Liputan6.com, Jakarta - Penelitian baru menunjukkan pasien COVID-19 varian Omicron yang sudah mendapat vaksin booster pulih 3 hari lebih cepat ketimbang pasien varian Delta.
Studi yang dipublikasi pada Jumat 8 April 2022 juga menemukan bahwa orang dengan Omicron secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami anosmia atau kehilangan indra penciuman. Jika pun mengalami, gejalanya dikonfirmasi tidak terlalu parah.
Baca Juga
Guna mengetahui perbedaan cara Omicron dan Delta menyerang masyarakat, para peneliti menggunakan aplikasi ponsel pintar gratis bernama ZOE. Aplikasi tersebut digunakan masyarakat Inggris yang sudah divaksinasi untuk melaporkan gejala COVID-19 yang dialami selama Juni 2021 hingga Januari 2022.
Advertisement
Dari aplikasi tersebut diambil data 63.000 orang yang divaksinasi di Inggris dengan rentang usia antara 16 hingga 99.
Bagi mereka dengan dua dosis vaksin ditambah booster, gejala dari Omicron berlangsung sekitar 4 hari, dibandingkan dengan varian Delta yang memakan waktu hingga sekitar 7 hari. Dengan demikian, perbedaan atau selisih waktu pemulihannya mencapai sekitar 3 hari.
Sedangkan, orang yang mendapat dua dosis vaksin COVID-19 tapi tidak mendapat suntikan booster memperlihatkan gejala Omicron hilang dalam 8 hari. Di sisi lain, pasien Delta menunjukkan pemulihan dalam 9 hari.
“Pemulihan yang lebih cepat menunjukkan bahwa periode penularan corona mungkin lebih pendek, yang pada gilirannya akan berdampak pada kebijakan kesehatan di tempat kerja dan pedoman kesehatan masyarakat," kata para peneliti mengutip Channel News Asia, Minggu (10/4/2022).
Anosmia pada Pasien Omicron
Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis Lancet juga menemukan bahwa hanya 17 persen dari mereka yang menderita Omicron kehilangan indra penciuman atau anosmia.
Sedangkan, pada pasien Delta, pasien yang mengalami anosmia mencapai 53 persen.
Namun orang dengan Omicron memiliki 55 persen peningkatan risiko sakit tenggorokan, dan 24 persen lebih mungkin untuk mengembangkan suara serak.
Penelitian, yang akan dipresentasikan pada Kongres Mikrobiologi Klinis Eropa dan Penyakit Menular di Lisbon akhir bulan ini juga menemukan bahwa pasien Omicron 25 persen lebih kecil kemungkinannya untuk dirawat di rumah sakit.
Penulis studi Cristina Menni dari King's College London mengatakan itu adalah makalah peer-review pertama dengan sejumlah besar peserta yang melihat gejala yang berbeda dari dua varian.
“Sementara penelitian mencakup periode sebelum varian BA.2 Omicron melanda dunia, data terbaru dari aplikasi menunjukkan tidak ada perubahan gejala pada BA.2 dibandingkan dengan BA.1," katanya kepada AFP mengutip Channel News Asia.
Advertisement
Penelitian Lain
Selain soal waktu penyembuhan, penelitian lain terkait COVID-19 juga terus dilakukan.
Baru-baru ini peneliti dari Swedia, Inggris, dan Finlandia menemukan bahwa penyintas COVID-19 memiliki risiko lebih tinggi mengalami pembekuan darah di kaki dan paru-paru dalam 3-6 bulan setelah infeksi.
Tim peneliti internasional membandingkan lebih dari 1 juta orang di Swedia yang positif COVID-19 antara Februari 2020 dan Mei 2021 dengan 4 juta pasien kontrol yang dites negatif.
Mereka menemukan tiga hingga enam bulan setelah tertular COVID-19, pasien berisiko lebih tinggi didiagnosis dengan pembekuan darah di kaki atau paru-paru mereka. Hasil ini kemudian diterbitkan dalam British Medical Journal (BMJ), Rabu (6/4/2022).
Laporan tersebut mengatakan, secara khusus pasien memiliki 4 persen peningkatan risiko trombosis vena dalam atau Deep Vein Thrombosis (DVT), gumpalan darah yang terbentuk jauh di paha atau kaki bagian bawah, hingga tiga bulan setelah infeksi COVID-19.
“Pasien juga memiliki risiko tinggi 17 persen mengembangkan emboli paru atau Pulmonary Embolism (PE), gumpalan yang berkembang di pembuluh darah dan berjalan ke arteri paru-paru, hingga enam bulan setelah infeksi virus,” mengutip ABC, Kamis (7/4/2022).
Kaitan COVID-19 dengan Pembekuan Darah
Hasil penelitian itu menambah semakin banyak bukti tentang hubungan antara COVID-19 dan pembekuan darah yang serius.
"Temuan ini memiliki implikasi kebijakan besar," tulis para penulis, menambahkan bahwa laporan itu "memperkuat pentingnya vaksinasi terhadap COVID-19."
Mereka juga mengatakan temuan itu menunjukkan bahwa pasien COVID-19 --terutama pasien berisiko tinggi-- harus minum obat antikoagulasi, yang merupakan obat untuk membantu mencegah pembekuan ini.
Selama masa penelitian, tim melihat 401 kasus DVT di antara pasien COVID-19, dibandingkan dengan 267 kasus di antara pasien negatif.
Terdapat pula 1.761 kasus PE pada pasien virus corona dibandingkan dengan pasien kontrol sebanyak 171 kasus.
Pasien COVID-19 berisiko lebih tinggi mengalami pembekuan darah jika mereka memiliki kondisi yang mendasarinya, memiliki kasus virus yang parah, atau jika mereka terinfeksi selama gelombang pertama pandemi pada awal 2020.
Namun, tidak hanya ada risiko pembekuan darah. Studi ini juga menemukan peningkatan risiko segala jenis pendarahan hingga dua bulan setelah infeksi COVID-19.
Advertisement