Liputan6.com, Kyiv - Dua tahun lalu, tepat pada 24 Februari 2022, Rusia melancarkan invasinya terhadap Ukraina.
Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa ia bertujuan untuk melakukan demiliterisasi dan "de-Nazifikasi" Ukraina, sambil mengulangi tuduhannya yang tidak berdasar bahwa pasukan Ukraina melakukan "genosida" di wilayah pro-Rusia yang memisahkan diri di wilayah timur.
Baca Juga
Ia memperingatkan negara-negara Barat agar tidak memberikan bantuan kepada Ukraina dan mengancam akan menghadapi konsekuensi yang tidak terduga.
Advertisement
Dilansir France24, Sabtu (24/2/2024), ledakan pun terjadi di seluruh negeri, dari ibu kota Kyiv hingga pelabuhan Laut Hitam Odessa dan Kharkiv di perbatasan dengan Rusia.
Dalam beberapa jam, penjaga perbatasan Ukraina mengumumkan bahwa pasukan darat Rusia yang didukung tank dan alat berat lainnya telah menyeberang ke Ukraina dari utara, selatan dan timur.
Merespons hal tersebut, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memberlakukan darurat militer, mencegah laki-laki yang sudah cukup umur untuk meninggalkan negaranya.
Menanggapi serangan tersebut, dunia mengecam dengan sangat cepat.
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan bahwa "dunia akan meminta pertanggungjawaban Rusia". Ia pun menelepon Zelenskyy dan bersumpah akan memberikan "dukungan dan bantuan".
Ia juga bersumpah untuk mempertahankan wilayah NATO namun menyebut tidak akan mengirim pasukan ke Ukraina yang bukan anggota NATO.
Para pemimpin Uni Eropa (UE) menjatuhkan sanksi keras yang menargetkan sektor keuangan, energi, dan transportasi Rusia.
Kemlu AS: Kebrutalan Rezim Putin Semakin Menjadi-jadi
Dua tahun sejak invasi berlangsung, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa kebrutalan rezim Vladimir Putin semakin menjadi-jadi, dan dampaknya semakin terlihat di dalam maupun luar negeri.
"Minggu ini bertepatan dengan peringatan dua tahun sejak invasi skala penuh Rusia ke Ukraina, kebrutalan rezim Putin semakin terlihat jelas baik di dalam maupun di luar negeri," kata Juru Bicara Kemlu AS Matthew Miller, dalam sebuah pernyataan yang diterima Liputan6.com dari Kedubes AS di Jakarta, Rabu (21/2/2024).
"Kelemahan dan kebusukan yang ada di inti sistem yang dibangun oleh Putin tidak hanya dikonfirmasi oleh kematian Aleksey Navalny minggu lalu, tetapi juga oleh fakta bahwa akhir pekan lalu Rusia menahan hampir 400 orang hanya karena berkabung atas meninggalnya Navalny," kata Miller.
Advertisement
Sanksi AS ke Rusia
Sebelumnya, Presiden AS Joe Biden sudah mengumumkan paket sanksi penting pada Jumat kemarin untuk meminta pertanggungjawaban Rusia atas kematian Navalny di penjara, dan atas tindakannya selama perang kejam dan brutal yang mereka lakukan di Ukraina selama dua tahun terakhir.
"Kami juga memperbarui seruan kami kepada Kongres untuk meloloskan rancangan undang-undang mengenai pendanaan tambahan keamanan nasional yang memungkinkan Ukraina dan rakyatnya bertahan melawan invasi yang sedang berlangsung ini, dan juga untuk memajukan kepentingan keamanan nasional AS," kata Miller.
"Penting bagi Kongres untuk bertindak tanpa penundaan lebih lanjut."
Biden Sebut Putin Bertanggung Jawab atas Kematian Oposisi Rusia Alexei Navalny
Presiden Joe Biden mengatakan pada Jumat (16/2/2024) bahwa kematian aktivis Rusia Alexei Navalny membawa urgensi baru terhadap perlunya Kongres menyetujui pemberian bantuan bernilai puluhan miliar dolar kepada Ukraina untuk melawan invasi Rusia.
Berbicara di Gedung Putih, Biden menekankan apa pun penyebabnya, dia menganggap Presiden Rusia Vladimir Putin bertanggung jawab atas kematian Navalny.
"Saya harap ini (laporan kematian Navalny) bisa membantu mendorong anggota parlemen Amerika Serikat (AS) untuk mengirim lebih banyak bantuan ke Ukraina," ujar Biden, seperti dilansir AP.
Advertisement