Liputan6.com, Jakarta - Artikel ini ditulis oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia Olivier Chambard, terbit dan dikutip dari laman resmi Kedutaan Besar Prancis di Jakarta pada 31 Oktober 2020, dengan judul asli: "Apa yang dimaksud oleh Presiden Macron sebenarnya".
Baca Juga
Advertisement
Olivier Chambard:
Serangan teroris yang terjadi di Conflans Sainte-Honorine pada tanggal 16 Oktober lalu, dimana seorang guru dipenggal kepalanya saat meninggalkan sekolahnya, yang disusul dengan serangan yang terjadi di kota Nice pada tanggal 29 Oktober, di gereja Basilika Notre-Dame de l’Assomption, yang menewaskan tiga orang, amat mengguncang Prancis.
Prancis mengalami serangan teroris yang bertubi-tubi di wilayahnya sejak beberapa tahun terakhir ini, seperti halnya di Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Republik Emmanuel Macron pun menyampaikan sebuah strategi yang bertujuan untuk mengisolasi dan memerangi terorisme yang mengambil bentuk Islamisme radikal (radikalisme).
Mengingat sejumlah pernyataan dan seruan untuk memboikot produk Prancis yang marak, di beberapa hari terakhir ini, merupakan kewajiban saya untuk menyanggah pemahaman yang salah atau bias terhadap pidato Presiden Emmanuel Macron tersebut. Saya akan membahas poin-poin utama strateginya, tetapi di atas semua itu, saya mengajak semua orang untuk membaca pidato tersebut agar dapat membangun opini mereka sendiri.
Islamisme radikal-lah yang dilawan
Presiden Republik Prancis dengan jelas telah menetapkan sasaran dari strategi tersebut: sebuah ideologi, yaitu Islamisme radikal. Semua negara demokrasi dan hampir semua negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) memerangi Islamisme radikal ini, yang sering menjadi inkubator terorisme. Ini terjadi di Prancis selama beberapa tahun terakhir, seperti juga di Indonesia.
Penegasan kembali 'laïcité' (sekularisme Prancis) sebagai jaminan kebebasan hati nurani (untuk percaya atau tidak percaya pada Tuhan) dan kebebasan beragama
Presiden Republik Prancis mengingatkan pentingnya laïcité, perekat Republik Prancis, yang merupakan landasan kebebasan beragama, yang memungkinkan setiap komunitas beragama untuk menjalankan ibadah, dan menjaga netralitas Negara terhadap semua agama.
Laïcité adalah salah satu azas Republik Prancis seperti halnya "Pancasila" yang menjadi salah satu azas Republik Indonesia. Laïcité sama sekali bukan berarti penghapusan agama di ruang publik.
Simak video pilihan berikut:
Penolakan terhadap penyamarataan yang dinyatakan dengan jelas
Presiden dengan jelas menyampaikan bahwa dia tidak akan mentolerir penyamarataan apapun: Ada perbedaan nyata antara mayoritas warga Muslim Prancis yang damai dan moderat, dengan kelompok minoritas militan yang bersifat separatis yang mengabaikan hukum dan memusuhi nilai-nilai Republik Prancis.
Golongan terakhir inilah yang merupakan penyakit bagi mayoritas Muslim Prancis. Saya ingin mengatakannya lagi dengan jelas: korban pertama dari Islamisme radikal itu adalah umat Muslim sendiri.
Advertisement
Dukungan dari Dewan Peribadatan Muslim Prancis (CFCM)
Dewan Peribadatan Muslim Prancis (CFCM), yang merupakan instansi resmi perwakilan umat Islam di Prancis dan mitra utama pemerintah, menyatakan, "Nilai-nilai yang mendasari (...) Republik kita yang sekuler, tak terpecah-belah, demokratis dan sosial, dengan moto tritunggalnya, "Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan" ini memungkinkan kita, umat Muslim Prancis, seperti halnya semua warga negara Prancis lainnya, untuk menjalankan ibadah dengan bebas atau untuk tidak menjalankan ibadah sama sekali, untuk membangun masjid dan menikmati hak-hak kita sepenuhnya."
Akhirnya, CFCM mengatakan "Tidak! Kami kaum Muslim tidak dianiaya di Prancis. Kami adalah warga negara penuh di negara kami. Seperti semua warga negara kami lainnya, kami memiliki hak yang dijamin dan kewajiban untuk dijalankan."
Pembelaan terhadap kebebasan berpendapat
Prancis membela kebebasan fundamental, termasuk kebebasan berpendapat dan kebebasan beragama atau berkeyakinan, bagi semua orang, apa pun agama yang dianut. Ini berlaku bagi warga Prancis yang beragama Islam, seperti juga bagi semua warga Prancis lainnya.
Faktanya, banyak warga Muslim Prancis yang menunjukkan solidaritas mereka terhadap kartunis yang terbunuh, meskipun mereka tidak mendukung kebijakan Charlie Hebdo untuk menerbitkan karikatur. Namun, membela kebebasan berekspresi di Prancis tidak berarti bahwa segala sesuatu mungkin terjadi : hukum hadir untuk melindungi setiap warga negara.
Menurut hukum di Prancis, ada perbedaan jelas antara ruang yang diberikan untuk memperdebatkan dan mempertanyakan semua sistem pemikiran, agama atau kepercayaan, yang mencakup kebebasan untuk mengkritik, termasuk melalui humor, di satu sisi, dan hasutan kebencian agama, di sisi lain. Yang terakhir ini yang diperangi menurut hukum yang berlaku.
Majalah Charlie Hebdo yang telah menerbitkan kartun selama 50 tahun, bersifat provokatif terhadap semua kekuatan dan institusi, pemertinah, politik, agama dan lain-lain, tanpa mendorong kekerasan atau kebencian. Majalah ini menerbitkan karikatur tentang berbagai keyakinan, serta tiga agama monoteistik, tidak hanya tentang Islam.
Beberapa karikatur, antara lain, menargetkan Paus dan agama Katolik. Charlie Hebdo telah berkali-kali dituntut ke pengadilan. Beberapa kali Charlie Hebdo divonis bersalah oleh pengadilan karena menargetkan individu atau kelompok masyarakat, tapi bukan karena mengolok-olok agama.
Saya berharap, beberapa poin yang dipaparkan di sini dapat membantu para pembaca untuk lebih memahami strategi Presiden Republik Prancis. Perang melawan terorisme merupakan masalah yang kompleks dan global, yang hanya dapat dilawan melalui kerja jangka panjang, dan membutuhkan peningkatan kerja sama. S
ebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa posisi Prancis selama ini adalah melindungi kebebasan fundamental, menolak kebencian, dan memerangi terorisme, seperti halnya di Indonesia yang merupakan mitra strategisnya.
Advertisement