Liputan6.com, Quito - Kelompok masyarakat adat Ekuador turun ke jalan untuk protes terhadap pemerintah atas kematian pada demonstrasi anti-kebijakan IMF pada Oktober 2019. Ada 11 orang yang tewas pada demonstrasi tersebut.
Rakyat Ekuador protes selama berhari-hari pada rencana pengetatan anggaran dari pemerintah sebagai bagian dari paket bantuan IMF. Pengetatan anggaran itu berdampak pada dipotongnya subsidi BBM.
Advertisement
Baca Juga
Kelompok-kelompok adat lantas turun ke jalan pada 12 Oktober 2020 untuk mengingat peristiwa tersebut dan meminta pihak yang bersalah bisa diseret ke meja hukum. Mereka menyalahkan pemerintah Ekuador.
"Pembunuh! Pembunuh!" teriak Katy Mochoa dan rombongannya ketika melewati gedung pemerintah. Wanita itu berasal dari warga masyarakat adat Kichwa dari Provinsi Napo, daerah Amazon.
"Banyak orang yang ditembak polisi (dengan gas air mata) secara langsung tanpa segan-segan, dan itu tak boleh kebal dari hukum," ujarnya seperti dilaporkan Mongabay, Rabu (21/10/2020).
Kelompok adat tersebut merupakan bagian terbesar yang ikut protes Ekuador tahun lalu. Mereka tak hanya protes kebijakan IMF, tetapi bertambahnya kegiatan ekstraksi minyak dan tambang di dekat daerah mereka.
Selama dua tahun terakhir, Presiden Ekuador Lenin Moreno mempromosikan Southeast Oil Round untuk melelang oil di hutan hujan Amazon. Warga pribumi Ekuador menentang aktivitas tersebut.
Confederation of Indigenous Nationalities of Ecuador (CONAIE) bersama asosiasi korban demo Inocencio Tucumbi meminta agar ada investigasi.
Pengacara mereka, Carlos Poveda, menyebut serangan ke para pendemo merupakan kejahatan kemanusiaan. Inocencio Tucumbi merupakan salah satu korban yang meninggal.
"Serangan-serangan ini datang dari negara, dari rantai komando," ujarnya. "Ini adalah kejahatan serius terhadap HAM internasional."
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Presiden dan Menteri Dianggap Bertanggung Jawab
Kubu pendemo meminta kepada Kejaksaan Agung agar memeriksa empat orang yang diduga memerintahkan dan mengizinkan kekerasan.
Empat orang itu yakni Presiden Lenin Morenin, Menteri Dalam Negeri Maria Paula Romo, komandan polisi Hernan Cariolla, dan State Comptroller General Pablo Celi.
Carlos Poveda menegaskan jika negara tidak mau menginvestigas, maka mereka siap membawa kasus ini ke ranah internasional.
Pemerintah Ekuador tidak merespons permintaan komentar dari Mongabay.
Protes pada bulan Oktober untuk memperingati pendemo yang tewas dinamakan Rebel October oleh kelompok masyarakat.
Advertisement
Masalah BBM dan Anggaran
Protes di Ekuador tahun lalu dimulai dari taman El Arbolito di Quito.
Ribuan orang ikut berdemo karena menolak kenaikan harga BBM. Protes akhirnya berakhir ketika pemerintah berjanji meneruskan subsidi dan mencari alternatif lain untuk mengurangi anggaran.
Presiden CONAIE Jaime Vargas berkata masalah harga BBM kembali mencuat sebab pemerintah memakai isu COVID-19 untuk menerapkan kebijakan pengetatan. Kegiatan ekstraktif di daerah masyarakat adat juga meluas.
Pemerintah disebut merangkul investasi-investasi internasional untuk pertambangan, sementara warga pribumi ditelantarkan saat pandemi.
Isu pertambangan merupakan ancaman bagi tanah suku pribumi di hutan hujan.
Katy Mochoa berkata pemerintah memiliki mentalitas ekstraktif.
"Kami sudah mengatakan ke pemerintah, 'tidak,' ada cara-cara lain, tetapi logika ekstraktif masih ada," ujar Mochoa yang berkata konsensi tambang dan minyak akan membawa lebih banyak konflik sosial.
"Kami akan terus berjuang sampai ada keadilan. Dan jika mereka tak mau merespons rakyat Ekuador, maka tidak akan ada kemerdekaan untuk pemerintah ini," ujar Jaime Vargas.