Cerita Akhir Pekan: Perubahan Pola Gaya Hidup di Masa Pandemi Corona COVID-19

Dari segi sosial dengan berbagai komponen, hingga kesehatan, apa saja perubahan dan bakal seberapa langgeng pola hidup di masa pandemi corona COVID-19.

oleh Asnida Riani diperbarui 11 Apr 2020, 08:30 WIB
Diterbitkan 11 Apr 2020, 08:30 WIB
Ilustrasi
Ilustrasi di rumah aja. (dok. Pexels/Andrea Piacquadio)

Liputan6.com, Jakarta - Seiring seruan isolasi mandiri dengan tidak keluar rumah, kecuali dalam kondisi mendesak, demi memutus rantai penyebaran corona COVID-19, publik tengah membentuk rutinitas berbeda dengan ruang gerak terbatas dan minim mobilitas.

Berkaca pada situasi pandemi seperti sekarang, Staf Pengajar Departemen Sosiologi Fisip Universitas Indonesia Daisy Indira Yasmine menjelaskan, secara umum yang dirasakan masyarakat adalah khawatir.

"Baik khawatir tertular, khawatir menularkan, khawatir tentang dampak ekonomi secara pribadi, keluarga, usaha, khawatir dampak sosial ketika terjadi masalah ekonomi, khawatir pula terhadap kemampuan pemerintah menangani kasus bencana kesehatan ini," katanya pada Liputan6.com lewat pesan Rabu, 8 April 2020.

Ia menambahkan, publik juga tengah khawatir menghadapi kondisi ketidakpastian tentang sampai kapan kondisi ini akan berakhir. "Seakan masyarakat sedang dalam kondisi 'perang' melawan musuh 'virus' yang tidak pasti," imbuhnya.

Sementara, menurut pandangan seorang pemerhati sosial, Yusar, kondisi masyarakat di masa pandemi tak bisa digeneralisir. Pada masyarakat kelas menengah, umumnya sedang mengalami ketidakpastian dan kegundahan luar biasa.

Pada sebagian anggota masyarakat yang biasa bekerja pada sektor publik, muncul pula rasa bosan karena harus beraktivitas dan mengerjakan pekerjaan di rumah selama pandemi corona COVID-19.

"Di sisi lain, ada bagusnya juga. Misal, lalu-lintas tak sepadat pada masa pra pandemi, permukiman tak sepi di siang hari, atau kebersamaan dalam keluarga jadi lebih erat karena penghuni rumah beraktivitas di dalam rumah," katanya juga lewat pesan.

Namun, pada masyarakat kelas bawah yang harus berjuang mencari nafkah harian, kondisi pandemi ini tak terlalu berbeda dengan masa pra pandemi. "Mereka ini harus tetap beraktivitas seperti biasa agar kehidupan tetap berjalan," ucapnya.

Meski demikian, dikarenakan adanya keputusan kerja dari rumah, physical distancing, ataupun informasi mengenai pandemi corona COVID-19, masyarakat kelas bawah turut terimbas. Contoh terkecilnya mereka mencoba menerapkan jaga jarak antarindividu.

"Dari sisi religi, juga terjadi perubahan kondisi. Ibadah rutin yang biasanya dilakukan secara bersama-sama harus 'mengalah' oleh kejadian pandemi ini. Bolehlah dikatakan, pada masa pandemi ini sedang terjadi revolusi, perubahan yang terjadi secara cepat, pada aktivitas sosial masyarakat," katanya.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Dari Segi Kesehatan

yoga
Ilustrasi yoga di rumah. Photo by Elly Fairytale from Pexels

Perubahan pun tampak pada kebiasan untuk menjaga kesehatan. Staf Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Panji Hadisoemarto menjelaskan, mencuci tangan sekarang jadi pola yang kentara terlihat.

"Menggunakan masker atau mempraktikkan etika batuk. Keluar rumah harus pakai masker. Perubahan ada, sebagian besar dipaksa karena ada aturan. Tinggal dilihat seberapa jauh aturan itu bisa dipaksakan. Ya, urusannya pemaksaan karena anjuran belum tentu semua melakukan," katanya lewat sambungan telepon.

Panji menambahkan, isolasi mandiri juga bisa berdampak pada pola diet yang teratur, serta aktivitas fisik lebih konstan." Tapi, jangan sampai melupakan olahraga setidaknya 30 menit dalam satu hari, perhatikan sanitasi, jangan merokok dulu untuk menunjang kesehatan," sambung Pandi.

Kendati, perubahan ini bersifat tentatif, bergantung pada sedisiplin apa individu. "Yang harus diingat, pandemi bukan hanya bisa mengubah perilaku lebih baik, tapi juga mengubah perilaku jadi lebih tidak baik, konteksnya dalam kesehatan," paparnya.

Selain mengganti aktivitas fisik sebagaimana biasa beraktivitas di luar rumah, ada kondisi mental yang harus diperhatikan. Di masa seperti ini, kata Panji, sangat penting melakukan intervensi yang sifatnya membatasai pergerakan untuk mengubah pola hidup

"Intervensi ini harus dilakukan sesadar mungkin. Karena kita sedang terpaksa menghentikan rutinitas yang sudah dilakukan bertahun-tahun, dan setiap orang punya pilihan untuk terbawa suasana tidak karuan, atau secara sadar mengagendakan kebiasaan baik," jelasnya.

Perubahan di Masa Pandemi

[Fimela] wfh
Ilustrasi bekerja di rumah | pexels.com/@kaboompics

Daisy menjelaskan, perubahan pola gaya hidup juga tampak lewat meningkatnya frekuensi dan intensitas penggunaan teknologi informasi dan interaksi secara virtual.

"Dari segi fashion, terjadi pula perubahan mendasar, karena sebagian besar warga akhirnya menggunakan masker, apalagi ketika contoh pemerintah DKI Jakarta menganjurkan menggunakan masker kain. Industri garmen tentu akan memproduksi berbagai jenis masker," paparnya.

Yusar menjelaskan, tanpa disadari, terjadi peningkatan dalam pola konsumsi rumah tangga masyarakat. "Sebagai contoh, pada masa pra pandemi anggota-anggota keluarga berada di luar rumah pada siang hari, bekerja atau sekolah, penggunaan energi listrik rumah tangga tentu saja minim," ucapnya.

Namun, pada masa pandemi sekarang, siang dan malam para anggota keluarga berada di rumah dan hal ini sangat membutuhkan energi listrik dari pagi, siang, hingga malam hari. Peningkatan yang sama tampak pada penggunaan internet.

"Peningkatan konsumsi air bersih juga saya pikir meningkat saat pandemi ini. Sedikit-sedikit orang mencuci tangan jika telah memegang sesuatu yang dianggap tak aman atau mandi setelah dari luar rumah," katanya.

Kendati, Daisy menyambung, tak semua kelompok masyarakat bisa menerapkan perubahan-perubahan pada masa pandemi ini. Beberapa kelompok yang rentan adalah anggota masyarakat yang tidak bisa atau terbatas mengakses internet dan kemampuan menggunakan platform digital, baik karena secara kapital maupun yang tidak atau terbatas dalam hal kemampuan literasi.

"Kemudian anggota masyarakat yang tidak bisa atau terbatas mengakses fasilitas kebersihan, seperti air bersih dan sabun. Anggota masyarakat yang hidup di lingkungan pemukiman padat, seperti perkampungan padat di perkotaan, di mana seringkali sulit mengatur jarak fisik," tambahnya.

Juga, kelompok masyarakat yang rentan terkena dampak perubahan mendasar ini adalah mereka yang mengandalkan hidup pada sektor informal dan pekerja harian, terutama di daerah perkotaan. "Lalu, pekerja-pekerja pada industri yang terkena dampak dari pandemi ini, seperti pariwisata," paparnya.

Seberapa Langgeng Bertahan?

Ilustrasi Bekerja dari Rumah
Ilustrasi Bekerja dari Rumah (instagram/carlywatters)

Kelanggengan perubahan gaya hidup, menurut Yusar, tergantung dari berapa lama krisis berlangsung. "Dugaan saya perubahan gaya hidup hanya berlaku saat pandemi saja, setelahnya kembali seperti sebelumnya," ucapnya.

Hal ini karena aktivitas-aktivitas masyarakat sudah sedemikian melembaga dari generasi ke generasi. Contohnya tatap muka di sekolah tetap dipandang penting, juga ruangan-ruangan kantor sebagai tempat bekerja juga tidak dapat digantikan dengan metode bekerja dari rumah.

Meski demikian, adanya pandemi ini membuka gagasan-gagasan baru untuk mengubah sederet aktivitas yang telah melembaga sekian lama. "Misal, semakin terbukanya gagasan homeschooling bagi anak-anak atau siswa sekolah maupun alternatif ruangan kerja yang bukan berupa kantor formal," ucapnya.

Namun, gagasan-gagasan baru ini akan berbenturan dengan pola-pola lama yang telah melembaga dan jadi bagian hidup masyarakat sehari-hari.

Sementara, menurut Daisy, pandemi COVID-19 dapat dikatakan sebagai agen transformasi sosial, walau setelah berakhir, beberapa kebiasaan selama pandemi tidak akan langsung hilang atau kembali ke kebiasaan semula.

"Kemungkinannya adalah terjadi percampuran antara kembalinya kebiasaan lama dengan kebiasaan selama pandemi, terutama dalam pemanfaatan teknologi informasi dan ruang virtual," katanya.

Terlepas dari itu, mengingat pandemi belum selesai, Daisy mengatakan, solidaritas sosial yang transparan, akuntabel, dan terkoordinasi dalam bentuk digital activism perlu terus ditingkatkan untuk membantu kelompok-kelompok rentan terhadap penyebaran dan penularan COVID-19.

Namun, perlu diingat para pelaku gerakan dan aksi solidaritas sosial juga mesti memerhatikan kebersihan, serta keamanan. "Jangan sampai malah jadi sumber penyebaran," tegasnya.

Kemudian, membangkitkan solidaritas komunitas dari lingkungan pemukiman RT dan RW untuk pro aktif mencegah, melindungi, dan menjaga komunitas lingkungan pemukiman, termasuk pemberdayaan kader kader PKK, posyandu, juga karang taruna.

Dalam pandangan Yusar, pola sosial yang dapat diterapkan dalam situasi seperti sekarang adalah tetap mengacu pada saran para ahli yang kompeten, terutama terkait virus, mengikuti kebijakan yang ditetapkan pemerintah, dan bergaya hidup sehat.

"Adapun saling menjaga jarak antar individu, tetap berada di rumah, ataupun karantina mandiri sejauh ini juga dipercaya efektif untuk mencegah penyebaran virus SARS-CoV-2. Secara ekstrem, kita mungkin dapat meniru pola sosial masyarakat yang lebih bersifat individualistis sehingga membentuk tanggung jawab yang kolektif," ucapnya.

Pepatahnya, sambung Yusar, untuk sementara ini diubah dari “makan tidak makan yang penting kumpul” jadi “kumpul tidak kumpul yang penting harus hidup”.

"Walaupun demikian, saya kira tidak perlu merasa jadi terasing karena kita hidup pada era masyarakat pengguna gawai dengan kemampuan komunikasi yang relatif memadai untuk mengatasi hal tersebut," tandasnya.

Saksikan Video Pilihan Berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya