Liputan6.com, Jakarta Dampak pandemi COVID-19 juga berpengaruh besar pada sektor kesehatan lainnya, salah satunya terhadap pemeriksaan dan pendampingan pasien tuberkulosis.
Yayasan Pejuang Tangguh TB RO (Peta) Jakarta mengatakan bahwa mereka banyak menemui masalah terkait pendampingan pasien tuberkulosis di masa pandemi.
Baca Juga
"Kita tidak bisa interaksi langsung, yang notabene pendampingan itu harus melihat secara keseluruhan," kata Ully Ulwiyah, Ketua Yayasan Peta Jakarta dalam sebuah diskusi daring yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen Jakarta beberapa waktu lalu.
Advertisement
Ully mengungkapkan, pasien yang harusnya minum obat di rumah sakit dan bisa ditemui saat ini dibatasi.
"Bahkan si pasien sendiri menjadi takut secara berlebihan, takut datang ke layanan meskipun untuk kontrol yang memang wajib dilakukan pasien satu bulan sekali. Itu banyak pasien yang akhirnya takut," kata Ully pada Jumat (23/10/2020).
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Â
Â
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Kekhawatiran Pasien TB
Selain itu, mereka juga menemukan beberapa pasien yang seharusnya dirujuk untuk melakukan pemeriksaan terkait kemungkinan tuberkulosis multi-drug resistant (TB-MDR), namun terhalang oleh keluarga.
"Karena selain tes dahak dan rontgen, sekarang kan memang harus tes COVID-19 apapun alasannya. Jadi keluarga banyak yang trauma karena khawatirnya bukan kena TB malah kena COVID," kata Ully yang juga penyintas TB tersebut.
Layanan bagi TB-MDR pun ikut berkurang di masa pandemi. Ully mengatakan, banyak pelayanan kesehatan yang sebelumnya melayani TB-MDR menjadi layanan rujukan COVID-19.
"Ada juga kondisi yang sudah darurat sekali, yang harusnya dapat perawatan, karena memang keterbatasan tempat perawatan pasien MDR-nya karena COVID itu tadi, jadi tidak bisa untuk dirawat," kata Ully. "Bahkan ada juga pasien pendampingan kami yang meninggal karena lambat penanganannya."
Masalah ekonomi juga diungkapkan menjadi kendala yang banyak dialami pasien tuberkulosis, terkhusus pada mereka yang mengalami resisten obat.
"Dia harus berobat sekian lama dan seringkali dalam konteks ekonomi dia harus banyak mengeluarkan budget tersendiri dan pekerjaan ada yang keluar atau dikeluarkan, itu bagian dari efek-efek penderita TB," kata Senior Program Manager Stop TB Partnership Indonesia Lukman Hakim.
Lukman mengatakan bahwa memang angka temuan kasus tuberkulosis di masa pandemi cukup signifikan. Ini berarti banyak orang dengan TB yang tidak ditemukan dan tidak dapat diobati.
Advertisement