Lautan Kian Menghangat, Ancaman Badai Dahsyat Mengintai

Seiring lautan menghangat karena pemanasan global, ancaman badai dahsyat bisa terjadi di berbagai belahan dunia.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 14 Jan 2019, 08:00 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2019, 08:00 WIB
Badai Michael
Pemanasan global, ancaman badai bisa terjadi. (NOAA via AP)

Liputan6.com, Jakarta Suhu air laut yang kian menghangat memicu badai terkuat dan cuaca ekstrem. Temuan peningkatan suhu air laut direkam oleh ribuan robot terapung. Robot mencatat rekor berulang kali selama dekade terakhir.

Laporan yang terekam pada robot adalah tahun 2018 diperkirakan akan menjadi tahun terpanas, menurut analisis Chinese Academy of Sciences. Hal itu mendorong naiknya permukaan laut.

Para ilmuwan memperingatkan, saat lautan menghangat, badai yang lebih hebat dan cuaca ekstrem lainnya dapat terjadi. Pemanasan global yang ditandai suhu air laut meningkat dipantau sejak 1960.

Hasil temuan seiring waktu, pemanasan air laut lebih cepat terjadi, menurut penelitian yang diterbitkan minggu ini di jurnal Science.

"Penyebab utama didorong oleh akumulasi gas rumah kaca, seperti karbon dioksida di atmosfer akibat aktivitas manusia," kata peneliti Lijing Cheng dari Chinese Academy of Sciences, dikutip dari Mail Online, Senin, 14 Januari 2019.

Meningkatnya laju suhu air di lautan termasuk tanda dari bertambahnya gas rumah kaca di atmosfer.

 

 

Butuh waktu 12 tahun

Ilustrasi dasar laut
Butuh waktu 12 tahun menuju energi terbarukan. (iStock)

Pada Oktober 2018, ilmuwan iklim terkemuka menyampaikan, dunia punya sekitar 12 tahun lagi untuk menuju sistem energi terbarukan yang lebih bersih. Strategi ini juga memperkuat risiko menghadapi beberapa dampak terburuk dari perubahan iklim.

Dampak buruk perubahan iklim berupa kekurangan air dan makanan, badai yang lebih kuat, gelombang panas, dan cuaca ekstrem lainnya. Naiknya permukaan air laut juga patut diwaspadai.

Selama 13 tahun terakhir, sistem pengamatan air laut yang disebut Argo digunakan untuk memantau perubahan suhu lautan, lanjut Cheng. Sistem ini menggunakan hampir 4.000 robot laut yang melayang-menyelam hingga kedalaman 2.000 meter setiap beberapa hari.

Robot bertugas merekam suhu air laut dan indikator lainnya saat melayang kembali ke permukaan.

Melalui data yang dikumpulkan, para ilmuwan mendokumentasikan peningkatan intensitas curah hujan dan badai yang lebih kuat seperti badai Harvey pada 2017 dan Florence pada 2018.

Sumber energi terjadinya badai

Badai Michael
Gambar satelit NOAA menunjukkan Badai Michael mendekati daratan Amerika Serikat, Rabu (10/10). Hantaman Badai Michael disebut sebagai salah satu yang paling dahsyat melanda wilayah barat laut negara bagian Florida, AS. (LIZABETH MENZIES/NOAA/RAMMB/AFP)

Cheng menjelaskan, lautan adalah sumber energi terjadinya badai. Badai selama periode 2050-2100 diperkirakan, secara statistik, akan lebih kuat daripada badai periode 1950-2000.

Lautan, sejauh ini menyerap lebih dari 90 persen energi matahari tambahan yang terperangkap karena meningkatnya emisi gas karbon. Tak ayal, lautan punya kapasitas panas yang besar.

Ini ditandai sebagai respons tertunda terhadap pemanasan global. Artinya, pemanasan air laut dapat menjadi lebih serius di masa depan.

Sebuah kesepakatan Paris menyatakan, untuk menekan pemanasan hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius atau lebih baik 1,5C. Jika ini berhasil, dampak buruk badai dan ancaman lain dapat berkurang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya