Liputan6.com, Jakarta Sebuah rapat politik yang dihadiri oleh sejumlah perempuan dengan politisi di Jepang baru-baru ini menjadi sorotan setelah mereka tidak diizinkan untuk bicara selama pertemuan.
Peristiwa itu menyoroti persoalan ketimpangan gender dan seksisme dalam lingkungan politik Jepang --isu yang kemudian memaksa salah satu mantan perdana menteri di Jepang, Yoshiro Mori, mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua komite penyelenggara Olimpiade Tokyo.
Rapat politik itu semula dilakukan sebagai langkah yang dirancang untuk menunjukkan bahwa partai yang berkuasa di Jepang berkomitmen pada kesetaraan gender. Namun, rencana itu justru menjadi bumerang.
Advertisement
Saksikan Juga Video Berikut Ini:
Pro Kontra Diadakannya Pertemuan
Saatnya telah tiba untuk memberi anggota perempuan dari partai Demokrat Liberal (LDP) lebih menonjol pada pertemuan-pertemuan kunci, sekretaris jenderal partai, Toshihiro Nikai, mengatakan minggu ini. Hal itu dilakukan hari setelah eks PM Mori mengundurkan diri sebagai ketua komite Olimpiade Tokyo 2020, menyusul komentarnya yang mencuat, yang mengatakan bahwa pertemuan yang dihadiri oleh para "perempuan cerewet" cenderung berlarut-larut.
Tetapi upaya Nikai untuk mengatasi kesenjangan gender yang menganga di partainya dengan cepat menjadi bumerang, ketika menjadi jelas bahwa kelompok kecil perempuan yang diharapkan untuk menghadiri pertemuan hanya dipersilakan datang, namun suara mereka tidak didengar.
LDP, yang telah memerintah Jepang hampir tidak tertandingi sejak 1955, telah mengusulkan agar kelompok perempuan dapat menghadiri pertemuan dengan 12 anggota dewan. Dewan itu terdiri dari 10 laki-laki dan dua peserta perempuan --namun dengan syarat, para kaum hawa hanya diperbolehkan menjadi pengamat yang diam.
Proposal itu diejek di media sosial dan oleh anggota parlemen oposisi, "Chauvinisme pria dan diskriminasi terhadap wanita selalu menjadi bagian dari LDP," tulis seorang pengguna Twitter.
Nikai, pemimpin faksi yang kuat yang mendukung Yoshihide Suga menjadi perdana menteri musim gugur lalu, membela proposal tersebut, di mana pengamat wanita akan diizinkan untuk mengirimkan pandangan mereka ke sekretariat dewan sebagai pengganti berbicara.
"Penting untuk memahami sepenuhnya jenis diskusi apa yang terjadi," kata Nikai, 82 tahun, kepada wartawan.
Advertisement
Kesetaraan Gender di Jepang Masih Rendah
Nikai dilaporkan mengajukan proposal tersebut sehari setelah Tomomi Inada, mantan menteri pertahanan yang berkampanye untuk menaikkan status anggota parlemen perempuan, menyarankan agar perempuan diizinkan menghadiri pertemuan penting partai.
Tahun lalu, Inada menyebut Jepang sebagai demokrasi tanpa wanita setelah Suga hanya menunjuk dua wanita ke kabinetnya.
"Wanita merupakan setengah dari populasi Jepang dan 40% dari keanggotaan akar rumput LDP," katanya.
"Jika perempuan tidak memiliki tempat untuk membahas kebijakan yang mereka ingin berlakukan, demokrasi Jepang tidak dapat membantu tetapi menjadi bias.”
Masalah gender di Jepang tercermin dalam komposisi majelis rendah parlemen, di mana hanya 9,9% anggota parlemen adalah perempuan, jauh di bawah rata-rata internasional sebesar 25,1%, menurut Inter-Parliamentary Union, organisasi global parlemen nasional.
Selain itu, peringkat global Jepang untuk kesetaraan gender menempatkannya pada peringkat 121 dari 153 negara dalam laporan Forum Ekonomi Dunia 2020, 11 peringkat lebih rendah dari tahun sebelumnya dan kesenjangan terbesar di antara negara-negara maju.
Reporter: Veronica Gita
Infografis Menurun, Kasus Aktif Covid-19 di Indonesia
Advertisement