Liputan6.com, Jakarta - Menyebut rekan kerja sebagai "sayang" atau "dear" dapat membuat pegawai negeri sipil (PNS) di Malaysia terancam dipecat. Merujuk surat edaran Komisi Pelayanan Publik tertanggal 7 April 2023, penggunaan kata-kata tersebut pada rekan kerja telah diklasifikasikan sebagai bentuk pelecehan seksual, dilansir dari The Star, Rabu (10/5/2023).
Selain dalam bentuk kata-kata maupun panggilan tertentu, Sinar Harian juga melaporkan bahwa terdapat bentuk pelecehan seksual fisik meliputi tindakan seperti menyentuh, memegang, menganiaya, mencium, mencubit, dan memeluk. Juga, termasuk dalam daftar adalah "sexting."
Baca Juga
Ini dijelaskan sebagai mengirim pesan teks cabul di berbagai platform, termasuk Whatsapp, telah diklasifikasikan sebagai pelecehan seksual visual. Surat edaran tersebut, yang dikeluarkan divisi promosi dan disiplin komisi Malaysia, mengatakan bahwa mereka yang bersalah atas pelanggaran dapat menghadapi tindakan disipliner berdasarkan Peraturan 4A (Perilaku dan Disiplin) Pejabat Publik tahun 1993.
Advertisement
Pada saat yang sama, surat edaran tersebut juga menyatakan bahwa korban harus merinci apa yang mereka alami akibat pelecehan tersebut ketika membuat laporan, seperti merasa terhina dan tekanan emosional maupun mental. Pengaduan juga harus mencantumkan waktu, tanggal, dan tempat kejadian.
Di antara hukuman terdaftar yang akan ditentukan Dewan Disiplin negara itu adalah penurunan pangkat, pencabutan honorarium, dan pemutusan hubungan kerja. Pada tahun lalu, memanggil "pria botak" telah tergolong sebagai pelecehan seksual di Inggris, menurut seorang hakim pengadilan ketenagakerjaan negara itu.
Tiga anggota pengadilan yang memutuskan aturan tersebut telah menyinggung pengalaman mereka sendiri tentang kerontokan rambut. Pihaknya mengatakan, seperti dilansir dari CNBC, 16/5/2022), bahwa kebotakan lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita.
Bandingkan Menyebut Pria Botak dengan Mengomentari Ukuran Payudara Wanita
Karena itu, mereka berpendapat bahwa penggunaan kata "botak" sebagai penghinaan terkait "karakteristik seks yang dilindungi." Pengadilan membandingkan menyebut pria botak dengan mengomentari ukuran payudara wanita, berdasarkan kasus tahun 1995.
Putusan itu dibuat atas kasus di mana penghinaan itu diduga ditujukan terhadap Tony Finn, seorang tukang listrik yang bekerja untuk Perusahaan Manufaktur Bung Inggris. Finn telah bekerja di perusahaan yang memproduksi tutup tong kayu untuk industri pembuatan bir di Yorkshire di timur laut Inggris, selama hampir 24 tahun.
Ia dipecat pada 2021 dan keadaan di sekitar pemecatannya juga merupakan bagian dari kasus tersebut. Pekerja itu mengklaim bahwa ia disebut "botak" dan diancam supervisor shift-nya, Jamie King, dalam perselisihan pada Juli 2019. Pengadilan memutuskan bahwa menggunakan penghinaan ini adalah "pelanggaran terhadap martabat penggugat (Finn)."
"Itu menciptakan ... lingkungan yang mengintimidasi baginya, itu dilakukan untuk tujuan itu, dan itu terkait jenis kelamin penggugat," bunyi keterangan pengadilan. Pihaknya juga menyarankan bahwa bukan hanya penggunaan kata-kata kotor yang jadi masalah, dengan Finn juga ditemukan menggunakan bahasa seperti itu di tempat kerja.
Advertisement
Menciptakan Ruang Kerja yang Aman dan Bebas dari Kekerasan
Pihak pengadilan menambahkan, "Meski seperti yang kami temukan, bahasa industri adalah hal biasa di lantai pabrik West Yorkshire ini, dalam penilaian kami, King melewati batas dengan membuat pernyataan pribadi pada penggugat tentang penampilannya.”
Finn akhirnya menerima kompensasi atas keputusan pengadilan, walau jumlahnya belum ditentukan. Banyak pria takut kehilangan rambut mereka. Sebuah penelitian tahun lalu mengungkap bahwa kekhawatiran mereka mungkin tidak sepenuhnya tidak berdasar, lapor Metro.
Sementara di dalam negeri, organisasi feminis berbasis di Jabodetabek, Jakarta Feminist, telah mendorong pelaku usaha menciptakan ruang kerja yang aman dan bebas dari kekerasan, serta pelecehan seksual. Hal itu penting karena menurut survei Never Okay Project (NOP) dan organisasi buruh dunia (ILO), 852 dari 1173 responden (70,93 persen) pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Pelecehan seksual yang berpengaruh besar terhadap psikologis korban dinilai bisa menurunkan produktivitas, bahkan menimbulkan kerugian ekonomi bagi perusahaan atau pelaku usaha. Menurut Program Director Jakarta Feminist, Anindya Restuviani, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan pemberi kerja untuk memastikan ruang kerja yang aman.
Kolektivitas dalam Menciptakan Ruang Aman
"Pertama dengan membuat dan menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) Anti Kekerasan Seksual. Kedua, dengan memberikan pengetahuan terhadap pemberi kerja maupun pekerja terkait kekerasan seksual, serta cara mencegah dan menangani kekerasan seksual di tempat kerja," katanya dalam diskusi memperingati 16 Hari Aktivisme Melawan Kekerasan Berbasis Gender (16 HAKBG) di kawasan Senayan, Jakarta, 25 November 2022.
Pentingnya kolektivitas dalam upaya menciptakan ruang aman diutarakan An Nisaa Yovani mewakili Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS). Nissa mengatakan, upaya kolektif diperlukan untuk mendorong isu ini agar jadi prioritas.
"Edukasi, serta ajakan untuk bersuara dan mengambil tindakan ketika melihat kekerasan seksual terjadi di ruang kerja harus dilanjutkan dengan menyuarakan secara kolektif hak pekerja untuk mendapatkan ruang aman saat bekerja," tutur Nissa.
Ia menyambung, "Ditambah saat ini telah terdapat perjanjian internasional, yakni Konvensi International Labour Organization No. 190 (ILO Convention No. 190 /C190) yang mengakui hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender."
Bagi Nunik Nurjanah, Program Analyst UN Women Indonesia, kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan di dunia kerja adalah pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Untuk menghentikannya dibutuhkan komitmen kuat, serta respons kolaboratif dan berkelanjutan dari semua pihak.
Advertisement