Liputan6.com, Juba - Lebih dari 60 tentara tewas dalam dua hari kerusuhan di ibu kota Sudan Selatan, Juba, pada 17 Desember 2013. Kekerasan sipil itu pecah sehari setelah pemerintah mengatakan telah menggagalkan percobaan kudeta.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan hingga 13.000 orang mencari perlindungan di kompleksnya, dikutip dari BBC News, Rabu (14/12/2022).
Presiden Salva Kiir menyalahkan kerusuhan pada tentara yang setia kepada mantan wakilnya Riek Machar, yang dipecat pada bulan Juli bersama dengan seluruh kabinet. Pemerintah mengatakan 10 orang telah ditangkap sehubungan dengan kekerasan tersebut, termasuk mantan Menteri Keuangan Kosti Manise.
Advertisement
Lima tokoh terkemuka Sudan Selatan lainnya juga diinterogasi, termasuk Machar dan Pagan Amum, kepala negosiator selama penutupan minyak saat itu dan seorang pengkritik terkenal Presiden Kiir. Menteri Penerangan Micheal Makuei mengatakan, Machar telah melarikan diri dari Juba dengan beberapa pasukan, dan mencuri beberapa ternak.
Sebelum itu, Machar sempat mengatakan bahwa dia berencana mengikuti pemilihan presiden 2015, tetapi kemudia dia mengarah ke faksi pembangkang di dalam SPLM.
Menurut Presiden Kiir bentrokan dimulai ketika personel berseragam melepaskan tembakan pada pertemuan partai yang berkuasa, Sudan People's Liberation Movement (SPLM), pada Minggu malam, 15 Desember 2013.
Kekerasan berlanjut hingga Senin, sampai pemerintah mengatakan telah kembali memegang kendali penuh. Namun, baku tembak justru meletus di dekat istana presiden dan banyak daerah lain di Juba.
Puluhan Tentara Tewas
Ajak Bullen, seorang dokter di rumah sakit militer, mengatakan sedikitnya 66 tentara tewas dalam bentrokan itu.
"Sejauh ini, kami telah kehilangan tujuh tentara yang tewas saat mereka menunggu perawatan medis dan 59 lainnya tewas di luar," katanya kepada media setempat.
"Mereka ada di kamar mayat dan kami mengatur penguburan massal," katanya kepada radio setempat.
Rumah sakit lain, Juba Teaching Hospital, sebelumnya melaporkan 26 kematian -- dan tidak jelas apakah ada tumpang tindih antara angka tersebut.
Kendati demikian, saat itu pemerintah hanya mengkonfirmasi 26 orang tewas.
Juga tidak jelas apakah mereka yang tewas berjuang untuk atau melawan presiden.
Setelah itu, Pemerintah mengatakan jam malam diberlakukan.
Â
Advertisement
Negara Kaya Minyak yang Terbagi secara Etnis dan Politik
Sekretaris Jenderal PBB kala itu, Ban Ki-Moon meminta Presiden Kiir untuk membuat "tawaran dialog" kepada lawan-lawannya untuk mengakhiri pertempuran, kata seorang juru bicara PBB kepada wartawan.
Dalam sebuah pernyataan, Ban meminta pemerintah untuk menahan diri dalam mengelola situasi.
Hingga 13.000 orang telah melarikan diri ke kompleks PBB di Juba untuk menghindari bentrokan, kata Ban.
Di hari-hari itu, Bandara Juba ditutup dan koneksi telepon sangat dibatasi.
Emma Jane Drew, penjabat direktur badan bantuan Oxfam cabang Sudan Selatan, mengatakan dia dan timnya tidak dapat meninggalkan kompleks mereka di Juba karena "penembakan yang berlanjut".
PBB dan kedutaan AS menyarankan warganya untuk tinggal di rumah. Keduanya membantah desas-desus bahwa mereka menyembunyikan tokoh politik atau militer.
Sudan Selatan -- negara muda dan salah satu yang paling tidak berkembang -- telah berjuang untuk mencapai pemerintahan yang stabil sejak merdeka dari Sudan pada 2011.
Referendum kemerdekaan dimaksudkan untuk mengakhiri konflik selama satu dekade, yang dipimpin oleh SPLM, melawan utara.
Namun, negara kaya minyak itu tetap terbagi secara etnis dan politik dengan banyak kelompok bersenjata yang aktif.
Perang di Ethiopia Picu Warga Kenya dan Sudan Selatan Ketakutan
Hampir satu dekade berlalu, kondisi Sudan tidak jauh berbeda. Awal Oktober 2021, Pemerintah Kenya mengumumkan pengetatan keamanan di perbatasan utara sepanjang 800 kilometer dengan Ethiopia.
Pihak kepolisian juga memasang blokade jalan tambahan sebagai upaya memantau pergerakan orang asing dan senjata api yang mungkin memasuki Kenya secara ilegal, DW Indonesia, Selasa (10/11/2021).
Masyarakat lokal dan pemerintah khawatir akan masuknya pengungsi Ethiopia yang mencoba keluar dari negara itu karena perang yang berkecamuk di wilayah Tigray utara dan meluas ke wilayah lain di Ethiopia. Kelompok Tigrayan dan sekutu mereka juga dilaporkan semakin dekat ke ibu kota Addis Ababa.
Kenya utara sudah menjadi rumah bagi kamp-kamp pengungsi yakni kamp Kakuma di barat laut dan Dadaab di timur laut. Kamp tersebut adalah salah satu pemukiman pengungsi terbesar di dunia.
Selama beberapa tahun terakhir, para pejabat Kenya berusaha keras agar kamp-kamp itu benar-benar ditutup pada pertengahan 2022 mendatang — sebuah rencana yang dapat dibatalkan oleh para pengungsi baru dari Ethiopia.
Layanan kepolisian Kenya pun telah memperingatkan warga untuk melaporkan kasus orang tidak berdokumen dan imigran yang tidak diproses di negara itu.
Â
Penulis: Safinatun Nikmah
Advertisement