HEADLINE: Prediksi Pandemi COVID-19 Jadi Endemi, Bagaimana Strategi ke Depan?

Perubahan status COVID-19 dari pandemi menjadi endemi tentunya sangat berpengaruh pada banyak hal. Pemerintah sepakat perlu dilakukan sejumlah persiapan guna menghadapi perubahan tersebut.

oleh Muhammad Radityo PriyasmoroDyah Puspita WisnuwardaniBenedikta DesideriaFitri Haryanti HarsonoAndina LibriantyMaulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 19 Agu 2021, 10:26 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2021, 00:01 WIB
Ilustrasi tulisan pandemi Covid-19 (pexels)
Ilustrasi tulisan pandemi Covid-19 (pexels)

Liputan6.com, Jakarta - Delapan belas bulan telah berlalu sejak COVID-19 yang disebabkan oleh virus Corona SARS-CoV-2 dinyatakan sebagai pandemi. Hingga kini, virus tersebut masih betah bercokol tak hanya di Bumi Pertiwi, melainkan juga nyaris di seluruh belahan dunia. Mungkinkah jadi endemi?

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa pandemi COVID-19 tak akan hilang dalam waktu singkat. Budi mengatakan, masyarakat mungkin akan tetap hidup bersama virus Corona SARS-CoV-2 dalam 5 hingga 10 tahun lagi.

"Pandemi ini tidak akan hilang dengan cepat. Mungkin akan menjadi epidemi. Dan, kita harus hidup dengan mereka 5 tahun atau 10 tahun lagi," kata Budi dalam konferensi pers Nota Keuangan yang disiarkan langsung di YouTube Kemenkeu pada 16 Agustus 2021. 

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyampaikan hal senada.

"Kita mungkin melihat di 2022 akan mengalami suatu masa di mana pandemi menjadi endemi," ucap Sri Mulyani, merujuk pada masukan berbagai ilmuwan.

Menurut Sri Mulyani, proyeksi tersebut sesuai dengan perkiraan dari berbagai ilmuwan dunia terkait situasi pandemi di masa depan. WHO pada 15 Juli 2021 juga telah mengungkapkan, terlepas dari berbagai upaya nasional dan global, pandemi COVID-19 belum usai.

"Ini yang harus kita siapkan, karena Bapak Presiden (Jokowi) bilang kita harus melakukan respons kebijakan berdasarkan data, fakta, dan tentu dari pandangan ilmuwan," tuturnya.

Pemerintah disebutnya juga tengah melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi endemi pada tahun depan. Salah satunya dalam penguatan program vaksinasi dan sistem kesehatan.

"Jadi menuju kebiasaan baru atau living with endemi, berarti vaksin tetap harus dan diakses seluas-luasnya, harus tetap disiplin kesehatan, implementasi tracing, tracing dan treatment, serta sistem kesehatan yang andal," imbuhnya.

Informasi serupa juga kembali disampaikan oleh Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Nasional Covid-19, Wiku Adisasmito. 

"Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 100 ahli imunologi, virologi dan peneliti penyakit menular, 89 persen di antaranya sepakat bahwa virus COVID-19 akan tetap hidup bersamaan dengan kita sebagai sebuah endemi, atau artinya virus ini tidak akan berakhir menghilang sepenuhnya," kata Wiku seperti dikutip dalam keterangannya, Rabu (18/8/2021).

Perubahan status COVID-19 tentunya sangat berpengaruh pada banyak hal. Pemerintah sepakat perlu dilakukan sejumlah persiapan guna menghadapi perubahan tersebut.

Kapan Pandemi COVID-19 Jadi Endemi?

Infografis Pandemi Covid-19 Diprediksi Jadi Endemi di 2022. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Pandemi Covid-19 Diprediksi Jadi Endemi di 2022. (Liputan6.com/Abdillah)

Ahli Epidemiologi dari Griffith University Australia, Dicky Budiman membenarkan bahwa COVID-19 jelas akan menjadi penyakit endemik. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

“Jelas, COVID-19 ini arahnya akan menjadi penyakit endemik. Artinya, penyakit ini akan selalu ada di sekitar manusia dan ini menjadi penting karena kita harus siap sistem kesehatannya,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Rabu, 18 Agustus 2021.

Dicky berpendapat, COVID-19 di Indonesia belum akan masuk pada status endemi pada 2022. "Jadi endeminya di 2022? Menurut saya belum. Status pandemi ini bahkan mungkin bisa berakhir paling cepat pertengahan tahun depan atau akhir tahun depan,” ujarnya.

Mengutip situs Universitas Airlangga, Endemi adalah penyakit yang muncul dan menjadi karakteristik di wilayah tertentu, misalnya penyakit malaria di Papua. Contoh penyakit lainnya di Indonesia yaitu Demam Berdarah Dengue (DBD). Penyakit ini akan selalu ada di daerah tersebut, namun dengan frekuensi atau jumlah kasus yang rendah.

Sementara itu, menurut situs yang sama, pengertian epidemi yakni ketika suatu penyakit telah menyebar dengan cepat ke wilayah atau negara tertentu dan mulai memengaruhi populasi penduduk di wilayah atau negara tersebut. Contoh penyakitnya ada Virus Ebola di Republik Demokratik Kongo (DRC) pada 2019, flu burung (H5N1) di Indonesia pada 2012, SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome) pada tahun 2003, penyakit Ebola di Negara Afrika. 

Lantas apakah pandemi COVID-19 di Indonesia diperkirakan menjadi endemi pada tahun depan? Menurut Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi, soal kapan menjadi endemi belum bisa dipastikan.

"Belum ada yang bisa memastikan, apakah COVID-19 ini akan dapat terkendali dan turun tingkat epidemiologinya ya," kata Nadia kepada Health Liputan6.com melalui pesan singkat, Rabu (18/8/2021).

Perjalanan dari Pandemi Menjadi Endemi

Dicky Budiman menjelaskan tentang perjalanan pandemi menjadi endemi. Menurutnya, tahapan penyakit yang kini sedang terjadi adalah pandemi. Artinya, penyakit tersebut menyebar di berbagai benua dan di banyak negara (trans nasional atau trans geografi).

“Yang biasanya bisa menyebabkan pandemi adalah penyakit baru karena manusia belum punya kekebalan dan imunitas untuk virus baru tersebut sehingga gampang sekali terinfeksi,” ujar Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara belum lama ini.

Selain baru, virus yang dapat menyebabkan pandemi juga biasanya memiliki angka reproduksi setidaknya 1,4 atau di atas 1.

“Ini (COVID-19) untuk pertama kalinya menurut saya satu pandemi yang ada varian dengan angka reproduksinya sampai 8, tinggi sekali. 100 tahun lalu pun tidak setinggi ini, berbahaya banget,” katanya. 

Dicky, menambahkan, status pandemi pada COVID-19 yang disebabkan virus Corona dapat dicabut jika sebagian negara atau benua sudah bisa mengendalikannya pada level yang disebut terkendali.

“Misalnya tes positivity rate-nya rata-rata sudah di bawah satu persen, angka kasus infeksinya satu per 10 juta atau satu per 1 juta, nah itu bisa dicabut,” katanya.

Namun, pencabutan status pandemi tidak akan langsung pada endemi melainkan epidemi terlebih dahulu.

“Karena akan ada sebagian negara atau sebagian kawasan di dunia, kemungkinan Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang akan mengalami epidemi dari COVID-19," ujarnya.

Jika seiring waktu negara-negara tersebut juga sudah bisa mengendalikan COVID-19, statusnya bisa menjadi endemi. Hal ini dapat ditandai dengan angka kasus di bawah lima persen, angka kematian satu persen, dan angka reproduksinya di bawah 1.

“Kapan? Ya sulit karena butuh kolaborasi regional, nasional, dan global. Jadi, kalau endemi itu penyakitnya ada terus di suatu wilayah dan menurut saya COVID-19 ini bisa ada di beberapa negara yang sanitasi lingkungannya kurang bagus," Dicky menjelaskan.

Kemungkinan COVID-19 Jadi Endemi

FOTO: Tarif Batas Atas Tes PCR
Petugas kesehatan melakukan swab test PCR pada warga di Laboratoriun GSI Cilandak, Jakarta Selatan, Rabu (18/8/2021). Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan resmi menetapkan tarif tertinggi pemeriksaan Real Time Polymerase Chain Reaction (RT-PCR). (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pada Maret 2021, Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr.rer.nad Wien Kusharyoto mengatakan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi tapi belum bisa dipastikan.

Hal serupa juga disampaikan Direktur Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman, Prof. dr., Amin Soebandrio. Ph.D, Sp.MK, “Mungkin terjadi."

Wien menjelaskan bahwa virus dapat tetap berada di masyarakat sepanjang waktu tapi cara mengontrolnya lebih mudah.

Menurut peneliti LIPI, tingkat penularan virus akan semakin rendah dan jumlah kasus infeksi virus semakin berkurang ketika terdapat cukup banyak orang yang menjadi kebal terhadap COVID-19.

Misalnya, ketika herd immunity sudah tercapai, baik melalui vaksinasi maupun karena infeksi virusnya secara alami.

Namun, tidak berarti virusnya akan segera lenyap atau hilang sepenuhnya. Di luar suatu daerah, di mana herd immunity sudah tercapai, 'mungkin' masih akan terdapat orang-orang yang tetap rentan terhadap infeksi virus.

Sehingga, penularan virus tetap terjadi di antara mereka yang bahkan dapat pula ditularkan ke orang-orang yang rentan di daerah lainnya karena mobilitas manusia.

“Terdapat kemungkinan pula, bahwa penyebaran virus akan stabil sampai tingkat tertentu yang relatif rendah, sehingga virus tersebut akan tetap berada di dalam masyarakat sepanjang waktu, tapi kita dengan lebih mudah mengontrolnya,” kata Wien saat dihubungi Health Liputan6.com melalui pesan teks pada Senin, 1 Maret 2021.

“Pada saat itulah kita dapat mengatakan bahwa penyakit tersebut menjadi endemi,” Wien menekankan.

Strategi Pemerintah Hadapi COVID-19 Jadi Endemi

Infografis 5 Strategi Pengendalian Covid-19 Saat Berubah Jadi Endemi. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 5 Strategi Pengendalian Covid-19 Saat Berubah Jadi Endemi. (Liputan6.com/Abdillah)

Mencermati bahwa kita akan hidup berdampingan dengan COVID-19 setidaknya dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi yang bisa dilakukan adalah mengurangi laju penularan virus Corona. Musuh pandemi ini, kata Budi, adalah penularannya yang begitu cepat.

Jangan sampai jumlah orang yang tertular melebihi kapasitas tempat tidur di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Kapasitas rumah sakit untuk COVID-19 saat ini adalah 120 ribu tempat tidur.

"Jadi, fokus kita tidak menghapus pandemi tapi bagaimana bisa mengendalikan penularan selalu di bawah kapasitas dari layanan kesehatan kita," kata Budi.

Dalam menekan laju penularan, ada tiga cara yang dilakukan pemerintah. Yakni perubahan perilaku atau dikenal dengan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak). Kedua, melakukan testing, lacak dan isolasi dengan baik. Ketiga yakni lewat imunisasi.

"Kita harus mengurangi laju penularan. Memakai masker misalnya bisa menurunkan risiko penularan 95 persen,"katanya.

Lalu, di poin ketiga yang dilakukan adalah vaksinasi. Hingga saat ini sudah ada 83 juta dosis vaksin COVID-18 yang sudah disuntikkan. Presiden Joko Widodo menargetkan agar 50 juta orang bisa divaksin dalam waktu 7 minggu.

Budi mengatakan bahwa vaksinasi akan diprioritaskan pada daerah dengan kasus kematian tinggi dan kasus konfirmasi tinggi. Dari sekian banyak wilayah, DKI Jakarta dan Bali sudah mencapai penetrasi vaksinasi COVID-19 yang tinggi.

"Tiga strategi kesehatan ini yakni perubahan perilaku, deteksi dan vaksinasi ini akan terus berjalan selama pandemi berubah menjadi epidemi. Jadi, jangan kendorkan, ini menjadi bagian dari new normalnya kita," tutup Budi.

5 Strategi Pemerintah

Selain itu, Pemerintah pun telah menyiapkan lima strategi pengendalian COVID-19 di Indonesia saat berubah menjadi endemi. 

Wiku merinci, ada lima strategi yang telah disiapkan pemerintah untuk menghadapi hal tersebut. Pertama, pengendalian kegiatan masyarakat dan modifikasi perilaku menjalankan protokol kesehatan.

Upaya ini dilakukan dengan monitoring dan evaluasi berkala demi penanganan yang antisipatif. "Selama virus ini masih ada, maka proses mengetatlonggarkan kegiatan akan terus dilakukan demi mencapai masyarakat yang sehat dan produktif serta aman," kata Wiku.

Strategi kedua yakni mempercepat pembentukan kekebalan komunal atau herd imunity secara bertahap. Mulai dari pembentukan kekebalan secara regional, termasuk dengan daerah aglomerasi sampai perlahan terbentuk menyeluruh secara nasional.

"Hal ini dilakukan dengan prioritas populasi dan daerah yang berisiko. Jika kita telah mencapai kekebalan komunitas secara nasional, maka kita telah memberikan dan dapat cukup besar dalam upaya intensifikasi vaksinasi secara global demi eliminasi COVID-19," jelas Wiku. 

Strategi ketiga, pemerintah akan terus meningkatkan kapasitas dan infrastruktur kesehatan secara merata di seluruh pelosok daerah. Begitu juga peningkatan upaya testing, tracing, dan treatment.

"Modal alat dan material kesehatan yang terus dikuatkan ini juga dapat menjadi modal kuat ketahanan sistem kesehatan nasional secara berkelanjutan," sambung Wiku.

Keempat, mengawasi distribusi varian virus yang muncul dan terus berkembang dengan memperbaharui teknologi, baik terhadap upaya pengobatan diagnostik maupun upaya pelayanan kesehatan lainnya.

Kelima, menyusun rencana ketahanan kesehatan masyarakat jangka panjang dengan melibatkan pertimbangan multidisiplin seperti interaksi antarmanusia, hewan, dan tumbuhan sebagai investasi kesehatan jangka panjang.

 

Anggaran Penanganan COVID-19

"Hal ini akan sangat bermanfaat tidak hanya untuk menangani COVID-19, namun juga mempersiapkan diri terhadap ancaman kedaruratan kesehatan masyarakat di masa yang akan datang," kata Wiku menandasi.

Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka peluang anggaran penanganan pandemi Virus Corona masih terus naik di 2022. Apalagi jika nantinya kasus positif COVID-19 meningkat.

"APBN 2022 sesuai yang sampaikan Presiden Jokowi, temanya sangat jelas pemulihan ekonomi dan reform struktural," ujar Sri Mulyani, Jakarta, Senin (16/8).

"Tentu kita semua tahu bahwa COVID akan menjadi faktor dan sangat mempengaruhi APBN 2022. Jadi di 2022 masih ada anggaran yang cukup signifikan untuk pengendalian kasus COVID dan vaksinasi yang dilanjutkan," sambungnya.

Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah akan membuat skema refokusing dan realokasi anggaran secara otomatis. Sehingga diharapkan tidak menimbulkan distrubsi.

"Kita membuat skema 2022 refokusing dan realokasi akan dilakukan secara otomatis sehingga diharapkan tidak menimbulkan distrupsi kalau COVID nya lagi melonjak seperti Varian Delta," Jelasnya.

Meskipun demikian, Sri Mulyani berharap kejadian Varian Delta yang menjatuhkan banyak korban tak terjadi lagi. "Kita berharap itu tak terjadi tapi APBN menyiapkan kalau sampai sesuatu hal yang tidak dikendaki terjadi di 2022," tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya