Kisah Toleransi Umar bin Khattab Menolak Sholat di Dalam Gereja saat di Palestina, Jaminan Keamanan untuk Nasrani

Kisah toleransi Umar bin khattab RA yang menolak sholat di gereja saat di Palestina. Bukan karena haram, melainkan menghormati dan menjamin keamanan Nasrani

oleh Putry Damayanty diperbarui 20 Nov 2023, 16:30 WIB
Diterbitkan 20 Nov 2023, 16:30 WIB
Kisah Umar bin Khattab
Kisah Umar bin Khattab

Liputan6.com, Jakarta - Umar bin Khattab merupakan sahabat Rasulullah sekaligus khalifah kedua dalam sejarah Islam. Ia memerintah dari tahun dari tahun 634 hingga 644 M.

Kala itu, Umar dilantik menjadi khalifah atas wasiat dari sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq. Ia pun menunjukkan sikap tolerannya saat berada di Palestina. 

Umar terkenal sebagai sosok pemimpin yang tegas, berani, dan adil. Selain itu, ia juga termasuk orang yang sangat cerdas dan berintegritas tinggi.

Pemerintahan Umar berlangsung selama 10 tahun 6 bulan. Pada masa itu Islam berkembang cukup pesat. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas, meliputi Jazirah Arab, Persia, Suriah, Yordania, hingga Palestina. 

Pada tahun ke-18 H, wilayah Jundisapur, Raha, Simsath, Haran, Nashihin dan sebagian jazirah Arab telah takluk di bawah kekuasaan Umar bin Khattab. Sehingga akhirnya, Islam di bawah pemerintahan Umar menjadi kekuatan dunia baru, setelah Romawi dan Persia. 

Walaupun demikian, Umar bin Khattab senantiasa mengimplementasikan berbagai kebijakan yang menekankan toleransi dan keadilan pada setiap orang, termasuk pada non-Muslim. Umar senantiasa memastikan hak-hak minoritas terpenuhi, termasuk orang-orang Yahudi dan Nasrani (Kristen), diakui dan dijaga di bawah pemerintahannya.

Setiap agama diberikan kebebasan untuk memeluk dan meyakini keyakinannya, tanpa diskriminasi. Gereja-gereja dan Sinagog berdiri bebas, tanpa takut dihancurkan. Mengutip dari laman Nu Online, berikut rangkuman kisah toleransi Umar bin Khattab saat berada di Palestina.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Toleransi pada Umat Kristiani

Dikisahkan bahwa ketika Umar bin Khattab memasuki kota al-Quds, Palestina. Ketika itu, waktu Ashar telah tiba, bertepatan Umar tengah berada di dalam salah satu gereja di Palestina. Ibnu Khaldun dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun, (jilid II halaman 225), bercerita, saat itu Umar berkata pada Uskup gereja, bahwa ia hendak melaksanakan sholat Ashar. “Aku ingin sholat,” tutur Umar bin Khattab. 

Uskup menjawab, "Sholatlah di tempatmu (dalam gereja)."

Namun, Umar menolak usulan untuk shalat dalam gereja. Ia lebih memilih sholat di anak tangga di depan pintu gereja sendirian. Setelah selesai sholat, Umar membeberkan alasan kenapa menolak shalat dalam gereja pada uskup itu.

"Seandainya aku sholat di dalam gereja, nanti para kaum Muslimin akan mengambil gereja ini dan mengalihfungsikan menjadi masjid, dengan alasan, “Di sini, Umar shalat,”.

Sementera itu, tatkala Umar bin Khattab memasuki Kota Yerusalem, ia berpesan pada umat Islam untuk tidak mengganggu orang Kristen dan juga gereja mereka. Pasalnya, itu adalah hak kaum untuk beribadah. Hal ini sebagaimana diceritakan Syekh Shaleh bin Abdurrahman al Hushain, dalam kitab at-Tasamuh wal Udwaniyah baina al-Islami wa al-Gharab (halaman 120).

Toleransi pada Kaum Majusi

Fakta lain tentang toleransi Umar bin Khattab tidak hanya sebatas pada umat Kristen dan Yahudi semata, tetapi juga pada penganut kepercayaan Majusi (Zoroaster), yang percaya pada dua Tuhan; tuhan kebaikan [ahura mazda] dan tuhan kejahatan (angra mainyu/ahriman). 

Hal tersebut seperti diungkapkan oleh Profesor Quraish Shihab dalam buku Toleransi; Ketuhanan, Kemanusiaan, dan Keberagamaan (halaman 116). Hal itu terbukti, ketika Islam sudah menguasai Persia, yang mayoritas penduduk aslinya menganut agama Majusi, Umar bin Khattab melakukan musyawarah menyangkut bagaimana seharusnya memperlakukan mereka. Langkah itu diambil, agar jangan sampai mendiskriminasi pemeluk agama yang menyembah api ini. 

Adapun hasil musyawarah antara Umar bin Khattab dengan pemeluk agama Majusi, memutuskan berdasarkan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad yang menyatakan agar mereka diperlakukan serupa dengan perlakuan terhadap Kristen dan Yahudi. Antara semua setara di depan hukum dan pengadilan, tanpa diperbolehkan mendapatkan diskriminasi.

Jaminan Keamanan Penduduk Yerussalem

Pada sisi lain, Umar bin Khattab juga menunjukkan sikap toleransi ketika mencetuskan Perjanjian Eliya. Perjanjian Eliya adalah sebuah perjanjian antara Khalifah Umar bin Khattab dengan penduduk Yerussalem, Palestina, setelah penaklukan kota tersebut oleh pasukan Muslim pada tahun 636 M. Perjanjian ini dikenal juga dengan nama Mu'ahadah Iliya, yang berarti "Perjanjian Yerussalem". 

Berdasarkan kitab al Khulafa ar-Rasyidin, karya Abdul Wahab al-Najjar (Beirut; Thabaah wa Nasyar wa at-Tawzi', tt, halaman 151) bahwa Perjanjian ini disepakati pada tanggal 15 H/636 M, bertepatan dengan tanggal 12 April 636 M. Perjanjian ini ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab di Eliya, sebuah nama kota kuno di Yerussalem. 

Dalam Perjanjian Eliya ini, Umar bin Khattab memberikan jaminan keamanan kepada penduduk Yerusalem, termasuk orang-orang Kristen dan Yahudi. Jaminan keamanan tersebut berupa kebebasan hidup, kebebasan beragama, kebebasan bertempat tinggal, kebebasan memiliki harta benda, dan kebebasan menjalankan ibadah.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya