Jakarta - Isu d Laut China Selatan (LCS) masih menjadi duri di kawasan Asia Tenggara karena China yang mengklaim area yang luas secara sepihak. Keadaan di Laut China Selatan (LCS) dikhawatirkan makin panas pada tahun 2023 karena pulau buatan China.
Berdasarkan laporan ABC Indonesia, Jumat (3/2/2023), ketegangan di LCS diperkirakan meningkat tahun ini, karena China terus melanjutkan pembangunan pulau buatan dan operasi militer, hingga ada peringatan kawasan ini akan "dipenuhi dengan kapal-kapal China".
Advertisement
Baca Juga
Di sisi lain, Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, bertekad mempertahankan kehadiran mereka di sana, mempertaruhkan proyek minyak dan gas, potensi perikanan, sumber daya dasar laut, serta rute perdagangan di kawasan tersebut.
Berikut ini penjelasan apa saja yang sudah terjadi di Laut China Selatan, serta prediksinya di tahun ini.
Mengapa sampai diperebutkan?
LCS memiliki kepentingan komersial dan strategis yang sangat penting bagi Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Taiwan, dan Brunei.
Tapi hampir seluruh wilayah ini telah diklaim secara sepihak oleh China, sehingga mengancam potensi perikanan, minyak dan gas yang ingin dimanfaatkan negara-negara lain.
LCS dengan luas 3,3 juta kilometer persegi ini menjadi wilayah yang paling banyak diperebutkan di dunia, menurut Profesor John Blaxland dari Universitas Nasional Australia (ANU).
Hal senada disampaikan oleh Dr Bec Strating, Direktur Kajian Asia di La Trobe University
"Sebenarnya hal utama yang mendorong perselisihan ini adalah kebutuhan tiap negara yang terlibat untuk mengakses sumber daya LCS," katanya kepada ABC News.
Perjanjian internasional telah dilakukan untuk menetapkan batas-batas klaim, serta memberikan gambaran yang lebih jelas tentang negara mana yang memiliki hak atas wilayah tertentu.
Namun, China telah mengabaikan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1982 tentang Hukum Laut.
China menegaskan hak teritorialnya di LCS, yang mereka sebut sebagai "sembilan garis putus-putus" berbentuk U, yang tidak jelas.
Klaim ini dibuat tahun 1947, dan sejak itu China menggunakan berbagai argumen hukum, sampai hadir di wilayah tersebut untuk mendukung klaimnya.
Dr Strating menyebut "sembilan garis putus-putus" sengaja dibuat tidak jelas oleh China, sehingga membuatnya sulit untuk menafsirkan apa yang diklaim China dan apakah klaim tersebut memiliki dasar hukum internasional atau tidak.
"Pembenaran quasi-legal adalah bentuk hukum, dan dirancang untuk membingungkan orang tentang argumen mana yang sah menurut hukum," jelasnya.
Wilayah yang diklaim oleh China mencakup sebagian besar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Vietnam dan tumpang tindih dengan ZEE Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Taiwan.
Ini juga termasuk Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly, atau titik-titik penting di wilayah yang semakin termiliterisasi ini.
"Sembilan garis putus-putus di LCS memberi China, dalam pandangan mereka, legitimasi untuk mengklaim sumber daya dasar laut dan stok perikanan di LCS," kata Profesor Blaxland.
Sebagian besar negara mengakui ZEE satu sama lain, yang membentang hingga 200 mil laut dari garis pantai.
Tapi klaim China lebih dari persoalan kekayaan alam di perairan tersebut, yang juga dilalui oleh sepertiga pengiriman barang dunia dengan nilai $4,84 triliun setiap tahun.
"China telah membangun Angkatan Laut, penjaga pantai, milisi maritim, dan armada penangkap ikan bersenjata untuk menegaskan klaimnya. Ini didukung oleh pembangunan pulau-pulau buatan sebagai pangkalan militer yang mengintimidasi negara tetangga untuk mundur," jelas Profesor Blaxland.China mencoba mencaplok seluruh wilayah LCS secara efektif sebagai perairan teritorialnya, menurut Malcolm Davis dari Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI).
"Mereka membangun pulau-pulau buatan ini dan kemudian mengklaimnya sebagai wilayah daratan China, menempatkan pangkalan militernya di terumbu karang dan pulau bebatuan itu," katanya.
Terlepas dari hal itu, negara-negara lain pun terus menjalankan proyek di LCS, termasuk Indonesia yang mengumumkan proyek blok migas baru di wilayah perairan yang dianggap China sebagai miliknya.
Proyek Migas di Indonesia
Pemerintah Indonesia mengumumkan proyek migas lepas pantai senilai 3 miliar dolar AS di dekat Kepulauan Natuna, yang berada di atas salah satu ladang gas terbesar di dunia yang terletak di perairan antara Indonesia, Malaysia, dan Vietnam.
"Akan ada aktivitas di kawasan perbatasan yang merupakan salah satu titik panas geopolitik dunia," ujar Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto.
Disebutkan, TNI Angkatan Laut akan ikut mengamankan proyek ini sehingga secara ekonomi dan politik menjadi penegasan kedaulatan Indonesia.
Menurut Profesor Blaxland, meski Kepulauan Natuna berada di ZEE Indonesia, itu sulit untuk mewujudkan proyek ini di area tersebut.
"Karena China gigih meningkatkan kehadiran kapal-kapalnya yang digunakan untuk intervensi dan penegasan klaimnya,” katanya.
Pada pertengahan Januari 2023, Indonesia mengerahkan kapal perang ke Laut Natuna Utara untuk memantau kapal penjaga pantai China yang ternyata telah aktif di wilayah itu.
Seperti apa Pemerintah Indonesia akan menanggapi setiap langkah China selanjutnya, bergantung pada situasi politik dalam negeri, apa langkah dari Presiden Joko Widodo, serta siapa yang menggantikannya ketika jabatannya berakhir tahun depan.
"Ada faktor pendukung dan penghambat dalam pendekatan Indonesia yang lebih tegas di LCS, karena Pemerintah Indonesia berkepentingan menarik investasi China yang lebih besar," jelas Profesor Blaxland.Menurut Dr Strating, China dan Indonesia telah bekerja sama dalam berbagai proyek infrastruktur, tapi tidak mudah untuk bersama-sama mengembangkan ladang gas Pulau Natuna.
"Bagi Indonesia, narasinya tentang wilayah maritim yang diklaimnya di Laut China Selatan benar-benar terkait dengan kedaulatan negara, sangat terkait dengan identitas nasionalnya," kata Dr Strating kepada ABC.
"Mereka tidak ingin melihat haknya terkikis melalui semacam skema pembangunan bersama dengan China di wilayah tertentu," tambahnya.
Menurut Dr Davis, insiden antara armada penangkap ikan China yang bersenjata dan kapal Angkatan Laut Indonesia pernah terjadi, karena Indonesia berusaha mencegah penangkapan ikan ilegal di perairannya.
"Ada kekhawatiran [dari pihak Indonesia] jika China diizinkan menguasai Kepulauan Spratly di LCS, maka langkah selanjutnya adalah memperluas kontrol itu ke arah selatan menuju Pulau Natuna dan pada dasarnya akan merebut Natuna dari Indonesia,” katanya.
Advertisement
Pulau-pulau Buatan Milik Vietnam
Di sisi lain, China dan Vietnam terus memperluas langkah mereka di LCS, menggunakan peralatan pengerukan tanah untuk membangun pulau-pulau buatan.
Dalam enam bulan terakhir, Vietnam sudah mengeruk dan memindahkan cukup banyak tempat pembuangan sampah untuk membuat sekitar 420 hektar lahan baru di pos-posnya di Kepulauan Spratly.
"Aktivitas pengerukan dan penimbunan sampah Vietnam pada tahun 2022 sangat penting untuk memperkuat kehadirannya di Spratly," kata laporan Prakarsa Transparansi Maritim Asia (AMTI) pada Desember 2022.
Namun dibandingkan dengan China, langkah Vietnam sangatlah kecil.
Menurut AMTI, dari 2013 hingga 2016, China telah membangun lebih dari 3.200 hektar lahan di kawasan LCS.
"China beroperasi 10 kali lebih besar daripada Vietnam dalam hal ekspansi," ujar Profesor Blaxland.
Dr Strating menambahkan, China menghabiskan delapan tahun terakhir membangun pulau dan terumbu karang menjadi daratan untuk tujuan militer.
"China ingin melindungi pantainya, melindungi daratannya, dengan menjadikan LCS sebagai penyangga," katanya.
Para pengamat menyebut pembangunan daratan Vietnam merupakan respons langsung terhadap aktivitas yang juga dilakukan China.
Filipina Makin Khawatir
Di bawah pemerintahan mantan presiden Rodrigo Duterte, Filipina ingin menjaga hubungan ekonomi yang erat dan nyaman dengan China.
Negara ini berhasil menantang klain "sembilan garis putus-putus" China di Pengadilan Den Haag, yang pada tahun 2016 memutuskan China tidak memiliki "hak bersejarah" atas wilayah perairan itu.
Tapi Filipina tidak pernah mengeksekusi putusan pengadilan tersebut sampai sekarang.
Para pengamat menyebut siatuasinya akan berbeda lagi di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr.
Kamis kemarin, Filipina mengumumkan telah memberi Amerika Serikat lebih banyak akses ke pangkalan militernya karena meningkatnya kekhawatiran atas langkah China di LCS.
"Manila kini kurang akomodatif terhadap Beijing dibandingkan di bawah pemerintahan Duterte," ujar Dr Davis.
"Karena China semakin agresif, lebih asertif, sehingga beberapa negara ASEAN pun mulai melawan," katanya.Dalam pertemuan dengan Presiden China Xi Jinping di Beijing bulan lalu, Presiden Marcos Jr menyatakan kesediaannya untuk menghidupkan kembali negosiasi yang gagal untuk eksplorasi migas bersama.
"Tapi negara-negara ini khawatir jika menempuh jalur kerja sama dengan China, hal itu akan mengikis hak-hak mereka di bawah hukum laut internasional," kata Dr Davis.
Ketegangan antara Beijing dan Manila atas LCS meningkat pada 2021 setelah Menlu Filipina meminta kapal-kapal China meninggalkan perairan yang disengketakan.
Hubungan semakin tegang dengan kehadiran ratusan kapal China di dalam ZEE Filipina.
Advertisement
Prediksi 2023
Menurut Dr Strating, ketegangan dan persaingan di Laut China Selatan dapat meningkat karena negara-negara terkait terus memperluas program militer dan energi di wilayah itu.
Ia memprediksi pasukan Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk Australia, untuk melanjutkan operasi militer di LCS.
Dr Strating mengatakan mungkin juga ada langkah terkait dengan perjanjian kode etik yang macet antara ASEAN dan China, yang telah berjalan selama sekitar dua dekade.
Profesor Blaxland memprediksi tidak akan ada perlambatan operasi China di LCS tahun ini.
"Mereka akan terus memenuhi Laut China Selatan dengan kapal-kapal China, sehingga semakin sulit bagi negara lainnya untuk menegaskan hak penangkapan ikan dan hak ekonomi lainnya," katanya.Sementara Dr Davis memprediksi akan terjadi persaingan dan ketegangan yang lebih besar, sehingga potensi insiden pun semakin tinggi.