Taliban Tak Bayar Listrik, Afghanistan Kembali ke Abad Kegelapan

Ibu kota Afghanistan, Kabul menghadapi pemadaman listrik lantaran Taliban berhenti membayar ke perusahaan asing yang menghasilkan sebagian besar listrik di Afghanistan

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Okt 2021, 12:36 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2021, 11:27 WIB
FOTO: Taliban Duduki Istana Kepresidenan Afghanistan
Pejuang Taliban menguasai Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul, Afghanistan, Minggu (15/8/2021). Taliban menduduki Istana Kepresidenan Afghanistan dengan puluhan anggota bersenjatanya. (AP Photo/Zabi Karimi)

Liputan6.com, Kabul - Ibu kota Afghanistan, Kabul, menghadapi  pemadaman listrik, lapor The Wall Street Journal.

Kantor berita tersebut mengatakan pasokan listrik kota tersebut beresiko karena pemerintah Taliban berhenti membayar perusahaan asing yang memasok sebagian besar listrik.

"Konsekuensinya akan berlaku di seluruh negeri, tetapi terutama di Kabul," ujar Daud Noorzai, mantan kepala eksekutif perusahaan listrik Afghanistan.

"Akan ada pemadaman dan hal tersebut akan membawa Afghanistan kembali ke Abad Kegelapan dalam hal kekuasaan dan telekomunikasi," katanya.

Dilansir dari laman Business Insider, Rabu (6/10/2021), sekitar 70% pasokan listrik Afghanistan berasal dari luar negeri, menurut think tank Caspian Policy Center yang berbasis di DC.

Pasokan modal hampir seluruhnya berasal dari luar negeri, WSJ melaporkan.

Ketika Taliban menguasai Afghanistan pada Agustus, mereka mengambil ahli DABS – dan mewarisi utangnya.

DABS membutuhkan sekitar $US90 juta atau sekitar 1,3 triliun rupiah untuk mengatasi kewajibannya, ujar Safiullah Ahmadzai pada WSJ. Hal ini termasuk utang pada pemasok listrik negara tetangga, Turkmenistan, Tajikistan dan Uzbekistan.

Seorang anggota Taliban menggantikan Ahmadzai sebagai CEO DABS pada hari Minggu, lapor kantor berita tersebut.

Pada tahun 2020, DABS membayar hingga $US280 juta atau setara dengan 4 triliun rupiah per tahun untuk daya impor, menurut outlet berita Afghanistan TOLO News.

Namun, sejauh ini Taliban tidak mengizinkan DABS menggunakan $40 juta atau setara dengan  569 miliar rupiah dalam rekeningnya untuk melunasi krediturnya, ujar Ahmadzai mengatakan kepada WSJ.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Telah Lama Bermasalah dengan Pasokan Listrik

Denyut Ekonomi Afghanistan usai Berkuasanya Taliban
Pedagang penukaran uang Afghanistan menunggu pelanggan di halaman pasar pertukaran mata uang Sarai Shahzada, menyusul pembukaan kembali bank dan pasar setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di Kabul, pada Sabtu (4/9/2021). (AP Photo/Wali Sabawoon)

“Negara-negara tetangga kami sekarang memiliki hak untuk memutus aliran listrik kami, berdasarkan kontrak," kata Ahmadzai.

Pemasukan uang pemerintah Afghanistan telah melambat, sehingga mempersulit untuk membayar tagihan DABS mereka.

Afghanistan telah lama bermasalah dengan pasokan listrik, dengan penduduk di Kabul yang mengeluh pada bulan Juni tentang tagihan listrik yang tinggi dan hanya memiliki jam layanan terbatas setiap hari.

Dengan Taliban yang saat ini mengambil kendali penuh di Afghanistan, pasokan listrik sementara meningkat, menurut WSJ.

Kelompok militan Taliban telah menghentikan serangannya terhadap jaringan listrik. Sebuah selang dalam aktivitas industri dan pemerintahan telah melihat aliran pasokan menuju pengguna perumahan.

Namun, jika para pemasok listrik Afghanistan memutus aliran listrik, negara tersebut dapat menghadapi krisis pada musim dingin, ujar Noorzai.

Hal ini merupakan resiko khusus dengan Tajikistan, di mana penguasa Emomali Rahmon melindungi Presiden terguling Afghanistan, Ashraf Ghani, dan yang mengatakan dia menolak pemerintahan Taliban, menurut The Diplomat.

 

Reporter: Ielyfia Prasetio

Lanjutkan Membaca ↓

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya