Joe Biden: Diplomasi Menjadi Inti dari Kebijakan Luar Negeri AS

Joe Biden berpendapat diplomasi haruslah menjadi inti dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

oleh Liputan6.com diperbarui 05 Feb 2021, 14:58 WIB
Diterbitkan 05 Feb 2021, 14:58 WIB
Presiden AS Joe Biden menyampaikan pidato tentang kesetaraan rasial di Ruang Makan Negara Gedung Putih pada 26 Januari 2021, di Washington.
Presiden AS Joe Biden menyampaikan pidato tentang kesetaraan rasial di Ruang Makan Negara Gedung Putih pada 26 Januari 2021, di Washington. (Foto: AP / Evan Vucci)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Joe Biden menekankan akan melibatkan kembali AS dalam urusan global. Hal ini ia sampaikan dalam pidato kebijakan luar negeri yang pertama.

Dia juga ingin mengakhiri semboyan mantan Presiden Trump "America First" yang akibatnya sering menyebabkan Donald Trump terlibat perselisihan dengan sekutu-sekutu AS.

Sementara, Joe Biden ingin menunjukkan sikap bersahabat dengan pemimpin yang otoriter, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (5/2/2021).

Biden berjanji untuk memperbaiki hubungan dengan sekutu-sekutu Amerika, katanya hubungan itu "terbengkalai selama empat tahun akibat tidak diperhatikan dan dilecehkan" di bawah pemerintahan Donald Trump.

Joe Biden berpendapat diplomasi haruslah menjadi inti dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat.

 

Simak video pilihan di bawah ini:

Perpanjang Aturan Kepemilikian Senjata Nuklir

Hari Pertama Joe Biden Jadi Presiden AS
Presiden Joe Biden saat berada pertamanya di Ruang Oval, Gedung Putih di Washington, Rabu (20/1/2021). Pada hari pertamanya menjabat, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandatangani sejumlah tindakan eksekutif di Gedung Putih. (AP Photo/Evan Vucci)

Sebelumnya, Amerika Serikat dan Rusia, Rabu (3/2), memperpanjang perjanjian terakhir sejenis yang ada diantara kedua negara yang membatasi cadangan senjata nuklir mereka, dua hari sebelum perjanjian sebelumnya berakhir.

Departemen Luar Negeri mengatakan Amerika akan menggunakan perpanjangan perjanjian START yang baru itu untuk memastikan pembatasan seluruh senjata nuklir Rusia. Perpanjangan berlaku untuk lima tahun.

Perjanjian ini disepakati setelah pemerintah Trump menarik diri dari dua perjanjian serupa, yang merupakan bagian dari pengunduran Amerika dari perjanjian-perjanjian internasional.

START adalah singkatan dari Strategic Arms Reduction Treaty atau Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis. Perjanjian yang ditandatangani pada 2010 merupakan landasan pengendalian senjata di dunia. Perjanjian ini membatasi jumlah hulu ledak nuklir yang ditempatkan oleh Amerika dan Rusia, yaitu masing-masing 1.550 hulu ledak. Demikian pula jumlah rudal di darat dan di kapal selam, serta pesawat-pesawat pembom.

Kedua negara pekan lalu mengumumkan rencana memperpanjang perjanjian itu, meskipun pemerintah Biden telah meningkatkan kecaman terhadap Rusia terkait pemenjaraan pemimpin kelompok oposisi Alexei Navalny, keterlibatan negara itu dalam peretasan masif badan-badan Amerika dan isu-isu lain.

START, yang ditandatangani oleh Presiden Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev, membatasi jumlah hulu ledak nuklir strategis kedua negara.

Pemerintah Trump, ketika masa jabatannya hampir habis, sempat menawarkan untuk memperpanjang perjanjian itu; tetapi syarat-syarat yang diajukannya ditolak Rusia.

Perjanjian ini habis masa berlakunya pada Jumat ini (5/2). Kedua majelis di parlemen Rusia dengan suara bulan memutuskan untuk memperpanjang perjanjian itu bulan lalu, dan Presiden Vladimir Putin menandatangani RUU itu.

Perjanjian ini disepakati setelah Presiden Joe Biden dan Presiden Vladimir Putin melangsungkan pembicaraan melalui telepon dan sepakat untuk memperpanjang perjanjian tersebut. Langkah itu adalah bagian dari putaran cepat diplomasi pemerintahan Biden yang usianya kurang dari sebulan, agar perjanjian itu dapat terus berlaku.

Perpanjang perjanjian itu tidak membutuhkan persetujuan Kongres Amerika.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya