Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan studi laboratorium, dua vaksin COVID-19 buatan perusahaan farmasi China termasuk Sinopharm, memicu kekebalan terhadap varian baru virus Corona yang sangat mudah menular yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan (Afsel).
Namun, studi tersebut juga menunjukkan efek vaksin COVID-19 akan melemah.
Baca Juga
Varian virus tersebut telah menimbulkan kekhawatiran global, karena kemungkinan akan melemahkan efek vaksin yang dikembangkan sebelum kemunculannya.
Advertisement
Dua belas sampel serum masing-masing diambil dari penerima dua vaksin yang dikembangkan oleh anak perusahaan China National Pharmaceutical Group (Sinopharm) dan satu unit Produk Biologi Zhifei Chongqing, disebut mampu mempertahankan aktivitas penetralannya terhadap varian Afrika Selatan.
Makalah hasil penelitian kedua vaksin ini ditulis oleh para peneliti dari Beijing Institute of Biological Product yang berafiliasi dengan Sinopharm, Institute of Microbiology Chinese Academy of Sciences.
Dalam makalah tersebut, tertulis aktivitas sampel terhadap varian di Afrika Selatan lebih lemah ketimbang terhadap varian virus asli atau varian di negara lain.
Pengurangan aktivitas "harus diperhitungkan dampaknya bagi kemanjuran klinis vaksin ini," tulis para peneliti dalam makalahnya, seperti dikutip laman Channel News Asia (03/02/2021).
Simak Juga Video Berikut Ini
Disetujui Penggunaannya di China
Vaksin Sinopharm diketahui telah disetujui penggunaannya di China untuk masyarakat umum, dan juga digunakan di beberapa negara lain, seperti Uni Emirat Arab. Sementara vaksin Zhifei sedang dalam uji klinis tahap akhir di China dan luar negeri.
Sebelumnya, data uji klinis awal pada vaksin dari Novavax Inc dan Johnson & Johnson menunjukkan bahwa vaksinnya secara signifikan kurang efektif dalam mencegah COVID-19 pada peserta uji coba di Afrika Selatan, di mana varian baru yang kuat tersebar luas.
Para peneliti di Afrika Selatan sebelumnya juga telah melakukan penelitian terhadap varian ini, di mana antibodi alami yang terbentuk setelah terinfeksi COVID-19, dilaporkan kurang efektif untuk menangkal virus yang ditemukan akhir 2020 lalu.
(Penulis: Rizki Febianto)
Advertisement