Irak Sahkan UU yang Dikritik Dapat Melegalkan Pernikahan Anak

Pendukung menilai bahwa amandemen undang-undang ini sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 22 Jan 2025, 13:01 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2025, 13:01 WIB
Ilustrasi bendera Irak.
Ilustrasi bendera Irak. (Dok. Unsplash)... Selengkapnya

Liputan6.com, Baghdad - Parlemen Irak mengesahkan amandemen undang-undang (UU) status pribadi yang menurut para penentangnya akan secara efektif melegalkan pernikahan anak. Amandemen ini memberikan kekuasaan lebih besar kepada pengadilan Islam dalam menangani masalah keluarga, seperti pernikahan, perceraian, dan warisan.

Aktivis menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap Undang-undang Status Pribadi Irak tahun 1959, yang menyatukan hukum keluarga dan memberikan perlindungan bagi perempuan.

Saat ini, hukum Irak menetapkan usia minimum pernikahan adalah 18 tahun. Namun, amandemen yang disahkan pada Selasa (21/1/2025) memungkinkan ulama untuk memutuskan pernikahan berdasarkan penafsiran mereka terhadap hukum Islam, yang dalam beberapa interpretasi memungkinkan pernikahan dengan anak perempuan, bahkan yang masih berusia sembilan tahun, menurut mazhab Jaafari yang diikuti oleh banyak otoritas Syiah di Irak. Demikian seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (22/1).

Pendukung amandemen, yang sebagian besar berasal dari anggota parlemen Syiah konservatif, berpendapat bahwa perubahan ini diperlukan untuk menyelaraskan hukum dengan prinsip-prinsip Islam dan mengurangi pengaruh budaya Barat di Irak.

Intisar al-Mayali, seorang aktivis hak asasi manusia dan anggota Liga Perempuan Irak, mengatakan amandemen undang-undang status pribadi akan berdampak buruk terhadap hak-hak perempuan dan anak perempuan. Dia menilai perubahan ini memungkinkan pernikahan usia dini yang melanggar hak anak-anak untuk tumbuh dengan baik, serta mengancam perlindungan terhadap perempuan dalam perceraian, hak asuh, dan warisan.

Sesi pemungutan suara sendiri berakhir dalam kekacauan, dengan tuduhan adanya pelanggaran prosedur. Seorang pejabat parlemen yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan bahwa setengah dari anggota parlemen yang hadir tidak memberikan suara, sehingga melanggar kuorum hukum.

Beberapa anggota bahkan memprotes secara terbuka dan ada yang memanjat ke podium parlemen.

Setelah sesi tersebut, beberapa legislator mengeluhkan proses pemungutan suara yang menggabungkan tiga undang-undang kontroversial untuk diputuskan bersama.

Dua undang-undang lainnya yang disahkan adalah amnesti umum yang dipandang menguntungkan tahanan Sunni, serta memberikan kelonggaran kepada orang-orang yang terlibat dalam korupsi dan penggelapan, dan undang-undang restitusi tanah yang bertujuan menyelesaikan klaim teritorial oleh kelompok Kurdi.

"Kami sangat mendukung amandemen undang-undang status sipil ini dan tidak ada masalah dengan hal itu," kata Raed al-Maliki, seorang anggota parlemen independen. "Namun, penggabungan ini bisa menimbulkan masalah hukum di pengadilan federal."

Ketua parlemen Mahmoud al-Mashhadani memuji pengesahan ketiga undang-undang tersebut sebagai langkah penting untuk meningkatkan keadilan dan mengatur kehidupan sehari-hari warga negara.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya