Diduga Suap Eks Direktur Pertamina, Syakir Dituntut 5 Tahun Bui

Direktur PT Soegih Interjaya (SI) Muhammad Syakir juga dituntut membayar denda Rp 250 juta.

oleh Oscar Ferri diperbarui 24 Mei 2016, 01:37 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2016, 01:37 WIB
Ilustrasi Kasus Suap
Ilustrasi Kasus Suap (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta - Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Direktur PT Soegih Interjaya (SI) Muhammad Syakir pidana penjara 5 tahun. Jaksa juga menuntut Syakir denda Rp 250 juta subsider 5 bulan kurungan.

"Menuntut agar Majelis menyatakan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama menyuap penyelenggara negara," ujar Jaksa Irene Putrie, di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (23/5/2016).

‎Syakir dinilai Jaksa terbukti bersalah memberikan suap kepada mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo. Dia didakwa memberi pelicin sebanyak US$ 198.134.

Dalam tuntutan ini, ada pertimbangan yang dilakukan Jaksa. Pertimbangan yang memberatkan Syakir, yakni ‎perbuatannya tidak mendukung program pemerintah tentang pemberantasan korupsi dan dalam beberapa persidangan di bawah sumpah Syakir selalu memberikan keterangan yang berubah-ubah. Selain itu, Syakir juga dinilai telah membuat citra buruk dalam iklim bisnis investasi di Indonesia dan dunia internasional.

 

Dalam tuntutannya, Jaksa meminta agar barang bukti suap berupa uang sebesar US$ 198.134 yang disimpan pada UOB Bank Singapura atas nama Suroso Atmomartoyo, disita dan dirampas untuk Negara.

Sebagai informasi, Syakir didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Ia didakwa telah memberi suap kepada mantan Direktur Pengolahan PT Pertamina Suroso Atmomartoyo. Uang diberikan agar Suroso menyetujui perusahaan OCTEL melalui PT SI menjadi penyedia atau pemasok Tetraethyl Lead (TEL) untuk kebutuhan kilang-kilang milik PT Pertamina periode Desember 2004 dan 2005.

Pada tahun 1982, PT SI ditunjuk oleh Octel atau Innospec menjadi agen tunggal penjualan TEL di Indonesia. TEL merupakan bahan aditif agar mesin tidak berbunyi dan meningkatkan nilai oktan pada bahan bakar. Namun, penggunaannya memiliki tingkat racun yang tinggi sehingga menimbulkan gas berbahaya bagi kesehatan.

Kemudian, pada tahun 2003, Octel dan PT Pertamina meneken nota kesepahaman yang menyepakati bahwa pembelian TEL akan dilakukan dalam pada 2003 hingga September 2004. Saat itu, mereka sepakat dengan harga 9.975 dollar AS per metrik ton.

Dalam waktu yang bersamaan, Pemerintah Indonesia mencanangkan proyek langit biru yang salah satu programnya adalah penghapusan timbal (TEL) dalam bensin dan solar di dalam negeri.

Program tersebut dianggap menghambat kelancaran kerja sama Innospec dan Pertamina untuk terus menyalurkan TEL ke Indonesia. Oleh karena itu, Direktur PT SI lainnya Willy Sebastian Liem mencari strategi untuk memperpanjang penggunaan TEL di Indonesia.

Strategi tersebut berupa mengusahakan penggunaan Plutocen sebagai oktan alternatif. Hal tersebut diikuti permintaan imbalan sejumlah uang untuk para pejabat Pertamina dengan alasan perusahaan lain pemasok Plutocen kepada PT Pertamina melakukan pemberian imbalan yang sama.

 

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya