan seksual, dan akhirnya hamil,” jelas Jha.
Advertisement
Pendidikan jadi Tameng Utama
Di saat pendidikan dinilai menjadi tameng utama dalam melawan isu pernikahan anak, lockdown telah memaksa ratusan juta anak di dunia tidak sekolah. Para aktivis pun memperingatkan bahwa anak-anak perempuan miskin menjadi pihak yang paling terpukul.
Sebelumnya, pada pertengahan bulan Agustus sebanyak 275 mantan pemimpin dunia, pakar pendidikan, dan ekonom, menyerukan agar pemerintah dan organisasi global seperti Bank Dunia memastikan agar pandemi Virus Corona COVID-19 tidak melahirkan “Generasi COVID…yang kehilangan pendidikan dan kesempatan yang adil dalam hidup.”
“Banyak dari anak-anak ini adalah perempuan yang bersekolah, yang menjadi pertahanan terbaik melawan pernikahan anak dan harapan terbaik untuk kehidupan dan kesempatan yang lebih luas,” begitu kata surat terbuka yang ditandatangani mantan Sekjen PBB Ban Ki-Moon, mantan dirjen UNICEF Carol Bellamy, dan mantan PM seperti Shaukat Aziz, Gordon Brown, hingga Tony Blair.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah memperingatkan adanya potensi lonjakan kelahiran bayi (baby boom) pada awal tahun depan sebagai imbas dari pandemi Virus Corona COVID-19 di negeri berpenduduk 270 juta jiwa ini.
Lia (nama samaran) yang masih berusia 18 tahun, mengaku telah menikah dua kali. Pernikahan pertamanya terjadi karena dia terpergok tengah berduaan dengan seorang pria yang bukan keluarganya, sesuatu hal yang dianggap tabu di tempat tinggalnya, Sulawesi Barat. Mereka berdua pun dipaksa menikah meski sang pria berusia 30 tahun lebih tua dibanding Lia.
Setelah berpisah, Lia akhirnya menjalin hubungan dengan seorang lelaki yang masih berusia 21 tahun. Namun, Lia harus menghadapi fakta bahwa dia hamil di luar nikah di tengah masa PSBB. Keluarganya pun memaksanya untuk menikahi ayah sang cabang bayi.
“Saya bercita-cita menjadi pramugari,“ kenang Lia.
“Tapi dia gagal dan kini kerja di dapur,“ ujar suami Lia kini, Randi, yang memotong cepat kalimat sang istri.
UNICEF menyebut bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat pernikahan anak tertinggi di dunia. Indonesia tahun lalu telah merevisi Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan batas minimal usia nikah perempuan menjadi 19 tahun dari yang sebelumnya 16 tahun.
Namun, masih terdapat celah soal kebijakan tersebut. Pasalnya, pengadilan agama bisa memberikan dispensasi perkawinan dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Kementerian Pemberdayaaan Perempuan dan Perlindungan Anak, jumlah pengajuan dispensasi kawin selama pandemi Virus Corona COVID-19 tercatat mengalami peningkatan mencapai 24 ribu.
‘Tidak memikirkan masa depan’
Di Vietnam, batas minimal usia nikah adalah 18 tahun. Tetapi UNICEF meyatakan satu dari 10 anak perempuan di sana menikah sebelum usia tersebut. LSM lokal Blue Dragon mengungkap menemukan banyak kasus pernikahan anak perempuan yang masih berusia 14 tahun di tengah pandemi saat ini.
Mei (15), yang berasal dari suku pegunungan Hmong utara, terpaksa menikahi kekasihnya yang berusia 25 tahun pada Juni lalu karena kedapatan hamil. Orang tua Mei mengaku tidak sanggup membiayai kebutuhan Mei, akhirnya Mei kini tinggal bersama keluarga suaminya.
“Orang tua saya petani, dan penghasilan mereka tidak cukup untuk kami,” tutur Mei. Dia sekarang tidak sekolah dan mengerjakan pekerjaan dapur dan membantu memanen sawah.
“Saya tidak memikirkan masa depan saya,” pungkasnya.